Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah 2 Eks Tentara Anak Saat Konflik Ambon: Dulu Saling Membenci, Kini Berkolaborasi

Kompas.com - 17/02/2019, 13:41 WIB
Farid Assifa,
Icha Rastika

Tim Redaksi

 Saat itu, Ronald pertama kali berperang dengan membawa jeriken bensin untuk membakar rumah lawan.

“Saya hanya punya dua pilihan, yakni membunuh atau dibunuh. Saya pun tidak ada pilihan lain selain harus membunuh demi menyelamatkan diri,” kata dia.

Hingga 2002, Ronald sering terlibat dalam banyak medan pertempuran, mulaid dari Ambon sampai Pulau Seram–Masohi.

Bahkan, ia pernah berperang di Teluk Ambon dengan menggunakan speed boat.

“Menjadi pasukan Agas yang kecil dan cepat serta gesit membuat pasukan saya berada di garis depan. Nyawa pun tidak ada artinya saat itu. Banyak lawan yang telah dibunuh dan banyak kawan pun yang terbunuh," kata dia.

“Yang kami tahu hanyalah membela Tuhan dan agama, serta tempat tinggal mereka,” ujar Ronald.

Baca juga: Cerita Wiranto Tangani Kemelut Konflik Ambon 19 Tahun Silam

Pada tahun 2003, konflik sempat mereda. Namun, konflik kembali pecah pada 2004.

Saat itu, isu yang dipermasalahkan bukan lagi soal agama, melainkan separatisme.

Ronald dan teman-temannya pun bingung harus berjuang atau tidak ketika itu.

“Namun akhirnya saya berjuang untuk mempertahankan tempat tinggal atau perbatasan. Di tahun yang sama, saya mendapat ‘hadiah’ peluru bersarang di paha kiri saya," ucap dia mengenang masa itu.

Pulang sekolah langsung perang

Sementara itu, Iskandar berperang saat duduk di bangku SMP. Awalnya, ia bersilaturahim kepada teman dan saudaranya pada momen lebaran.

Di tengah jalan, ia melihat ada warga berkelahi. Iskandar berpikir itu hanya perkelahian biasa.

Setelah pulang ke rumah dan mandi, Iskandar siap-siap pergi main. Baru beberapa meter dari rumah, ia dipanggil kakaknya untuk jangan pergi ke mana-mana.

Kakaknya memberitahukan bahwa telah terjadi konflik bernuansa SARA di Ambon.

“Kakak saya bilang Batu Merah (Kota Ambon) sudah kacau,” kata Iskandar.

Sekitar sore hari, Iskandar melihat warga kampung tetangganya yang terpisah DAM memukul-mukul tiang listrik sebagai pertanda darurat.

Tiba-tiba, warga kampung itu berkumpul dan memakai ikat kepala merah serta membawa senjata tajam.

Iskandar bersama tujuh saudara pun akhirnya bersiap-siap jika rumahnya diserang. Ia pun menyiapkan batu dan pasir untuk dilemparkan jika rumahnya diserang.

“Karena waktu itu hanya ada satu golok yang dibawa bapak. Akhirnya kami mengumpulkan batu dan pasir. Rumah kami waktu itu baru beres dibangun dan belum diberi jendela sehingga ada celah kosong. Jika ada yang mengintip, kami lempar pakai batu dan pasir,” kata dia.

Hari-hari pun dilalui dengan perasaan mencekam. Setiap malam, Iskandar harus berjaga malam dan kurang tidur.

Sementara itu, tetangganya hampir semuanya sudah mengungsi ke luar kota, terutama mereka yang berasal dari Buton.

Baca juga: Ransel Berisi Bom yang Ditemukan Warga Diduga Peninggalan Konflik Ambon

Di kampung Iskandar, hanya tinggal dua kepala keluarga. Rumah Iskandar juga dijadikan tempat pengungsian 8 keluarga Muslim yang pindah dari komunitas Kristen tak jauh dari tempat tinggal Iskandar.

“Kami akhirnya terisolasi. Mencari makan sulit karena tidak bisa bergerak. Kami hanya makan nasi dan mi instan,” kata dia.

Karena kampungnya terisolasi, Iskandar pun tidak bisa mendapat informasi apa pun dari luar kampungnya.

Sebaliknya, saudaranya di kampung lain pun tidak mendapat kabar soal nasib keluarga Iskandar.

"Kami tidak bisa bergerak ke mana-mana. Karena ketika keluar kampung kami harus melewati perkampungan Kristen. Karena terisolasi, keluarga kami pun dianggap meninggal," kata dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com