HARI ini, 19 Januari, 25 tahun sudah, sejak konflik pertama mendera kepulauan Maluku. Satu fase kelam dan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah hubungan etnik dan umat beragama di Indonesia.
Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku dan Maluku Utara) yang penduduknya dikenal toleran terhadap agama dan relasi kemanusiaan, di samping keindahan dan kekayaan alamnya, tiba-tiba berubah getir.
Sejumlah sejarawan, ilmuwan dan peneliti sosial spesialis kajian Maluku seperti Jacques Bertrand, Chris Wilson, Gerry van Klinken, Dieter Bartels dan Birgit Brauchler menyebut tragedi kemanusiaan di Maluku sebagai konflik Kristen-Muslim terbesar dan terparah dalam sejarah sosial – politik di Indonesia.
Menjadi periode konflik etno – politik yang paling tragis sepanjang garis agama yang membentang di Nusantara melintasi kepulauan Maluku, dengan gangguan serius di Ambon dan kepulauan Halmahera.
Pemicu konflik sebenarnya adalah hal sepele, berawal dari perkelahian antarindividu di Ambon, tetapi kemudian meluas, menjadi pertikaian antarkelompok.
Konflik menjadi semakin masif, intens, dan memburuk, seolah tak akan pernah selesai, sejak sejumlah kelompok atau faksi dan ‘oknum’ di militer, polisi, pemerintah, termasuk elite agama memanfaatkan isu kekerasan, terutama di Ambon untuk kepentingannya.
Memang selalu saja ada pihak yang mau mengambil keuntungan saat konflik terjadi. Sekalipun di depan mata ada korban yang terkapar atau terus berjatuhan.
Puncak konflik terjadi dalam kurun waktu 1999-2002, diawali peristiwa yang lebih dikenal dengan “Maluku Berdarah”, pada 19 Januari 1999 yang memakan banyak korban jiwa dan harta.
Tidak ada angka pasti berapa korban jiwa. Namun dari survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2012 memperkirakan korban akibat konflik di kepulauan Maluku sekira 8000-9000 jiwa, sebanding dengan korban akibat konflik di Suriah 2011.
Menurut LSI, akibat konflik lebih dari 70.000 orang terpaksa mengungsi atau eksodus, lebih dari 29.000 rumah terbakar, 7.046 rusak, termasuk 46 masjid, 47 gereja, 719 toko, dan 38 gedung pemerintah.
Konflik yang dengan cepat meluas sesungguhnya turut mengindikasikan gagalnya tanggung jawab negara dalam mencegah terjadinya konflik sosial lebih eksesif. Negara gagal menjalankan kewajiban melindungi warga negara atau obligation to protect.
Semula konflik dipahami oleh berbagai kalangan di masyarakat sebagai insiden yang disebabkan suatu tindak atau peristiwa kriminal biasa.
Namun pada kenyataannya ada banyak analisa dan kesimpulan diberikan terhadap akar konflik yang sebenarnya, atau penyebab utama terjadinya konflik.
Ada pendapat bahwa konflik merupakan rekayasa yang dirancang oleh orang atau kelompok tertentu, dengan menggunakan isu suku, agama dan ras.
Termasuk dalam hal ini adalah sinyalemen keterlibatan elite ‘Jakarta’, apalagi pada 1999 itu merupakan tahun pemilu pertama di era reformasi, menandai berakhirnya Orde Baru dan kekuasaan Soeharto.