Kalaupun opsi tersebut ada jalan, atau bisa dilakukan demi menyediakan lahan bagi warga transmigran, persoalan lain akan butuh kajian lebih mendalam.
Mulai kondisi lahan eks mangrove akan ditanami apa, berapa biaya yang harus dikeluarkan Pemkab Nunukan, dan lain sebagainya.
"Sama halnya dengan pelepasan lahan trans yang dalam penguasaan masyarakat, tentu seandainya mereka rela melepas, pasti akan meminta ganti rugi. Butuh biaya tidak sedikit dan kalau hanya ditanggung Pemkab Nunukan, tentu tidak fair," jelasnya.
Sejumlah permasalah inilah yang terus menjadi pembahasan di tingkat Daerah sampai pusat.
Dan pada akhirnya, Pemkab Nunukan menemukan opsi lain, dimana ada 43 hektar lahan transmigrasi yang sempat digarap perusahaan PT SIL/SIP yang sudah selesai digarap dan tidak diperpanjang masa izinnya.
"Kita berusaha sedikit demi sedikit memenuhi tuntutan mereka. Kita coba beri yang 43 hektar ini, meski baru sedikit, setidaknya sebagian mereka bisa menggarap lahan dan memiliki penghasilan," kata Masniadi.
Nasib tragis para transmigran SP 5 Sebakis, mencuat manakala seorang warga setempat bernama Yudha Adjie, mengunggah beberapa video berisi kisah para transmigran di grup facebook Peduli Nunukan, pada Juli 2023 lalu.
Video yang diunggah Yudha Adjie, semua merupakan percakapan yang berisi keluhan dan harapan para transmigran SP 5 Sebakis, yang sudah lebih 10 tahun lamanya menanti pembagian lahan garapan.
Para transmigran tersebut semua menumpahkan kesedihan, kekecewaan, serta kemarahan mereka atas kondisi yang sama sekali di luar ekspektasi mereka, saat mendaftar sebagai transmigran.
"Banyak dari mereka yang hanya makan dengan daun ubi atau kangkung yang direbus. Dari mana mereka mendapat uang kalau tidak diberi lahan garapan," kata Yudha, saat dikonfirmasi.
Yudha juga memvideokan kondisi rumah rumah transmigran di SP 5, yang sudah lapuk dan tidak layak.
Dari sejumlah unggahan video Yudha Adjie, ada dua video yang membuat hati bergetar.
Rangkaian kalimat ibu-ibu transmigran, yang sarat akan harapan, disertai tetes air mata sebagai tanda beratnya kehidupan yang mereka jalani. Semua mengisyaratkan kerinduan akan rumah yang demikian dalam.
"Pak Jokowi, andaikata saya punya uang, saya datang sendiri, memberanikan diri datang ke Istana Negara. Benar Pak Jokowi, tapi apa mau dikata, uang buat makan saja enggak ada, apalagi buat naik kapal atau pesawat. Kalau bukan Pak Jokowi yang menyelamatkan kami siapa lagi," kata salah seorang ibu dalam video.
Si ibupun dengan suara bergetar dan serak, menangkupkan kedua tangannya ke wajah, lalu menangis histeris.