"Tidak ada filosofi khusus di sini. Justru sebaliknya, ada sugesti yang salah dan berkembang bahwa kopi arabika atau kopi Ateng kalau orang Dolok Sanggul menamainya adalah bahan mesiu atau bahan cat. Makanya jarang ditemui petani kopi yang mengolah hasil panennya untuk komsumsi pribadi," ungkapnya.
Sugesti yang salah itu menginspirasi Jimmy untuk membuktikan bahwa kopi dari Dolok Sanggul disukai banyak orang dan derajatnya sama dengan kopi-kopi lain yang sudah terkenal.
Langkah pertama yang dilakukannya adalah menemui para petani kopi di Desa Matiti I dan II. Setelah berdiskusi panjang lebar, akhirnya diputuskan untuk membuat Sekolah Lapang Kopi yang akan mengajari petani budidaya kopi yang baik dan benar, mulai dari tanam, pupuk, petik, panen dan pasca-panen.
"Selama ini petani masih mempertahankan budidaya kopi tradisi turun temurun dan menggunakan pupuk kimia. Kami ajari budidaya kopi yang alami tapi bisa meningkatkan produksi buah dan menambah penghasilan petani," ucap Jimmy.
Sekolah itu berlangsung selama setahun. Setelah hasilnya tampak dan petani bisa mandiri, sekolah ditutup. Tinggal mengurusi pasca-panen.
Agar para petani terhindar dari ketergantungan dengan tengkulak, maka mereka membentuk koperasi yang menampung hasil panen dan menghargainya lebih tinggi dari harga pasar. Petani juga bisa menabung atau meminjam uang dan membayarnya dengan kopi.
"Selesai urusan di kampung, saya bawa kopi ini ke Medan. Mengenalkannya kepada orang-orang, cuma saya yang melakukannya, sampai-sampai saya dijuluki Jimmy Dosa, singkatan dari Dolok Sanggul. Lama-lama mulai banyak yang kenal dan suka. Kemudian beberapa coffeeshop mulai ambil kopi kami," ungkapnya sambil mereguk secangkir kopi yang baru saja dibuatnya.
Sesekali Jimmy membawa bubuk kopi yang sudah di-roasting untuk dinikmati bersama di kampung supaya petani tahu rasa kopi yang mereka panen dan menikmati kopi terbaik.
"Waktu pertama kali menikmati kopi mereka, semua petani bilang enak. Padahal kopi yang mereka minum itu grade tiga, bagaimana lagi kalau grade satu? Selama ini mereka bertahan dengan kopi busuk yang murah akibat sugesti kampungan itu," pria berkumis itu tertawa.
Kopi Tao dijual dalam bentuk green bean maupun roasted bean atau powder. Sebagian keuntungan hasil penjualan kopi dikembalikan ke petani agar mereka semakin meningkatkan dan menjaga kualitas kopinya.
Meski masih berjalan manual dan konvensional, penjualan kopi ini perlahan naik. Namun demikian, Kopi Tao memiliki blog, situs web, Facebook dan Instagram.
Dia menuturkan, membeli Kopi Tao berarti mendukung petani kopi untuk terus mempertahankan kebunnya dan mencintai produk dalam negeri yang berkualitas. Satu lagi, jadilah konsumen pintar. Jangan bangga dengan produk yang dibungkus kemasan.
"Tagline kopi kami, 'minum kopi sebelum mati'. Agak ekstrem tapi gampang diingat, maksud mati di sini adalah mati ide, mati rasa, mati suasana, maka minum kopilah. Pahitnya semoga membawa kebahagian untuk para petaninya. Satu lagi, jangan jadi pengkhianat dengan meminum kopi ini pakai gula," tutur dia.