Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada

Pikirkan Anak-anak Melayu Rempang!

Kompas.com - 29/09/2023, 13:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia, dalam keterangan pers tentang Temuan Awal Komnas HAM atas Kasus Pulau Rempang, Batam, menyebut anak-anak sebagai kelompok rentan.

Sekian banyak guncangan psikologis yang dialami anak, disoroti Komnas HAM sebagai dampak insiden kekerasan.

Sejauh itu, Komnas HAM sudah benar. Namun publik perlu tahu, penderitaan psikologis juga berisiko datang dari pemindahan tempat tinggal.

Apalagi karena sedari awal anak-anak dan keluarga mereka merasakan persis bahwa ini adalah pemindahan yang ditentang keras dan--karena terus-menerus dilakukan secara agresif--akan menjadi pemaksaan relokasi.

Amat mengesalkan dan disesalkan bahwa Pemerintah abai tentang potensi masalah yang sangat nyata itu.

Terbukti, Pemerintah hanya mengutus Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia untuk 'meneduhkan suasana'. Sesuai jabatannya, misi Menteri Bahlil tentu sebatas fokus pada sisi investasi belaka.

Menteri yang berurusan dengan anak-anak, semisal Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Muhadjir Effendy tidak dihadirkan ke hadapan masyarakat Melayu Rempang.

Sah sudah, ini cerminan betapa Pemerintah memang tidak cukup punya keinsafan bahwa anak-anak Rempang berhadapan dengan risiko depresi, kegagalan akademis, kekacauan dalam pertemanan, dan trauma serta efek jangka panjang lainnya akibat dipaksa angkat kaki dari kampung halaman mereka.

Efek psikologis negatif lainnya terutama bakal dialami oleh anak-anak yang orangtua mereka ditahan oleh pihak kepolisian.

Anggaplah bahwa para ayah itu telah melakukan perilaku destruktif. Namun perbuatan sedemikian rupa pada hakikatnya dipahami sebagai cara masyarakat asli mempertahankan tanah negeri dan harga diri mereka.

Membenturkan diri dengan aparat sesungguhnya merupakan ekspresi keputusasaan mereka karena DPR dan DPRD tidak tampak berupaya menjaga masyarakat yang mereka wakili.

Jangan samakan para lelaki dewasa Rempang itu dengan penjarah, penikmat huru-hara, atau penjahat yang mencari kesempatan dalam kesempitan.

Dalam situasi itu, anak-anak tak pelak menyaksikan bagaimana penguasa memaksa ayah mereka untuk setengah telanjang (tak boleh memakai baju), diharuskan berjongkok, diarak, dan bentuk-bentuk penanganan intimidatif, bahkan nirmanusiawi lainnya.

Itu pemandangan yang menyakitkan hati dan sungguh naif untuk berkeyakinan bahwa batin anak-anak Rempang akan tenang-tenang saja melihat kehina-dinaan yang ayah, abang, dan paklong mereka alami.

Dalam pemberitaan Rempang, representasi negara yang tampak menonjol setiap hari adalah polisi. Alhasil, kepada polisilah kepercayaan disisakan agar berbuat lebih baik. Termasuk dalam konteks melayani, melindungi, dan mengayomi anak-anak Rempang.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com