Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menengok Sekolah Terpencil di Deli Serdang, Atap Hancur dan Sebagian Siswa Bolos demi Melaut

Kompas.com - 25/07/2016, 08:57 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

 

"Udah bosan kau, ya... Beginilah kami kalau mengunjungi mereka. Jauh, mereka di dusun orang itu paling ujung sana. Udah, tidur aja kau dulu di boncengan," kata Kak Mimi sambil cekikikan.

Tak lama, terdengar teriakannya. "Kita sudah sampai..."

Mata saya disambut pemandangan di kanan-kiri jalan masuk dusun dengan rumah-rumah beratap rumbia, berdinding tepas reot, ada yang memakai terpal biru.

Berdampingan dengan kandang-kandang kambing dan WC tanpa septic tank yang pembuangannya langsung ke parit-parit yang ada hampir di setiap belakang rumah.

Penilaian kumuh, miskin dan tidak layak pastilah mengisi kepala orang yang pertama kali datang ke sini. Sampah-sampah berserakan, anak-anak tak beralas kaki dengan muka kucel, raut-raut keras para orangtua, mungkin akibat udara panas yang menggigit.

Kak Mimi memarkir sepeda motornya di depan kelas yang jendela-jendelanya sudah rusak. Dua laki-laki sudah menunggu. Mereka adalah Rasidi, sang kepala sekolah dan Muhammad Sahid, guru kelas VI.

Mata saya langsung bertubrukan dengan dua kelas yang atapnya porak-poranda. Belum sempat bertanya, Rasidi memberi jawaban.

"Itu kena puting beliung, pas hari pertama masuk sekolah. Terpaksa kami liburkan lagi anak-anak. Kalau di sini, namanya daerah terpencil, masuk sekolah diduluankan supaya tahu jumlah murid yang mau mendaftar," katanya.

Alhasil, hanya tiga kelas yang bisa dipakai belajar mengajar saat ini. Padahal sebelumnya, sekolah ini pun masih kekurangan kelas.

"Cuma ada lima kelas dan satu kantor. Murid kelas satu dan dua lah yang kita atur jadwal belajarnya. Kelas satu dari jam 08.00 sampai 10.00, habis itu masuk murid kelas dua sampai jam 12.00 lewat. Kelas tiga sampai kelas enam, masuk jam 08.00 sampai jam 12.00 lewat. Dari dulu sudah begitu, dengan keadaan kelas seadanya, darurat beginilah, bu," kata Rasidi.

Saya melongok ke kelas enam, muridnya sekitar 20-an orang. Beberapa murid duduk sebangku tiga orang. Di sudut ruang, tersusun bangku-bangku tak bisa dipakai lagi. Meja guru separuhnya penuh dengan tumpukan buku. Dua jendela dipalang, mungkin karena lubang angin yang sudah cukup besar.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com