Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Dugaan Ancaman Hakim di Padang ke Advokat LBH, Berawal dari Lontaran Seksis Saat Sidang

Kompas.com - 16/06/2024, 12:13 WIB
Rachmawati

Editor

Ranti mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Hakim B tersebut bukan lagi merupakan pelanggaran etik, melainkan sebuah tindak pidana.

Baca juga: Sakit Hati, Dua Mantan Karyawan Rumah Makan Padang Curi 47 Kursi

"Kami sudah buat laporan ke Polda Sumbar dan sudah diterima dengan dugaan pengancaman sebagai mana ketentuan dalam pasal 335 KUHP," lanjutnya.

Koordinator Penghubung KY Provinsi Sumbar Feri Ardila mengatakan bahwa pihaknya telah menerima laporan dari LBH Padang pada Rabu (05/06) lalu.

“Dan terkait laporan tersebut sudah kami kirim dan kami teruskan ke Komisi Yudisial RI yang ada di Jakarta, dan kemudian diproses tindaklanjut,“ kata Feri.

Feri mengatakan, KY terus melakukan sosialisasi kepada para hakim untuk menjunjung tinggi kode etik dan perilaku hakim baik dalam proses pemeriksaan di persidangan maupun dalam keseharian mereka.

Apa akar masalahnya?

Ranti mengatakan dugaan pengancaman yang dilakukan hakim B adalah buntut dari laporan LBH Padang ke KY Sumbar pada Desember 2023 atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan majelis hakim PN Padang, yaitu hakim B, K dan A saat mengadili perkara kekerasan seksual dengan korban perempuan yang masih berusia 16 tahun.

Di dalam persidangan yang berlangsung November 2023 itu, Ranti mengatakan, hakim melontarkan kata-kata yang merendahkan perempuan, seperti “kamu kegatelan, narasi itu muncul dari mulut seorang hakim yang kita agung-agungkan.“

LBH Padang lalu melaporkan majelis hakim itu ke KY dengan dugaan pelanggaran kode etik yang tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Baca juga: Berdiri di Atas Drainase, Lapak PKL di Taman Siteba Padang Dibongkar

"Padahal, yang saya dampingi itu bukan hanya perempuan dan anak, tapi korban kekerasan seksual. Akar masalahnya adalah hakim yang tidak memiliki perspektif perempuan berhadapan dengan hukum, dan situasi ini sebenarnya sudah toxic banget di pengadilan kita," tuturnya.

KY pun telah melakukan pemeriksaan mendalam atas laporan pelanggaran etik itu pada April lalu, termasuk memeriksa saksi di PN Padang.

Ranti menjelaskan, situasi peradilan yang tidak memiliki perspektif perempuan saat berhadapan dengan hukum harus dibenahi karena dapat membuat korban menjadi semakin terluka bahkan mengaburkan fakta yang terjadi.

“Jangan sampai hakim yang menjadi wakil Tuhan menciptakan ketidakadilan buruk baru dengan memutus perkara yang tidak ada keadilannya,“ kata Ranti.

"Kalau mengancam itu bukan hakim, tapi..."

Mantan hakim Asep Iwan Iriawan mengkritik apa yang dilakukan hakim B. Menurutnya seorang hakim tidak boleh melakukan ancaman.

“Jangan kan mengancam, ketemu pihak terkait saja tidak boleh, apalagi mengancam. Kalau dia mengancam, bukan hakim, masa hakim mengancam. Kalau mengancam itu kan penjahat, benar tidak?“ kata Asep.

Asep mengatakan hakim harus memegang kode etik yang telah mengatur dari berucap hingga bersikap. “Hakim itu wakil Tuhan, kalau dia perlakuannya bukan wakil Tuhan, jadi wakil siapa? Jangan jadi hakim,“ katanya.

Senada, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan kasus itu menunjukkan adanya kelemahan dari MA dalam pendidikan profesi hakim yang terlalu maskulin sehinggga melahirkan hakim-hakim pria yang kurang berempati pada perempuan.

Baca juga: PDI-P Deklarasi Koalisi dengan PKB, PPP, dan Partai Ummat pada Pilkada Padang

“Di samping itu juga kelemahan standar pengawasan hakim yang hanya berbasis pada laporan saja. Padahal di era keterbukaan seperti ini pemberitaan juga bisa menjadi rujukan untuk pembinaan para hakim yang harus dibina karena sikapnya yang tidak berwawasan gender,“ kata Fickar.

Untuk itu, pakar hukum dari Universitas Parahyangan Agustinus Pohan mengatakan kasus ini harus menjadi pintu masuk bagi MA untuk melakukan evaluasi total tentang pelaksanaan etika dan perilaku hakim, khususnya pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum.

“Yang harus dievaluasi seperti bagaimana proses penegakannya, siapa yang menangani, bagaimana sistem di MA mengawasi penegakan etik, bagaimana pencegahannya, ini harus dievaluasi, atau malah jangan-jangan tidak ada sistemnya,“ katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com