Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menengok Sekolah Terpencil di Deli Serdang, Atap Hancur dan Sebagian Siswa Bolos demi Melaut

Kompas.com - 25/07/2016, 08:57 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

 

Baginya, mengurus sekolah dan mengajak anak-anak untuk tetap mau datang belajar adalah pengabdian dan perjuangan. Sebab, selain keterbatasan kelas, juga sumberdaya guru dan biaya operasional sekolah yang hanya mengandalkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Para orangtua belum menganggap pendidikan sebagai sebuah kebutuhan. Faktor kemiskinan menjadi kendala pertama yang membuat sedari balita anak-anak sudah harus membantu orangtuanya.

"Muridnya sedikit, mereka tidak ada dipungut biaya apapun, gratis semua. Kami cuma mengandalkan dana BOS untuk menggaji guru, jadi terbataslah semuanya. Tahun ini yang kami daftarkan ikut ujian nasional 19 orang, tapi yang ikut cuma 16 orang. Tiga murid itu memilih ke laut, putus sekolah lah mereka. Udah kita panggil orangtuanya supaya membujuk anaknya untuk ikut ujian, tak mau juga. Anaknya yang tak mau, lebih mau ke laut orang itu," kata Rasidi.

Rata-rata anak laki-laki usia 9 sampai 12 tahun memilih ikut melaut. Mereka bekerja memasang bubu kepiting dan lele pada malam hari lalu membongkarnya esok pagi.

Waktu membongkar bubu inilah yang berbenturan dengan waktu masuk sekolah, sehingga mereka lebih memilih bolos.

Kerja keras tangan-tangan mungil itu dihargai upah minimal Rp 10.000 sehari. Seorang nelayan mengatakan, harga jual lele ke tengkulak hanya Rp 25.000 per kilogram. Di Kota Medan, harganya membumbung mulai Rp 80.000 sampai Rp 100.000.

Begitu juga dengan kepiting, maka disparitas harga inilah yang membuat mereka akan tetap miskin.

"Anak sekolah di sini juga kalau masa musim tanam dan panen padi sering tak nampak di sekolah. Mereka disuruh orangtuanya menjaga adiknya. Makanya, kita kadang repot, pas datang pemeriksaan, murid-muridnya tidak ada. Apalagi kalau musim hujan, dari 105 murid tahun kemarin, yang hadir ke sekolah cuma 20 orang, lumpurnya sebetis," kata laki-laki berkulit hitam itu.

Pihaknya mengaku tidak bisa membuat aturan keras atau sanksi kepada siswa-siswi yang mangkir sekolah. Belum lagi kalau siang hari, kebanyakan anak-anak masih diharapkan tenaganya untuk mengembala kambing. Meski mereka bisa

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com