MATARAM, KOMPAS.com- Komisi Yudisial (KY) menanggapi keputusan hakim menjadikan dua terpidana kasus korupsi di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai tahanan kota.
Dua orang itu adalah Po Suwandi, Direktur PT Anugrah Mitra Graha (AMG) atas kasus korupsi tambang pasir besi dan Sri Suzana, kasus korupsi pengadaan alat metrologi di Disperindag Dompu tahun 2018.
Baca juga: Direktur AMG Divonis 13 Tahun Penjara atas Kasus Korupsi Tambang Pasir Besi di Lombok Timur
Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial RI Binziad Khadafi mengungkapkan bahwa keputusan hakim tersebut telah diatur secara detail dalam hukum acara.
"Putusan hakim itu akan sangat menentukan dan menggunakan pertimbangan berbagai faktor, seperti alasan medis misalnya dan itu masuk dalam ranah yudisial teknis," ungkap Khadafi dalam diskusi di Mataram, NTB, Kamis (16/5/2024).
Baca juga: Dugaan Korupsi Lahan Hutan, Anak Bupati Solok Selatan Mangkir dari Panggilan Jaksa
Terkait hal itu, KY bisa melakukan dua hal yakni pengawasan dan pemantauan berdasarkan laporan dan permintaan masyarakat.
KY akan menindaklanjuti jika ada laporan terkait putusan hakim yang dinilai tidak menyuarakan keadilan publik.
Baca juga: KPK Duga Tahanan Korupsi Setor Uang Pungli ke Rekening Orang Dekat Eks Karutan Achmad Fauzi
Kemudian KY juga bisa memantau dan melanjutkan dengan investigasi pada perkara yang mendapat sorotan publik.
"Yang bukan mustahil juga akan menghasilkan bukti bukti awal, kemudian KY menindaklanjuti dengan mekanisne pemeriksaan pada pihak yang terkait sehingga munculnya putusan tersebut," katanya.
Baca juga: Dugaan Korupsi Pipa Gas Rp 3,9 Miliar, 4 Pejabat BUMD Palembang Jadi Tersangka
Kepala Pengadilan Tinggi (PT) NTB, Hery Supriyono mengatakan bahwa majelis hakim yang menyidangkan suatu perkara memiliki wewenang untuk mengalihkan status tahanan terdakwa.
Hery mengatakan selama masih merupakan kewenangannya, majelis bisa menangguhkan, mengeluarkan, dan menetapkan terkait pengalihan status tahanan, majelis hakim harus menerbitkan penetapan berdasatksn pertimbangan yang kuat.
"Kalau karena sakit, harus melihat rekam medis, kalau hakimnya yakin rekam medis itu benar dan dengan alasan kemanusiaan, visa ditetapkan, yang jelas prinsip penegakan hukum tidak boleh bertentabgan dengan HAM," katanya.
Terkait status tahanan kota pada terdakwa kasus korupsi Po Swandi dan Sri Suzana, dia mengungkap tak bisa ikut campur.
"Kepala Pengadilan Tinggi tidak boleh mempengaruhi atau mendikte keputusan hakim dalam menangani perkara, selama itu jadi kewenangannya kita dukung, pasti dia punya alasan," katanya.
Hery memastikan majelis hakim dalam menangani perkara telah bekerja dengan profesional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.