Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Jejak Kereta Api dan Penjajahan Belanda di Tanah Priangan, dari Era Tanam Paksa (2)

Kompas.com - 06/05/2020, 13:23 WIB
Rachmawati

Editor

Bagaimanapun, dalam kondisi transportasi yang sulit, produksi perkebunan Priangan tetap unggul.

Jan Breman mencatat, ketika konsumsi kopi dunia pada 1822 meningkat hingga 225.000 ton, Hindia Belanda memasok 100.000 ton dari total jumlah ini. Dari jumlah itu, "sebagian besarnya berasal dari dataran tinggi Sunda," tulis Jan Breman.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda tampak menikmati benar hasil perkebunan ini.

Jan Breman mengutip penulis sejarah tanam paksa, C Fasseur, "yang menghitung bagaimana penghasilan uang di Hindia Belanda yang pada 20 tahun pertama tidak lebih dari seperlima pendapatan negara Belanda, meningkat sampai hampir sepertiga bagian pendapatan negara pada tahun 1850-an".

Baca juga: Jamin Keamanan Arus Mudik dan Balik, PT KAI Daop III Intensif Cek Lokomotif

Sejarawan Peter Carey mengatakan: "Dari tanam paksa, Kerajaan Belanda bisa meraup untung hingga 832 juta gulden (setara dengan US$75,5 miliar hari ini)."

Pernyataan Carey terkonfirmasi dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 karya sejarawan M C Ricklefs.

Ricklefs menyebut keuntungan sistem tanam paksa menjadikan perekonomian dalam negeri Belanda kembali stabil: utang-utang luar negeri Belanda terlunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan diciptakan, dan jalan-jalan kereta api negara dibangun.

Perekonomian Belanda sebelumnya memang sempat goyah akibat Perang Jawa (1825-1830).

Menurut sejarawan Peter Carey, kurang lebih 25 juta gulden (setara dengan kira-kira US$2,5 miliar untuk hari ini) telah dikeluarkan dari kas negara untuk memadamkan pemberontakan yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro itu.

Akan tetapi, sistem tanam paksa tersebut dihujani kritik oleh berbagai kalangan, termasuk Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dalam bukunya Max Havelaar.

Baca juga: Panduan Lengkap Refund Tiket Mudik Kereta Api

Pembukaan perkebunan di kawasan Priangan sekitar tahun 1907-1937. Era budidaya tanaman kopi berdasarkan kerja paksa dimulai di Priangan pada awal abad ke-19. Konsep ini disebut Preangerstelsel. Sistem inilah yang kemudian mengilhami Cultuurstelsel atau tanam paksa di berbagai wilayah di Hindia Belanda. National Museum van Wereldculturen (TM 10024157) Pembukaan perkebunan di kawasan Priangan sekitar tahun 1907-1937. Era budidaya tanaman kopi berdasarkan kerja paksa dimulai di Priangan pada awal abad ke-19. Konsep ini disebut Preangerstelsel. Sistem inilah yang kemudian mengilhami Cultuurstelsel atau tanam paksa di berbagai wilayah di Hindia Belanda.
Ada pula kritik dari kelompok liberal yang menuding Cultuurstelsel telah membunuh bisnis perkebunan swasta di Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda merespons kritik-kritik itu dengan memberlakukan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada 1870.

"Undang-undang agraria atau Agrarische Wet 1870 membuka peluang lebih besar bagi pihak swasta untuk masuk ke dalam sektor perkebunan di Priangan. Tentunya ini membawa dampak makin luasnya area perkebunan di Priangan," papar Dicky Soeria Atmadja, wakil ketua International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) Indonesia.

Baca juga: Penumpang Kereta Api Diimbau Refund Tiket Mudik Lewat KAI Access

"Dan dengan semakin luasnya area perkebunan tentunya kebutuhan transportasi terutama kereta api juga akan makin meningkat. Dengan demikian terlihat bahwa pemerintah mendorong dibangunnya kembali beberapa jalur atau sejumlah jalur di Priangan untuk mendukung perkebunan-perkebunan baru ini," tambah Dicky.

Sejumlah literatur mencatat jumlah perkebunan meningkat di Priangan setelah kereta api hadir sebagai moda transportasi tepat pada masa peralihan dari era Cultuurstelsel atau tanam paksa ke era Undang-Undang Agraria.

Setelah UU Agraria diberlakukan, pada tahun 1902 di seluruh Hindia Belanda terdapat lebih kurang 100 perkebunan teh; 81 di antaranya terletak di Jawa Barat.

Perkebunan kina di Hindia Belanda berjumlah 82 buah, dan yang berada di Jawa Barat sebanyak 60 perkebunan.

Produksi kina dari Hindia Belanda (terutama perkebunan di Priangan) pada tahun 1939 sebanyak 12.391 ton alias sama dengan 90% dari seluruh produksi kina dunia.

Baca juga: Kereta Api di Daop 9 Jember Berhenti Angkut Penumpang Mulai 25 April

----------------------

Stasiun Sukabumi

Para pekerja jawatan kereta api berfoto bersama di Stasiun Sukabumi sekitar tahun 1910. Leiden University Libraries (KITLV 183755) Para pekerja jawatan kereta api berfoto bersama di Stasiun Sukabumi sekitar tahun 1910.
Kita melanjutkan perjalanan menuju stasiun Sukabumi.

Di stasiun ini, kita masih bisa melihat sisa-sisa teknologi yang terbilang maju pada zamannya mengingat saat itu kereta api sangat diandalkan untuk mengangkut hasil perkebunan di Priangan.

Dicky memperlihatkan wujud salah sisa teknologi di ujung stasiun, yaitu turn table.

"Turn table fungsi utamanya adalah untuk memutar arah lokomotif. Jadi saat itu lokomotif uap yang datang dari arah Bogor menuju ke Sukabumi sampai di stasiun ini, jika ingin kembali lagi ke arah Bogor harus diputar arahnya dulu lokomotifnya," kata Dicky.

Baca juga: Daftar Lengkap Pembatalan Jadwal Kereta Api dari 9 Daerah Operasi di Pulau Jawa

Proses kerja turn table diawali dengan masuknya lokomotif ke dalam rel pada turn table sampai titik berat lokomotif tepat di tengah-tengah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com