Salin Artikel

Melihat Jejak Kereta Api dan Penjajahan Belanda di Tanah Priangan, dari Era Tanam Paksa (2)

Kita akan menelusuri jejak penjajahan berusia ratusan tahun di kawasan ini dari Bogor hingga Cianjur, seraya menyinggahi beberapa tempat bersejarah di sekitar jalur tersebut.

Dalam penelusuran ini, wartawan BBC News Indonesia, Jerome Wirawan, menemukan berbagai fakta yang mungkin Anda juga belum mengetahuinya.

Pada masa keemasannya, hasil produksi gutta percha dari Cipetir dikirim ke berbagai negara di dunia untuk digunakan sebagai bahan insulator kabel telegraf bawah laut.

Keunikannya ini tidak dimiliki tanaman karet biasa.

"Kandungan kimianya berbeda. Pengolahannya pun berbeda. Kalau karet biasa kan dari batang disadap kemudian keluar getahnya. Kalau gutta percha dari daun, getahnya ada di daun," jelas Budi Prayudi, staf pabrik Cipetir.

Oleh masyarakat setempat, gutta percha disebut karet oblong.

Istilah ini berawal dari bahasa Latin untuk tanaman gutta percha, yaitu Palaquium Oblongifolium.

"Di pabrik kami ada gilingan atau alat penggilas yang didatangkan dari Italia, yang satu setnya terdiri dari dua batu besar. Satu batu besar beratnya empat ton. Waktu itu alat transportasi belum secanggih sekarang. Pada zaman pemerintahan Belanda, batu penggilingan diangkut dari pelabuhan ke Stasiun Cibadak menggunakan kereta. Dari Stasiun Cibadak, batu diangkut oleh pedati ke pabrik Cipetir yang berjarak 12 kilometer," papar Budi.

Dalam perjalanan pengangkutan batu-batu impor itu dari Stasiun Cibadak ke pabrik Cipetir, menurut Budi, ada cerita yang diturunkan oleh penduduk sekitar.

"Kuda itu tidak mau berjalan. Berdasarkan cerita orang-orang setempat, ada saran untuk disuguhi tarian Nyi Ronggeng supaya kuda mau berjalan," kata Budi.

"Kereta api untuk mengangkut hasil dari pabrik kita ke Stasiun Cibadak dulu. Dari Stasiun Cibadak ke Tanjung Priuk di Batavia diangkut pakai kereta kargo," paparnya.

Sekarang kapasitas produksi pabrik Cipetir jauh berkurang karena penggunaan gutta percha untuk bahan industri sudah banyak digantikan oleh material yang lebih modern.

Saat BBC News Indonesia menyambangi tempat itu, tanaman gutta percha hampir tak terlihat. Hanya ada sekumpulan kecil tanaman gutta percha di dalam kompleks pabrik.

Tanaman sawit justru yang mendominasi pemandangan di sekitar pabrik.

Bagaimanapun, bangunan pabrik berusia lebih dari satu abad ini masih berdiri dan menjadi saksi bisu sejarah perkebunan Priangan di era kolonial Belanda.

Sistem inilah yang kemudian mengilhami Cultuurstelsel atau tanam paksa di berbagai wilayah di Hindia Belanda.

Namun, pada era tersebut, pengangkutan kopi dari dataran tinggi ke pantai menjadi masalah besar, sebagaimana diterangkan sosiolog Belanda, Jan Breman, dalam buku berjudul Keuntungan kolonial dari kerja paksa: sistem Priangan dari tanam paksa kopi di Jawa, 1720-1870.

"Daendels menyatakan ketika ia datang tahun 1808 hampir tidak ada jalan yang dapat dilewati...Penyetoran biji kopi ke gudang pengapalan biasanya menggunakan kerbau, padahal jumlah binatang ini sangat sedikit...Karena sulitnya medan perjalanan...menyebabkan perjalanan pulang-pergi Bandung membutuhkan waktu lebih dari dua bulan," papar Jan Breman dalam buku terbitan 2010 itu.

Bagaimanapun, dalam kondisi transportasi yang sulit, produksi perkebunan Priangan tetap unggul.

Jan Breman mencatat, ketika konsumsi kopi dunia pada 1822 meningkat hingga 225.000 ton, Hindia Belanda memasok 100.000 ton dari total jumlah ini. Dari jumlah itu, "sebagian besarnya berasal dari dataran tinggi Sunda," tulis Jan Breman.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda tampak menikmati benar hasil perkebunan ini.

Jan Breman mengutip penulis sejarah tanam paksa, C Fasseur, "yang menghitung bagaimana penghasilan uang di Hindia Belanda yang pada 20 tahun pertama tidak lebih dari seperlima pendapatan negara Belanda, meningkat sampai hampir sepertiga bagian pendapatan negara pada tahun 1850-an".

Pernyataan Carey terkonfirmasi dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 karya sejarawan M C Ricklefs.

Ricklefs menyebut keuntungan sistem tanam paksa menjadikan perekonomian dalam negeri Belanda kembali stabil: utang-utang luar negeri Belanda terlunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan diciptakan, dan jalan-jalan kereta api negara dibangun.

Perekonomian Belanda sebelumnya memang sempat goyah akibat Perang Jawa (1825-1830).

Menurut sejarawan Peter Carey, kurang lebih 25 juta gulden (setara dengan kira-kira US$2,5 miliar untuk hari ini) telah dikeluarkan dari kas negara untuk memadamkan pemberontakan yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro itu.

Akan tetapi, sistem tanam paksa tersebut dihujani kritik oleh berbagai kalangan, termasuk Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dalam bukunya Max Havelaar.

Pemerintah Hindia Belanda merespons kritik-kritik itu dengan memberlakukan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada 1870.

"Undang-undang agraria atau Agrarische Wet 1870 membuka peluang lebih besar bagi pihak swasta untuk masuk ke dalam sektor perkebunan di Priangan. Tentunya ini membawa dampak makin luasnya area perkebunan di Priangan," papar Dicky Soeria Atmadja, wakil ketua International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) Indonesia.

"Dan dengan semakin luasnya area perkebunan tentunya kebutuhan transportasi terutama kereta api juga akan makin meningkat. Dengan demikian terlihat bahwa pemerintah mendorong dibangunnya kembali beberapa jalur atau sejumlah jalur di Priangan untuk mendukung perkebunan-perkebunan baru ini," tambah Dicky.

Sejumlah literatur mencatat jumlah perkebunan meningkat di Priangan setelah kereta api hadir sebagai moda transportasi tepat pada masa peralihan dari era Cultuurstelsel atau tanam paksa ke era Undang-Undang Agraria.

Setelah UU Agraria diberlakukan, pada tahun 1902 di seluruh Hindia Belanda terdapat lebih kurang 100 perkebunan teh; 81 di antaranya terletak di Jawa Barat.

Perkebunan kina di Hindia Belanda berjumlah 82 buah, dan yang berada di Jawa Barat sebanyak 60 perkebunan.

Produksi kina dari Hindia Belanda (terutama perkebunan di Priangan) pada tahun 1939 sebanyak 12.391 ton alias sama dengan 90% dari seluruh produksi kina dunia.

----------------------

Di stasiun ini, kita masih bisa melihat sisa-sisa teknologi yang terbilang maju pada zamannya mengingat saat itu kereta api sangat diandalkan untuk mengangkut hasil perkebunan di Priangan.

Dicky memperlihatkan wujud salah sisa teknologi di ujung stasiun, yaitu turn table.

"Turn table fungsi utamanya adalah untuk memutar arah lokomotif. Jadi saat itu lokomotif uap yang datang dari arah Bogor menuju ke Sukabumi sampai di stasiun ini, jika ingin kembali lagi ke arah Bogor harus diputar arahnya dulu lokomotifnya," kata Dicky.

Proses kerja turn table diawali dengan masuknya lokomotif ke dalam rel pada turn table sampai titik berat lokomotif tepat di tengah-tengah.

"Karena titik berat lokomotif itu tepat diletakkan di tengah-tengah, cukup dengan dua orang saja maka lokomotif yang beratnya puluhan ton—bisa sampai 80 ton bahkan lebih— dapat diputar arahnya, berkebalikan arah," papar Dicky.

Teknologi itu berwujud terowongan kereta pertama di Hindia Belanda yang dibangun antara tahun 1879 hingga 1882.

"Terowongan ini sekarang terletak tepat di perbatasan Sukabumi dan Cianjur. Dulu lokasi ini adalah lokasi yang paling sulit pada saat pembangunan jalur kereta api dari Sukabumi menuju Cianjur.

"Mengapa sulit? Karena di tempat inilah mereka menemukan sebuah bukit yang mau tidak mau harus ditembus atau digali. Bebatuannya cukup keras sebagian, sebagian lagi batunya terlalu lunak. Sehingga ada yang digali dan ada juga yang dikupas. Dan menjadi sangat sulit karena mereka belum pernah sama sekali punya pengalaman untuk sebuah terowongan di Hindia Belanda," tutur Dicky.

"Tepat di daerah ini, ada Onderdeming Sibokor yang juga memproduksi teh dan kina. Pada saat mereka diminta untuk pembangunan terowongan ini pemiliknya menyetujui dengan satu syarat bahwa harus dibangun suatu stasiun atau halte saat itu yang berada di sini untuk membantu mereka mengangkut komoditas ke pelabuhan. Dan itulah cikal bakal stasiun Lampegan yang sekarang ada di mulut terowongan sisi Cianjur," papar Dicky.

Dicky, yang beberapa kali memandu rombongan pemerhati sejarah di jalur kereta Bogor-Cianjur, menilai keberadaan terowongan dan jalur kereta tersebut adalah sebuah pencapaian.

"Kesulitan kondisi alam saat itu dapat diatasi. Itu yang saya sebut engineering marvel."

Di samping predikatnya sebagai terowongan kereta pertama di Hindia Belanda, Lampegan punya latar belakang penamaan yang unik. Salah satu versi adalah kesalahan penyebutan.

Kode teriakan dari petugas stasiun pada saat itu pada saat selesai menyalakan lampu adalah "lampen gaan".

"'Lampen gaan' dari kata Belanda yang artinya lampu sudah menyala, 'lights go on', kira-kira begitu. Kata-kata ini berulang terus setiap lokomotif masuk ke arah terowongan dan itu kemudian ditangkap oleh orang-orang lokal yang menyangka itu adalah seolah-olah nama dari terowongan ini. Sehingga sampai sekarang disebut dengan Lampegan," kata Dicky sembari tersenyum lebar.

-------------------

"Saat ini kita berada di Stasiun Cianjur, stasiun terakhir dalam kajian kami saat ini. Karena sesungguhnya jalur ini masih berlanjut terus sampai ke Padalarang, Cimahi, Bandung dan Cicalengka," ujar Dicky.

Hingga 1864, Cianjur sebenarnya adalah ibu kota Priangan. Jalur kereta api yang menyambungkan Cianjur hingga ke Batavia ini membuktikan bahwa Cianjur sempat memiliki peran penting di masa lalu.

"Priangan saat itu belum beribu kota di Bandung, tapi masih di Cianjur. Setelah sekian waktu pemerintah kolonial memindahkan ibu kota Priangan dari Cianjur ke Bandung. Tentu saja waktu itu ini mengurangi peran Cianjur sebagai sebuah kota dan sebagai bagian dari jalur kereta api," ujar Dicky.

Rute ini sekarang menjadi pengingat bagaimana pemerintah kolonial mengeruk hasil bumi Priangan, memeras keringatnya, dan menyisakan jejaknya.

Kita masih bisa menyaksikan warisan tersebut, sebelum semuanya musnah dilindas zaman.

Semua foto dilindungi hak cipta

https://regional.kompas.com/read/2020/05/06/13230071/melihat-jejak-kereta-api-dan-penjajahan-belanda-di-tanah-priangan-dari-era

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke