Salin Artikel

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku dan Maluku Utara) yang penduduknya dikenal toleran terhadap agama dan relasi kemanusiaan, di samping keindahan dan kekayaan alamnya, tiba-tiba berubah getir.

Sejumlah sejarawan, ilmuwan dan peneliti sosial spesialis kajian Maluku seperti Jacques Bertrand, Chris Wilson, Gerry van Klinken, Dieter Bartels dan Birgit Brauchler menyebut tragedi kemanusiaan di Maluku sebagai konflik Kristen-Muslim terbesar dan terparah dalam sejarah sosial – politik di Indonesia.

Menjadi periode konflik etno – politik yang paling tragis sepanjang garis agama yang membentang di Nusantara melintasi kepulauan Maluku, dengan gangguan serius di Ambon dan kepulauan Halmahera.

Pemicu konflik sebenarnya adalah hal sepele, berawal dari perkelahian antarindividu di Ambon, tetapi kemudian meluas, menjadi pertikaian antarkelompok.

Konflik menjadi semakin masif, intens, dan memburuk, seolah tak akan pernah selesai, sejak sejumlah kelompok atau faksi dan ‘oknum’ di militer, polisi, pemerintah, termasuk elite agama memanfaatkan isu kekerasan, terutama di Ambon untuk kepentingannya.

Memang selalu saja ada pihak yang mau mengambil keuntungan saat konflik terjadi. Sekalipun di depan mata ada korban yang terkapar atau terus berjatuhan.

Puncak konflik terjadi dalam kurun waktu 1999-2002, diawali peristiwa yang lebih dikenal dengan “Maluku Berdarah”, pada 19 Januari 1999 yang memakan banyak korban jiwa dan harta.

Tidak ada angka pasti berapa korban jiwa. Namun dari survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2012 memperkirakan korban akibat konflik di kepulauan Maluku sekira 8000-9000 jiwa, sebanding dengan korban akibat konflik di Suriah 2011.

Menurut LSI, akibat konflik lebih dari 70.000 orang terpaksa mengungsi atau eksodus, lebih dari 29.000 rumah terbakar, 7.046 rusak, termasuk 46 masjid, 47 gereja, 719 toko, dan 38 gedung pemerintah.

Konflik yang dengan cepat meluas sesungguhnya turut mengindikasikan gagalnya tanggung jawab negara dalam mencegah terjadinya konflik sosial lebih eksesif. Negara gagal menjalankan kewajiban melindungi warga negara atau obligation to protect.

Semula konflik dipahami oleh berbagai kalangan di masyarakat sebagai insiden yang disebabkan suatu tindak atau peristiwa kriminal biasa.

Namun pada kenyataannya ada banyak analisa dan kesimpulan diberikan terhadap akar konflik yang sebenarnya, atau penyebab utama terjadinya konflik.

Ada pendapat bahwa konflik merupakan rekayasa yang dirancang oleh orang atau kelompok tertentu, dengan menggunakan isu suku, agama dan ras.

Termasuk dalam hal ini adalah sinyalemen keterlibatan elite ‘Jakarta’, apalagi pada 1999 itu merupakan tahun pemilu pertama di era reformasi, menandai berakhirnya Orde Baru dan kekuasaan Soeharto.

Maupun sejumlah analisa yang menyimpulkan faktor lain seperti kesenjangan sosial, ekonomi, politik, ketidakadilan, diskriminasi pemerintahan dan lainnya.

Apapun latarnya, sejatinya hubungan antarmasyarakat di kepulauan Maluku memiliki basis kultural kuat untuk mempersatukan, meski hidup dalam perbedaan; pulau, sub-etnik, agama dan bahasa.

Termasuk juga tradisi yang biasa digunakan sebagai media penyelesaian konflik, bila terjadi pertikaian antarmasyarakatnya. Namun kenyataannya itu seolah tak cukup mencegah konflik menjadi eksesif kala itu.

Dalam prosesnya, meski secara resmi Perjanjian Damai (Malino) telah ditandatangani antara delegasi umat Kristen dan Muslim, yang difasilitasi oleh pemerintah pusat pada Februari 2002, tetapi pertikaian masih terjadi terutama di ‘akar rumput’.

Bahkan sampai 2011, kekerasan komunal kerap meletup atau mengemuka di sejumlah kawasan, meskipun dalam skala yang kecil, lokal, dan terbatas.

Setelah melewati berbagai fase krusial hingga terwujudnya resolusi konflik, kini kepulauan Maluku telah damai, bahkan proses recovery-nya lebih cepat dari analisis dan prediksi sejumlah pihak.

Beberapa tahun setelah perjanjian damai, bekas konflik secara fisik nyaris sudah tak terlihat. Masyarakat mulai hidup damai, walau sesekali terjadi gesekan (konflik), tapi bukan residu dari konflik 1999, lebih pada konflik antarnegeri (kampung).

Sekalipun kadang mengkhawatirkan kalau-kalau konflik meluas, hingga ada keinginan dibentuk semacam komisi antisipasi konflik atau conflict anticipation commission, namun sejauh ini sejumlah konflik dalam skala yang kecil itu dapat cepat diatasi.

Bukti ketahanan dan kemampuan masyarakat dalam mencegah dan mereduksi potensi konflik. Fakta bahwa masyarakat di kepulauan Maluku telah belajar banyak, bahkan saat ini tergolong daerah dengan indeks kebahagiaan tertinggi di Indonesia.

Situasi dan pencapaian yang terbilang fantastis, patut diapresiasi terutama bagi satu daerah atau kawasan yang pernah dilanda oleh konflik sosial.

Adapun hingga tiba di titik ini, tentu ada banyak peran dan kontribusi dari berbagai individu maupun kelompok atau elemen masyarakat sipil, adat dan agama.

Mulai dari yang mengupayakan resolusi konflik, maupun yang turut terlibat menjaga serta merawat perdamaian dengan berbagai aksi dan pendekatan.

Peran berbagai pihak, kemauan yang kuat untuk terus membangun komunikasi serta dialog secara terbuka antara Orang Basudara dan komunitas lintas agama, adalah kontribusi yang paling mendasar.

Komunikasi dan dialog menjadi penting dalam membangun kesepahaman sehingga menghadirkan rasa saling percaya, dan itu adalah modal sosial yang memadai bagi terwujudnya kerja sama, khususnya antara komunitas Kristen-Muslim di Maluku.

Organisasi atau lembaga dan komunitas lintas-agama yang juga terus-menerus secara intensif bekerja dengan berbagi program untuk mereduksi potensi atau yang dapat menjadi pemicu terjadinya konflik.

Pada saat yang bersamaan mereka juga menyemai benih-benih perdamaian di masyarakat. Pengalaman yang kelam di masa lalu dijadikan guru terbaik.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku, Gereja Protestan Maluku, Keuskupan Amboina dan kelompok agama lainnya terus menunjukan komitmen yang tinggi. Sinergi terbangun dalam berbagai momentum.

Atas peran berbagai pihak itu, saat ini perbedaan di Maluku dapat dikelola dengan bijak, bahkan menjadi unik, di mana perbedaan justru bisa menghadirkan harmoni, kompromi dan saling bergandengan tangan.

Misalnya, jika gubernur Maluku beragama Islam, wakilnya beragama Kristen dan sebaliknya. Begitu pula di Kota Ambon dan sejumlah kabupaten atau kota lainnya. Menjadi semacam kompromi sosial-politik.

Ini yang dalam sejumlah kesempatan kerap saya sebut sebagai “keterampilan multikultural”. Satu bentuk keterampilan sosial yang juga hidup dalam kearifan lokal yang selama ini ada di tengah masyarakat.

Kearifan yang telah ikut menjaga dan merajut perdamaian serta kerukunan itu wajib dilestarikan dan diperkuat oleh masyarakat di kepulauan Maluku.

Transformasi simbol-simbol kearifan lokal seperti Pela, Gandong, Larvul Ngabal, ‘Ain ni Ain, Kalwedo dan lainnya, makin dirasa efektif sebagai alat pemersatu.

Menjadi simbol kultural bersama atau ‘common values’ yang menyatukan masyarakat Kristen dan Muslim, baik itu yang ‘asli’ Maluku maupun pendatang.

Dengan modal sosial yang ada, masyarakat kepulauan Maluku kini guyub dan rukun, saling membantu, bahu-membahu tanpa membedakan suku dan agama.

Semua itu mencerminkan dan memberikan pesan yang kuat bahwa persaudaraan dan kemanusiaan itu adalah nilai universal dan keadaban yang tinggi.

Menegaskan pula bahwa Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika bukan sebatas pajangan, tapi benar-benar tercermin dalam kehidupan masyarakatnya.

Apa yang terjadi di kepulauan Maluku, kini dapat menjadi pelajaran penting, tidak saja untuk masyarakat Maluku hari ini dan generasi ke depan, namun juga bagi masyarakat Tanah Air, bahkan dunia.

Belajar dari daerah yang pernah mengalami konflik, dan mampu bangkit adalah keharusan. Masyarakat kepulauan Maluku telah memberikan pembelajaran yang berharga buat bangsa Indonesia.

Bahwa tak ada yang diuntungkan dari satu konflik yang terjadi, dan keterpurukan bukanlah sesuatu yang perlu disesali berkepanjangan, justru harus mampu keluar serta menyadari untuk segera berbenah dan bangkit.

Konflik yang disebabkan karena perbedaan segera dapat diatasi karena persoalan utamanya bukan terletak pada perbedaan, dan perbedaan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari.

Berbeda bukan berarti mesti bertikai, tapi untuk saling menghormati dan mencari titik persamaan guna merajut persaudaraan sesama manusia.

Saat ini Indonesia tengah menghadapi berbagai tantangan, antara lain sikap intoleran yang kerap mengemuka, serta radikalisme (agama) yang dapat mengancam integrasi sosial dan keutuhan berbangsa.

Dalam kondisi semacam ini tentu kepulauan Maluku bisa dijadikan laboratorium multikultural dan etalase bagi pembelajaran yang penting dan inspiratif.

Pelajaran bahwa penghargaan dan penghormatan atas perbedaan, termasuk perbedaan pilihan atau afiliasi politik, adalah kewajiban setiap manusia dan sebuah keniscayaan, apalagi untuk Indonesia, jika ingin tetap bersatu, hidup rukun dan damai.

https://regional.kompas.com/read/2024/01/19/06000061/setelah-25-tahun-konflik-maluku

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke