Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah 2 Eks Tentara Anak Saat Konflik Ambon: Dulu Saling Membenci, Kini Berkolaborasi

Kompas.com - 17/02/2019, 13:41 WIB
Farid Assifa,
Icha Rastika

Tim Redaksi


Telepon tidak berfungsi. Surat-menyurat juga tidak memungkinkan. Selama terisolasi, ia dan keluarganya kerap mendengar kabar provokatif yang simpang siur, misalnya kabar masjid dibakar.

“Kenyataannya, informasi itu adalah bohong. Ya, kalau sekarang disebutkan hoaks,” kata dia.

Akhirnya, suatu hari keluarga Iskandar ditolong oleh satu orang warga Kristen untuk keluar dari kampung dan pergi ke kampung keluarga ayahnya.

Dia adalah seorang pela, saudara yang dibentuk berdasarkan sumpah adat. Keluarga Iskandar diantar saudara pela itu.

"Kami pakai dua mobil. Yang depan saudara pela kami. Ketika kami dicegat warga Kristen, saudara pela itu yang bicara bahwa dia sedang mengantarkan keluarga Kristen ke tempat lain. Akhirnya, kami selamat sampai ke kampung keluarga ayah saya," tutur dia.

Sementara itu, saudara pela yang Kristen itu kemudian diantar pulang kembali sampai perbatasan kampung.

Di kampung ayahnya, Iskandar kemudian bersekolah di SMP. Di sanalah ia kemudian terlibat peperangan. Setiap pulang sekolah, ia mengajak teman-teman sebayanya untuk berperang.

Hari demi hari Iskandar lalui untuk berperang. Saat itu, ia menaruh benci yang mendalam kepada lawannya.

Apalagi, ketika melihat kakaknya yang terluka di kepala dan kaki akibat bom. Ia juga menyaksikan banyak saudaranya yang terluka dan meninggal akibat konflik berdarah itu.

Menemukan jalan pulang

Meski setiap hari Ronald dan Iskandar menghabiskan waktu untuk berperang, di benak keduanya terbersit keinginan bertemu dengan saudaranya yang berbeda agama.

Ronald dan Iskandar merindukan masa lalu ketika mereka bermain dengan sebayanya yang berbeda agama. Namun, keinginan itu kemudian terhapus oleh kebencian mendalam.

Hingga suatu hari, Ronald dan Iskandar pergi ke luar Ambon. Ronald diajak oleh pendeta Jecky Manuputty untuk pergi ke Yogyakarta dann berkumpul dengan anak daerah lain yang juga terlibat konflik seperti Poso dan Aceh.

Baca juga: Ransel Berisi Bom yang Ditemukan Warga Diduga Peninggalan Konflik Ambon

Itu pertama kalinya Ronald pergi ke luar Ambon. Di Yogyakarta, ia mengikuti sebuah kegiatan trauma healing yang digelar Universitas Gadjah Mada.

Di sana, ia bertemu dan berbagi cerita dengan anak-anak lain korban konflik dari Poso dan Aceh.

Dari sanalah, Ronald kecil yang berpikir dunia ini hanya Ambon, Manado, dan Ternate mulai menyadari bahwa ada dunia lain seperti Yogyakarta dengan gedung-gedung tinggi dan tidak ada pertikaian.

Dengan bantuan pendeta Jecky, psikologi Ronald yang saat itu menganggap bahwa konflik di Ambon adalah perang suci mulai dipulihkan.

"Satu kalimat yang saya ingat dari Pendeta Jecky adalah 'Lihatlah ke arah gunung itu, jikalau kamu pergi dan sampai ke puncak gunung itu, masih ada gunung lain lagi. Terus dan terus. Itulah masa depanmu'," tutur Ronald.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com