KOMPAS.com - Kondisi lahan mangrove yang kritis di pesisir Pamekasan, Jawa Timur, mendorong Slaman melestarikan mangrove di pesisir desanya hampir 40 tahun lalu. Kini, inisiatifnya berkembang menjadi salah satu destinasi ekowisata sekaligus menggerakkan perekonomian warga.
Sekitar 38 tahun lalu, pada 1986, tutupan mangrove di pesisir Desa Lembung, Kecamatan Galis, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, hanya sekitar 19 hektare. Kondisi lahan mangrove di wilayah itu kritis karena sering ditebang warga untuk dijadikan kayu bakar. Akibatnya, abrasi selalu menjadi ancaman tiap bulannya.
Slaman, yang kala itu masih duduk di bangku SMP, ingat betul bagaimana air laut merusak tambak warga hingga masuk ke perkampungan.
Baca juga: Peringati Hari Bumi, Kementerian KP Tanam 1.000 Mangrove di Kawasan Tambak Silvofishery Maros
”Setiap musim pasang besar, banyak tambak-tambak ini yang sering jebol, rusak akibat abrasi karena tidak ada tanaman mangrove,” kata Slaman kepada wartawan Mustofa El Abdy yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Sejak itu, warga Dusun Lembung Utara yang berlokasi di Desa Lembung, Pamekasan ini berinisiatif melestarikan mangrove di pesisir desanya.
Usaha Slaman menyelamatkan mangrove di pesisir Madura sempat ditentang warga. Ia kerap mendapat ancaman hingga teror karena aktivitasnya melestarikan lingkungan. Namun Slaman pantang menyerah dan upayanya mengubah pola pikir warga berbuah hasil.
“Perlahan-lahan mereka berbalik, mulai sadar bahwa mangrove ini tidak boleh dirusak, malah membantu dalam hal ekonomi,” tutur Slaman.
Berkat perjuangan selama kurang lebih 38 tahun, luas hutan mangrove di pesisir Desa Lembung kini mencapai 45 hektare. Tanaman di atas lahan milik Perhutani itu kemudian disulap menjadi ekowisata.
Baca juga: Obyek Wisata Mangrove Jembatan Api-api Kulon Progo Rusak, Tak Bangkit Pasca-Covid-19
Berbekal sebilah linggis, Slaman kemudian menggali tanah sedalam 20 cm dan menancapkan satu persatu bibit mangrove di kawasan yang mulai gundul.
Slaman kemudian berkeliling untuk melihat bibit yang sudah ditanam sebelumnya. Ia menyusuri jembatan kayu yang membelah hutan mangrove seluas 45 hektar.
Aktivitas menanam bibit dan memantau kondisi mangrove menjadi salah satu rutinitas Slaman sejak memutuskan untuk melestarikan hutan bakau di desanya.
Pria berusia 54 tahun itu mulai melestarikan mangrove sejak remaja, ketika dirinya duduk di bangku SMP pada 1986. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di pinggir pantai untuk menanam dan menjaga mangrove dari kerusakan.
Baca juga: Nestle Indonesia Tanam 30.000 Mangrove di Pesisir Siak, Alfedri: Sejalan dengan Program Siak Hijau
“Dulu dari tahun 1986 setiap pulang sekolah kalau [air laut] lagi surut, sore selalu ke mangrove,” kata Slaman.
Slaman prihatin dengan ancaman abrasi yang kerap merusak lahan di kawasan pesisir, terutama tambak. Kondisi itu yang kemudian menggerakkan hatinya untuk melestarikan mangrove di desanya.
“Kalau musim purnama, ini sering kali air laut masuk ke perkampungan, sampai masuk ke dapur,” kenang Slaman.
Namun, niat baik Slaman melestarikan mangrove di ujung timur Pamekasan ini tidak langsung mendapat respons positif dari warga. Justru banyak yang menentang aksi bapak dua anak ini.
Seperti ibu-ibu pencari kerang bambu atau lorjhu’ yang merasa terganggu karena aktivitas Slaman memperluas lahan mangrove dianggap mengancam habitat biota laut yang menjadi mata pencaharian warga.
Baca juga: Wisata Mangrove Jambi Diapresiasi, Serap Karbon 6 Kali Lipat Tanaman Biasa
“Kaum ibu yang mencari lorjhu' itu khawatir dengan ditanami mangrove, lorjhu' tidak ada. Padahal lokasi lorjhu' itu di depan, sementara yang kami tanami di belakang,” kata Slaman.
Tak jarang, ibu-ibu pencari kerang laut merusak mangrove yang baru ditanam. Bahkan, pos tempat Slaman memantau mangrove juga dibakar.
“Sering tali dari pos kerja atau pos pantau kami, tempat istirahat kami, talinya dibakar. Bahkan gedeknya dulu sempat separuh kebakar juga,” jelas Slaman.
Selain pencari lorjhu', banyak juga ibu-ibu pencari kayu bakar menebangi tanaman mangrove yang sudah besar dan berakar. Padahal, Slaman sudah melarangnya.
Sejumlah warga masih terus mengganggu aktivitasnya. Bahkan, sejumlah pihak menghasut warga untuk menolak penanaman mangrove.
Yang paling parah, aku Slaman, dia diisukan sebagai spionase pemerintah karena selalu menjaga mangrove setiap hari.
“Dianggap orang gila karena enak-enak istirahat tapi ke laut tanam mangrove,” kata Slaman.