KOMPAS.com - Priangan. Daerah di Jawa Barat ini merupakan salah satu kawasan yang menjadi tumpuan ekonomi pemerintah kolonial Belanda. Tak pelak, Priangan menjadi wilayah prioritas pembangunan rel kereta api sebagai sarana pengangkut hasil bumi.
Kita akan menelusuri jejak penjajahan berusia ratusan tahun di kawasan ini dari Bogor hingga Cianjur, seraya menyinggahi beberapa tempat bersejarah di sekitar jalur tersebut.
Dalam penelusuran ini, wartawan BBC News Indonesia, Jerome Wirawan, menemukan berbagai fakta yang mungkin Anda juga belum mengetahuinya.
Baca juga: Melihat Jejak Kereta Api dan Penjajahan Belanda di Tanah Priangan, Tanam Paksa hingga Plesiran (1)
Pada masa keemasannya, hasil produksi gutta percha dari Cipetir dikirim ke berbagai negara di dunia untuk digunakan sebagai bahan insulator kabel telegraf bawah laut.
Keunikannya ini tidak dimiliki tanaman karet biasa.
Baca juga: Kereta Wisata Baru di Solo, Lokomotif Uap Kuno Berusia Hampir 1 Abad
"Kandungan kimianya berbeda. Pengolahannya pun berbeda. Kalau karet biasa kan dari batang disadap kemudian keluar getahnya. Kalau gutta percha dari daun, getahnya ada di daun," jelas Budi Prayudi, staf pabrik Cipetir.
Oleh masyarakat setempat, gutta percha disebut karet oblong.
Istilah ini berawal dari bahasa Latin untuk tanaman gutta percha, yaitu Palaquium Oblongifolium.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Kecelakaan Beruntun Kereta Api di Jepang, 160 Orang Tewas
"Di pabrik kami ada gilingan atau alat penggilas yang didatangkan dari Italia, yang satu setnya terdiri dari dua batu besar. Satu batu besar beratnya empat ton. Waktu itu alat transportasi belum secanggih sekarang. Pada zaman pemerintahan Belanda, batu penggilingan diangkut dari pelabuhan ke Stasiun Cibadak menggunakan kereta. Dari Stasiun Cibadak, batu diangkut oleh pedati ke pabrik Cipetir yang berjarak 12 kilometer," papar Budi.
Dalam perjalanan pengangkutan batu-batu impor itu dari Stasiun Cibadak ke pabrik Cipetir, menurut Budi, ada cerita yang diturunkan oleh penduduk sekitar.
"Kuda itu tidak mau berjalan. Berdasarkan cerita orang-orang setempat, ada saran untuk disuguhi tarian Nyi Ronggeng supaya kuda mau berjalan," kata Budi.
Baca juga: KAI Operasikan Kembali Lokomotif Uap Kuno Buatan Jerman di Jawa Tengah
"Kereta api untuk mengangkut hasil dari pabrik kita ke Stasiun Cibadak dulu. Dari Stasiun Cibadak ke Tanjung Priuk di Batavia diangkut pakai kereta kargo," paparnya.
Sekarang kapasitas produksi pabrik Cipetir jauh berkurang karena penggunaan gutta percha untuk bahan industri sudah banyak digantikan oleh material yang lebih modern.
Saat BBC News Indonesia menyambangi tempat itu, tanaman gutta percha hampir tak terlihat. Hanya ada sekumpulan kecil tanaman gutta percha di dalam kompleks pabrik.
Tanaman sawit justru yang mendominasi pemandangan di sekitar pabrik.
Bagaimanapun, bangunan pabrik berusia lebih dari satu abad ini masih berdiri dan menjadi saksi bisu sejarah perkebunan Priangan di era kolonial Belanda.
Baca juga: Setelah 36 Tahun, Akhirnya Lokomotif Pertama Tiba di Stasiun Garut...
Sistem inilah yang kemudian mengilhami Cultuurstelsel atau tanam paksa di berbagai wilayah di Hindia Belanda.
Namun, pada era tersebut, pengangkutan kopi dari dataran tinggi ke pantai menjadi masalah besar, sebagaimana diterangkan sosiolog Belanda, Jan Breman, dalam buku berjudul Keuntungan kolonial dari kerja paksa: sistem Priangan dari tanam paksa kopi di Jawa, 1720-1870.
"Daendels menyatakan ketika ia datang tahun 1808 hampir tidak ada jalan yang dapat dilewati...Penyetoran biji kopi ke gudang pengapalan biasanya menggunakan kerbau, padahal jumlah binatang ini sangat sedikit...Karena sulitnya medan perjalanan...menyebabkan perjalanan pulang-pergi Bandung membutuhkan waktu lebih dari dua bulan," papar Jan Breman dalam buku terbitan 2010 itu.
Baca juga: PT KAI akan Gunakan Lokomotif dengan Bahan Bakar B20