Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

NTT dan Beban Demografi 2030

Kompas.com - 30/06/2024, 10:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA lihat di live streaming YouTube, saat Raker DPR tentang asumsi dasar tahun 2025, kala Kepala Bappenas Suharso Monoarfa memaparkan berbagai program indikatif 2025.

Di antara program-program indikatif 2025, ada kebijakan afirmatif untuk stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Lantas, ada anggota Dewan asal NTT interupsi. Intinya, dia menyolkan kenapa hanya masalah stunting yang ada affirmation policy-nya?

Saya pun pikir begitu. Sebagai daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar), ada banyak soal yang approach of policy-nya adalah dengan kebijakan afirmatif, baik program dan politik anggarannya.

Sebagai daerah dengan indeks kapasitas fiskal yang rendah, satu-satunya kebijakan penolong daerah seperti NTT adalah kebijakan afirmatif. Tanpa itu, fungsi distribusi dan alokasi APBN tak akan berjalan di daerah 3T.

Selama ini, dalam politik anggaran, kebijakan afirmatif belum secara eksplisit menyasar pada kompleksitas daerah "remote area" seperti NTT.

Selama ini, yang tampak hanyalah dari dana transfer pusat (DAU/DAK) dengan indikator umum seperti jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, luas wilayah dan potensi SDA.

Jadi idealnya APBN itu harus beyond the number. Kalau masih berpatok pada angka-angka fiskal yang rigid, sampai kapan pun, daerah penghasil tetap kaya, daerah 3T akan tetap blangsak.

Sebab itulah harus ada ruh budget activism movement dalam wujud kebijakan afirmatif untuk daerah-daerah “duafah.” Siapa yang punya diskresi ini- budget activism movement? Ya tentu bapak Dewan yang terhormat.

Masalah NTT

Lantas, saya membayangkan NTT di tahun 2030. Tahun ini sebagai the window of opportunity untuk mencapai fase puncak bonus demografi. Inilah fase blessing in disguise Indonesia.

Setelah 2030, kita akan mengalami aging society seperti Jepang dan negara yang mengalami penuaan secara demografi. Istilah menterengnya, bonus demografi sebagai “engine of growth.”

Karena 60 persen populasi, akan diisi usia produktif (15- 65 tahun). Mereka inilah yang akan meng-engine pertumbuhan ekonomi.

Pada fase ini, Indonesia diharapkan sudah menjadi upper income countries dengan GDP per kapita 12.000 dollar AS.

Bonus demografi terjadi bila idealnya, rasio ketergantungan di bawah 50 persen (menurut Bank dunia).

Rasio ketergantungan <50>50 persen, malah yang terjadi sebaliknya, terjadi demographic burden atau beban demografi.

Artinya, dalam tiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) menanggung lebih dari 50 orang usia non-produktif (anak-anak di bawah 15 tahun dan orang tua di atas 65 tahun).

NTT punya problem ini-- demographic burden. Karena dependency ratio-nya >50 persen. Jadi saat daerah lain lagi menikmati bonus demografi di tahun 2030, NTT malah ditekan demographic burden.

NTT memiliki Total Fertility Ratio (TFR) yang tinggi, yaitu 3,4 anak per perempuan. Artinya, rata-rata seorang perempuan di NTT melahirkan 3,4 anak.

Hal ini menyebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Sejak tahun 2020, laju pertumbuhan penduduk NTT sudah mencapai 2,18 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional 1,35 persen.

Jumlah penduduk usia muda yang tinggi membebani penduduk usia produktif. Angka harapan hidup di NTT masih rendah, yaitu 66,38 tahun dari tahun 2018. Artinya, rata-rata penduduk NTT hidup lebih pendek dibandingkan rata-rata nasional 71,39 tahun.

Hal ini menyebabkan proporsi penduduk usia tua yang lebih kecil. Akibatnya beban tanggungan pada penduduk usia produktif tetap tinggi.

Dependency ratio Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak tahun 2020 adalah 55,66 persen. Dan oleh BPS memperkirakan, di tahun 2030, dependency ratio NTT masih >50 persen.

Artinya, setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) di NTT menanggung kelebihan beban (50 persen) orang usia non-produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).

Sedikit joke, kepala BPS di tahun 2015 pernah bilang begini, rata-rata family size orang-orang di pesisir itu tinggi. Kenapa? Saat bulan purnama para nelayan tidak melaut. Saat itulah "bininya dikerjain saban malam". Lahirlah anak berantai tanpa perencanaan.

“Mana paten anak cuma dua.” Begitu pula disokong stereotype, “banyak anak banyak rejeki.”

Logikanya sederhana, di kampung itu, kalau sudah dewasa, bisa melaut dan menangkap ikan, sudah boleh menikah. Nikah di usia muda, maka jangan heran bila TFR-nya tinggi.

Kebijakan kedepan

Dengan kondisi dependency ratio yang tinggi tersebut, maka ke depan, beban pembangunan NTT kian berat. Pemerintah dalam hal ini Bappenas, harus bisa memproyeksikannya serta mencari solusi.

Apa bentuk kebijakan afirmasi dengan demographic burden tersebut? Tentu melewati skema transfer daerah.

Namun indikator-indikator yang digunakan dalam besaran TKD, harus mempertimbangkan aspek lain selain luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan dan potensi SDA.

Terobosan yang sifatnya out of the box, diperlukan untuk daerah 3T seperti NTT dengan tingkat kompleksitas pembangunan yang tinggi. Jika tidak, kala mesin ekonomi daerah lain di 2030 membumbung, pembangunan NTT masih ngadat.

Saat ini, provinsi dengan PDRB per kapita terendah di Indonesia adalah NTT. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, PDRB per kapita NTT hanya sebesar Rp 21,71 juta per tahun.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional yang sebesar Rp 185,6 juta per tahun. PDRB per kapita menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu wilayah.

Semakin tinggi PDRB per kapita, semakin sejahtera penduduk di wilayah tersebut. Semakin rendah PDRB per kapita, semakin miskin penduduk di wilayah tersebut.

Pada 2030, kita berharap PDRB perkapita NTT bisa sejajar dengan rata-rata nasional. Bagaimana caranya, di saat demographic burden-nya tinggi? Di sinilah lagi-lagi diperlukan kebijakan afirmatif dalam politik anggaran.

Formula alokasi DAU/DAK harus mengakomodasi indikator penting seperti beban demografi NTT dan daerah senasib ke depan. Kebijakan afirmatif tersebut sebagai bentuk manivestasi ekonomi konstitusi; yakni ekonomi berkeadilan.

Boleh dibilang, Pilkada 2024 adalah pintu masuk dalam problema pelik NTT di tahun 2030. Kita tak bisa memilih pemimpin yang biasa-biasa saja. Beban pembangunan NTT ke depan kian kompleks.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com