Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

NTT dan Beban Demografi 2030

Kompas.com - 30/06/2024, 10:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Artinya, dalam tiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) menanggung lebih dari 50 orang usia non-produktif (anak-anak di bawah 15 tahun dan orang tua di atas 65 tahun).

NTT punya problem ini-- demographic burden. Karena dependency ratio-nya >50 persen. Jadi saat daerah lain lagi menikmati bonus demografi di tahun 2030, NTT malah ditekan demographic burden.

NTT memiliki Total Fertility Ratio (TFR) yang tinggi, yaitu 3,4 anak per perempuan. Artinya, rata-rata seorang perempuan di NTT melahirkan 3,4 anak.

Hal ini menyebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Sejak tahun 2020, laju pertumbuhan penduduk NTT sudah mencapai 2,18 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional 1,35 persen.

Jumlah penduduk usia muda yang tinggi membebani penduduk usia produktif. Angka harapan hidup di NTT masih rendah, yaitu 66,38 tahun dari tahun 2018. Artinya, rata-rata penduduk NTT hidup lebih pendek dibandingkan rata-rata nasional 71,39 tahun.

Hal ini menyebabkan proporsi penduduk usia tua yang lebih kecil. Akibatnya beban tanggungan pada penduduk usia produktif tetap tinggi.

Dependency ratio Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak tahun 2020 adalah 55,66 persen. Dan oleh BPS memperkirakan, di tahun 2030, dependency ratio NTT masih >50 persen.

Artinya, setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) di NTT menanggung kelebihan beban (50 persen) orang usia non-produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).

Sedikit joke, kepala BPS di tahun 2015 pernah bilang begini, rata-rata family size orang-orang di pesisir itu tinggi. Kenapa? Saat bulan purnama para nelayan tidak melaut. Saat itulah "bininya dikerjain saban malam". Lahirlah anak berantai tanpa perencanaan.

“Mana paten anak cuma dua.” Begitu pula disokong stereotype, “banyak anak banyak rejeki.”

Logikanya sederhana, di kampung itu, kalau sudah dewasa, bisa melaut dan menangkap ikan, sudah boleh menikah. Nikah di usia muda, maka jangan heran bila TFR-nya tinggi.

Kebijakan kedepan

Dengan kondisi dependency ratio yang tinggi tersebut, maka ke depan, beban pembangunan NTT kian berat. Pemerintah dalam hal ini Bappenas, harus bisa memproyeksikannya serta mencari solusi.

Apa bentuk kebijakan afirmasi dengan demographic burden tersebut? Tentu melewati skema transfer daerah.

Namun indikator-indikator yang digunakan dalam besaran TKD, harus mempertimbangkan aspek lain selain luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan dan potensi SDA.

Terobosan yang sifatnya out of the box, diperlukan untuk daerah 3T seperti NTT dengan tingkat kompleksitas pembangunan yang tinggi. Jika tidak, kala mesin ekonomi daerah lain di 2030 membumbung, pembangunan NTT masih ngadat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com