JAMBI, KOMPAS.com – Hujan turun bersama kabut. Dalam malam yang dingin suara dari masjid menerjang. Orang-orang diminta keluar rumah, banjir besar telah memutus jembatan. Sejumlah orang memeriksa keadaan agar semua warga selamat dan tak jatuh korban jiwa.
Pada pagi menjelang siang, Selasa (2/1/2024), tersiar kabar seorang balita MR berusia dua tahun terkubur longsor dan meninggal.
Orangtuanya AD (22) dan LA (20), warga Dusun Talang Angin, Desa Pasar Tamiai, Kecamatan Batang Merangin, Kerinci, Jambi, selamat meskipun menderita luka-luka.
Baca juga: Sekolah Adat Papua untuk Seniman Muda
Kejadian pada malam buta itu menjadi pukulan telak bagi masyarakat adat Muaro Langkap. Bencana telah merenggut nyawa. Keseimbangan alam telah terganggu akibat keserakahan manusia.
Dalam kawasan hutan masyarakat adat Muara Langkap ada pembangunan megaproyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan aktivitas penambangan emas ilegal, yang kini bagian dari kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
“Kami tidak berdaya. Anak jantan dan betino (rakyat) telah patuh pada norma dan hukum adat. Mereka sekuat tenaga merawat hutan. Tapi PLTA dan penambangan emas ilegal dari luar, kami menemui hambatan untuk mengambil tindakan,” kata Datuk Mukhri Soni selaku Depati Muaro Langkap di rumahnya, Jumat (19/1/2024).
Baca juga: Karut Marut Angkutan Batu Bara di Jambi...
Untuk menjaga keseimbangan alam, anak jantan dan betino rela bergantian untuk menggarap lahan.
Dalam satu keluarga mereka garap lahan yang sempit agar hutan tak lagi terkoyak. Sebagian yang mengalami tekanan berat ekonomi terpaksa merantau ke luar negeri menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI).
Untuk melakukan itu, Depati Muaro Langkap harus membuat ritual khusus dengan minimal memotong 40 kerbau.
Datuk Mukhri memandang aktivitas penambangan emas ilegal dalam perut TNKS, yang secara turun temurun merupakan hutan adat Muaro Langkap, melanggar hukum adat. Sudah 105 hektar hutan terkoyak.
“Pelaku penambang emas dari luar, maka kami susah menjatuhkan hukum adat. Tapi kami sudah melapor ke polisi dan Balai Besar TNKS,” kata Datuk.
Aktivitas penambangan emas ilegal secara adat telah melukai tanah, membelah tebing, memutus aliran sungai dan menebang pohon. Maka, termasuk pelanggaran adat karena mengundang bala bencana.
“Kami percaya alam itu punya tuah (kekuatan) dan bisa membinasakan semua orang kalau salah mengelola bukit, lembah, hutan dan sungai,” kata lelaki berusia 47 tahun.
Penambangan emas ilegal yang mengoyak hutan, kata Datuk Mukhri, mengancam harimau, kuburan leluhur dan tempat ‘yang lain’ penunggu alam raya. Atas dasar itu, mereka dengan sekuat tenaga menghentikan kejahatan yang merusak lingkungan.
Hukuman adat bagi tangan-tangan jahat manusia yang merusak hutan adalah potong kerbau, beras 100 gantang, dan lemak semanis. Secara materi memang kecil, tetapi hukuman ini memiliki nilai spiritual yang tinggi, yakni kearifan untuk memuliakan hutan.
Meskipun pelaku penambang emas ilegal terbukti bersalah secara hukum adat, masyarakat adat Muaro Langkap kehilangan daya untuk menegakkan hukum adat. Sebab, hutan adat yang dijarah penambang emas ilegal tersebut berada dalam kekuasaan Balai Besar TNKS.
Setelah Indonesia merdeka, kekuatan masyarakat adat tergerus. Padahal, pada zaman penjajahan Belanda tahun 1924, orang adat kerap dimintai ajum arah saat hendak membuka hutan adat untuk perkebunan kopi.
“Mereka yang kita katakan penjajah itu sangat menghargai kearifan lokal masyarakat adat. Mereka mau memotong 40 kerbau, ketika membuka hutan di kawasan adat untuk perkebunan kopi,” kata Datuk.