Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menengok Sekolah Terpencil di Deli Serdang, Atap Hancur dan Sebagian Siswa Bolos demi Melaut

Kompas.com - 25/07/2016, 08:57 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

 

Petani dipaksa jadi guru

Muhammad Sahid awalnya adalah petani di Aceh. Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengantarkan peranakan Jawa-Kendari ini sampai ke Dusun XV, mengungsi.

Di lahan barunya, ayah empat anak ini melanjutkan rutinitasnya bergumul dengan tanah dan bibit. Sampai pada 2008, Kak Mimi memaksanya untuk menjadi guru karena sekolah membutuhkan guru. Anak-anak perlu diajari banyak pengetahuan, Sahid sempat bimbang dan ragu.

"Waktu itu memang sekolah ini kekurangan guru. Ada LSM pendamping yang memberikan penyuluhan-penyuluhan, dan baca-baca buku sendiri. Alhamdulillah sudah mulai mengerti bahasa Arab, dan mata pelajaran lain, tidak ada kendala lagi," katanya tertawa.

Saat ini dia mengajar di kelas enam. Pria berkumis yang masih medok sekali logat jawanya ini bilang awal menjadi guru dia masih menerima tunjangan fungsional guru. Tapi sejak 2012 tidak menerima lagi. Sejak itu, dia hanya menerima honor dari dana BOS. Makanya dia meminta pemerintah memperhatikan nasib guru-guru sepertinya yang masih mengabdi.

Dia mengatakan, pihak dinas pendidikan kabupaten datang hanya saat jadi pengawas ujian.

"Jadi ketemu sama orang dinas itu pas ujian aja, yang lain belum pernah. Apalagi bupati," ujarnya dengan senyum simpul.

Ditanya betah tidak tinggal di dusun terpencil yang jauh dari mana-mana, pasalnya, anak dan istri Sahid tinggal di Kabupaten Langkat, terpisah sekitar 50 kilometer, dia menjawab dibetah-betahkan.

"Ya, dibetah-betahkanlah. Di sinikan dimulai dari pembukaan, perjuangan menjadikannya satu dusun, mungkin suatu saat ada pemekaran menjadi desa," jawab Sahid tegas.

Sejarah Dusun Korandak

Dusun XV sebelumnya dikenal dengan nama Dusun Korandak. Lokasinya berada di kawasan pesisir Pantai Timur. Jaraknya ke kantor Desa Karang Gading sekitar 15 kilometer, ke Kecamatan Labuhan Deli bisa mencapai 40 kilometer, dan ke ibu kota kabupaten sekitar 75 kilometer.

Letaknya sangat jauh dari pusat pemerintahan sehingga nyaris luput dari perhatian dan bantuan pemerintah.

Awalnya, areal ini diperuntukkan untuk para veteran. Yonvet Rajawali melakukan proyek pembukaan lahan seluas 1.000 hektar. Mungkin karena lokasinya yang sangat jauh dan terasing, tak ada veteran yang berminat bermukim di sini.

Hingga pada tahun 2000-an, datanglah berbondong-bondong pengungsi dari Aceh yang menjadi korban konflik DOM. Para pengungsi datang ke Korandak secara sporadis, di situlah Yayasan Gerakan Menuju Masyarakat Madani (GEMMA) yang dimotori Siswanto dan Sumiati Surbakti melakukan pendampingan dan penguatan sampai hari ini.

"Para pengungsi yang kami dampingi memulai hidup baru dengan bertani, penggarap lahan pertanian, nelayan pencari kepiting dan beternak.

Masalah sosial dan ekonomi di sini sangat kompleks, seperti minimnya mata pencarian, akses informasi, infrastruktur. Permasalahan tersebut sangat berdampak pada pemenuhan hak anak menjadi tidak terpenuhi, sulitnya kehidupan membuat anak-anak harus ikut membantu orangtuanya bekerja," kata Kak Mimi.

"Jauhnya jarak sekolah negeri maupun swasta dari tempat tinggal mereka sekitar 20 kilometer, tidak ada sarana transportasi umum, miskinnya kehidupan orangtua, semua membuat mimpi anak-anak Dusun Korandak pupus," katanya lagi dengan mimik nelangsa.

Pada tahun 2000, Yayasan GEMMA menginisiasi pembangunan sekolah darurat. Inilah cikal bakal berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Al Ittihadiyah, setingkat Sekolah Dasar (SD), menjadi satu-satunya sekolah di Dusun XV Korandak.

Dengan bangunan sederhana dari tenda plastik biru, 105 anak-anak bersuka ria mendapat pelajaran dengan guru-guru seadanya. Enam bulan proses belajar mengajar berlangsung, dengan swasembada masyarakat, terbangun satu kelas berdinding dan atap tepas.

Dua tahun kemudian, Yayasan GEMMA mengajukan proposal ke TDH German. Terbangunlah sekolah permanen yang sama dengan bangunan sekolah lain meski hanya lima kelas. Satu kelas digunakan untuk kantor.

Guru-guru yang mengajar belumlah terakreditasi. Keterbatasan membuat pilihan jatuh kepada masyarakat yang punya ilmu dan pengetahuan untuk mau berbagi. Dilatihlah mereka untuk bisa mengajari anak-anak. Kemarin, saya sempat bertemu salah satu alumni, dia menjadi guru di sekolahnya itu.

"Tapi mimpi anak-anak ini kembali pupus, sekolah mereka di terpa angin puting beliung, gedung sekolah tempat mereka belajar hancur. Meski mereka tetap belajar dengan kondisi ruang belajar darurat, tapi ini berbahaya karena sewaktu-waktu bangunan bisa runtuh. Saya mewakili murid-murid dan warga di sini mengucapkan selamat Hari Anak Nasional. Mereka anak Indonesia yang punya mimpi dan cita-cita, bantu kami mewujudkan mimpi mereka," harap Mimi.

Salam dari anak-anak Dusun Korandak. Di tempat lain, anak-anak merayakan Hari Anak Nasional, namun di Koandak, mereka hanya bisa diam dan menatap polos puing-puing bangunan sekolah yang berserakan.

Sudah masuk dua pekan, belum satupun para pemangku kebijakan datang memberi bantuan. Mereka hanya datang mengambil beberapa foto lalu pergi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com