Budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman menuturkan, kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga hutan di Kerinci, kebanyakan berkaitan dengan harimau. Hukum adat adalah tatanan yang mengikat banyak orang agar tak sembarang merusak hutan.
Ia mencontohkan banjir terparah dalam sejarah di Kerinci. Lebih separuh populasi warga Kerinci dan Sungaipenuh hampir sebulan terendam air, karena kearifan-kearifan dalam menjaga hutan telah dipinggirkan, bahkan dilupakan.
Dari banyak kisah, ketika ada jejak harimau dalam kampung, maka tetua langsung masuk ke dalam hutan untuk memeriksa keadaan. Biasanya ada orang yang menebang pohon atau berbuat buruk dalam hutan, tanpa izin dari tetua masyarakat adat.
Penulis Sejarah Sumatera, William Marsden dari Belanda, kata Nukman, pernah mengatakan jika orang Kerinci termasuk ‘bodoh’ karena membiarkan harimau berkeliaran dan tidak dibunuh. Padahal harimau adalah satwa liar yang sangat berbahaya.
“Orang yang tidak memahami budaya Kerinci secara mendalam, tentu akan berkata demikian, tapi pada dasarnya ada hubungan yang kuat antara harimau dan manusia di Kerinci. Ada perjanjian untuk tidak saling menggangu,” kata Nukman.
Harimau bagi orang Kerinci juga termasuk hewan yang dilindungi dalam hukum adat. Ada banyak kearifan seperti mitos cindaku, ngegah harimau, dan silat harimau.
Dalam tradisi ngegah harimau, masyarakat akan mengadakan ritual penghormatan, jika ada harimau ditemukan mati di sekitar kampung.
Peneliti harimau, Jeanne E McKay pada jurnal yang terbit di National Library of Medicine menyebutkan, sudah ribuan tahun orang Kerinci hidup berdampingan dengan harimau dalam kawasan hutan.
Mayoritas masyarakat Kerinci pantang membunuh harimau. Walau ada warga desa yang mati diterkam harimau, mereka tetap tidak melakukan apa-apa. Bahkan dianggap hukuman bagi pelanggar moral.
Kearifan yang berwujud dalam nilai spiritual mendorong konservasi harimau. Meskipun terjadi perburuan harimau, kucing besar ini tak punah. Populasinya yang berada di TNKS cukup besar ketimbang tempat lain di Sumatera.
“Harimau dipercaya sebagai perwujudan roh nenek moyang. Mereka mengaturnya dalam ritual-ritual adat. Jadi mereka melindungi hutan dan harimau secara bersamaan,” kata Jeanne.
Helida menerbitkan kisah orang Kerinci yang merawat hutan pada jurnal etnobiologi dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian dilakukan pada tiga lokasi, salah satunya Dusun Tamiai bagian dari masyarakat adat Muaro Langkap.
Pengetahuan lokal dari masyarakat adat terbukti dapat merawat hutan. Kearifan itu sudah berlangsung lama berkaitan dengan sejarah, bahasa, sistem kekerabatan, ritual kepercayaan, kesenian, sistem kepemimpinan dan sistem sosial.
“Mereka memiliki rasa hormat kepada alam dan meyakini ada bencana yang datang ketika melakukan perbuatan merusak hutan,” tulis Helida.
Tidak hanya harimau, masyarakat Kerinci mengenal 89 spesies hewan termasuk rantai makanan satwa di dalam hutan. Selain itu, memiliki kemampuan memanfaatkan sebanyak 234 spesies tumbuhan, untuk bahan obat (200 spesies) dan bahan pangan (70 spesies).
Dengan segala tantangan masa kini, masyarakat adat Muaro Langkap berharap dukungan dari semua pihak. Mereka ingin merawat hutan dan memuliakan harimau. Namun gempuran penambang emas ilegal yang mengoyak hutan telah membawa bencana.
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund, Pulitzer Center
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.