"Temanku ini, pada saat kita mau masuk kerja, dia batuk. Tiba-tiba muntah darah," kata Sola mengingat-ingat peristiwa itu.
Baca juga: Ini Sejumlah Nama Perusahaan Malaysia dan Singapura yang Diduga Terlibat Karhutla di Indonesia
"Kita bawa ke rumah sakit, kata dokter itu ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akut. Sejak itu, ia diliburkan sama perusahaannya."
Kejadian lebih nahas lantas menimpa atasannya.
"Dia batuk-batuk sudah mulai parah, akhirnya kata dokter 'ya udah, coba balik (pulang) lewat kapal'. Jadi beliau balik lewat kapal, pergi ke Pontianak. Baru dari Pontianak beliau ke Balikpapan," kisahnya.
Sebenarnya, sang bos ingin mengungsi dari Ketapang, namun berbagai jadwal penerbangan justru dibatalkan. Alhasil, ia terperangkap semakin lama di lingkungan berkabut asap tebal.
Baca juga: Karhutla Kian Meluas, Pemkab Musi Banyuasin Dirikan Rumah Oksigen
Seiring waktu, ISPA yang diderita semakin parah, hingga akhirnya ia mengembuskan napas terakhir.
"Akhirnya masih berlanjut ISPA-nya itu. Itulah yang merenggut nyawanya," tutur Sola.
Menjadi saksi dua peristiwa itu membuat Sola semakin geram dengan nasib nahas yang harus dihadapi ia dan jutaan warga lain yang terdampak.
"Kok bisa ini kejadian? Kenapa? Siapa dalang dari semua ini?" tanyanya kesal.
Baca juga: Hujan Buatan Dinilai Berhasil Atasi Karhutla Kalimantan dan Sumatera
Ia bertekad menghentikan kebakaran hutan dan lahan dengan tangannya sendiri. Menjadi relawan Tim Cegah Api adalah hal yang bisa ia lakukan saat ini.
"Bos sama temanku udah (cukup menjadi korban), jangan sampai itu terjadi sama keluargaku," ujarnya.
"Mungkin bukan saat ini kita lihat (dampaknya). Mungkin bukan saat ini kita hirup langsung kita mati, tapi nanti 15 tahun, 20 tahun (lagi)."
Baca juga: Sejumlah Wilayah di Riau Diguyur Hujan, Kabut Asap Sedikit Berkurang
"Rumah saya itu dulu di sampingnya kayak hutan. Dan itu dari saya kecil, dari SD, sering kebakar, hampir kena rumah," tuturnya.
"Kami harus jaga siang-malam untuk menjaga apinya biar tidak kena ke rumah."
Sumarni kecil sudah ikut andil dalam upaya mempertahankan tempat tinggal mereka dulu. Ember demi ember diisi air dan disusun di sekitar rumah, "biar ketika apinya dekat itu langsung siram".
Kegiatan itu bisa dilakukan selama satu minggu penuh, setiap hari.
Baca juga: Bibit Hujan di Sumatera-Kalimantan Muncul, 5 Pesawat Hujan Buatan Dikerahkan
Oleh karenanya, Sumarni sudah 'akrab' dengan kabut asap. Dalam ingatannya, sejak tahun 2002, dampak asap kebakaran hutan dan lahan - dalam siklus 4-5 tahunan yang dipengaruhi iklim El Nino - terus menerus ia rasakan.
Sementara itu, Sumarni tidak menyangkal bahwa di sisi lain, kegiatan slash and burn alias memangkas dan membakar lahan sudah menjadi bagian dari budaya turun temurun warga Dayak yang bermata pencaharian sebagai petani ladang. Orang tua Sumarni pun dulunya bekerja di ladang.
"Orang Dayak itu mengenal namanya dua hutan, hutan primer dan sekunder," ujarnya.
Menurutnya, hutan primer adalah hutan yang tidak boleh disentuh. Kalaupun ada sesuatu yang perlu dilakukan atau diambil di dalamnya, ada syarat yang harus dipenuhi.
"Ketika kamu masuk hutan, kamu harus melakukan upacara adat."
Baca juga: Kisah Relawan Padamkan Api di Palangkaraya: Hentikan Api yang Hancurkan Rumahnya, Pulau Kalimantan
Sementara hutan sekunder adalah hutan yang dekat permukiman dan boleh ditanami warga. Di hutan sekunder ini lah, menurut Sumarni, warga biasanya melakukan tradisi pembakaran lahan gambut untuk menurunkan kadar asam yang dikandung.
Sumarni menuturkan, sebelum dibakar, biasanya warga akan membuat kanal air di sekeliling lahan dan memangkas tanaman yang tumbuh di atasnya.
"Kemudian, satu desa itu akan menjaga api itu agar tidak merembet ke tempat lain, dan biasanya dulu itu api akan padam dalam satu hari dan asapnya tidak banyak," katanya.
Baca juga: Lahan Gambut Bekas Karhutla di Kalbar Bakal Ditanami Ubi Kayu dan Nanas