TANGAN Natalino Goncalves (49) sibuk mengatur lalu lintas di lahan pertanian di Motabuik, Atambua Selatan, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Polisi berpangkat inspektur dua (ipda) itu bertugas mengatur arus lalu lintas saat Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) John Wempi Wetipo berkunjung ke kawasan itu pada Rabu (16/8/2023).
Baca juga: Kisah Merah Putih di Tepi Batas Tanah Air
Goncalves merupakan Kanit Patwal Lalu Lintas Polres Belu. Namun, cerita hidup Goncalves tak hanya aktivitas keseharian mengatur lalu lintas kabupaten di NTT yang berbatasan langsung dengan Timor Leste itu.
Dia adalah salah satu warga kelahiran Timor Timur yang memilih bergabung dengan Indonesia seusai referendum pada 1999.
Goncalves, yang masih memakai seragam kepolisian bersedia berbagi kisah hidupnya kepada saya, Zintan Prihatini, jurnalis Kompas.com dalam liputan khusus Merah Putih di Perbatasan.
Dia mengaku pindah ke tanah NTT seusai disahkannya hasil referendum pada 1999 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Saat itu, referendum mendapati hasil Provinsi Timor Timur memerdekakan diri dari Indonesia dan menjadi sebuah negara, yaitu Timor Leste.
“Dengan situasi yang berkembang (saat itu), (seusai hasil) jajak pendapat, saya tidak sempat bertemu dengan keluarga. Langsung berpisah (dengan keluarga), bersama kesatuan (kepolisian),” ungkap Goncalves.
Baca juga: Sepenggal Kisah Eks Warga Timor Timur: Mengungsi Bersama Puluhan Orang dalam Truk
Kata Goncalves, ibu, ayah serta adik dan kakaknya memilih menetap di Timor Leste. Mereka, kata dia, sempat berada di penampungan sementara dirinya ada di asrama bersama kesatuannya. Alhasil, ia harus berpisah dari keluarganya lantaran pengabdiannya kepada negara.
“Berjalannya waktu, keluarga memilih kembali (ke Timor Leste). Saya menetap (di NTT) karena kehendak hati untuk memilih NKRI, sampai sekarang mengabdi di NKRI,” tuturnya.
Goncalves mencoba mengingat kembali, peristiwa yang memisahkan dia dan keluarganya itu.
Perasaan sedih yang membuncah, kata dia, tak terelakkan ketika harus meninggalkan keluarga di tanah kelahirannya. Kala itu, Goncalves berusia 20-an tahun dan masih berpangkat Sersan Dua.
“Walaupun cinta ke kampung halaman tetap ada, tetapi saat ini saya masih mengabdi (di Indonesia),“ jelasnya.
Goncalves menyampaikan, orangtuanya tetap bertahan hidup di Timor Leste untuk mempertahankan harta benda. Bila pindah ke wilayah NTT, mereka harus memulai kehidupan dari nol lagi.
Baca juga: Jalan Berliku Menuju Atambua, Perjalanan bak di Film Fast and Furious
“(Bila ke sini), tanah tidak ada, harta kekayaan juga tidak ada. Dari mana mereka bisa hidup? Jadi (buat) mereka, mau susah, mau senang, harus kembali demi kampung halaman,” terang Goncalves.
Di sisi lain, Goncalves malah harus berulang kali berpikir jika hendak meninggalkan Indonesia. Mencari pekerjaan, lanjutnya, tak semudah membalikkan telapak tangan.