Salin Artikel

Pikirkan Anak-anak Melayu Rempang!

Sekian banyak guncangan psikologis yang dialami anak, disoroti Komnas HAM sebagai dampak insiden kekerasan.

Sejauh itu, Komnas HAM sudah benar. Namun publik perlu tahu, penderitaan psikologis juga berisiko datang dari pemindahan tempat tinggal.

Apalagi karena sedari awal anak-anak dan keluarga mereka merasakan persis bahwa ini adalah pemindahan yang ditentang keras dan--karena terus-menerus dilakukan secara agresif--akan menjadi pemaksaan relokasi.

Amat mengesalkan dan disesalkan bahwa Pemerintah abai tentang potensi masalah yang sangat nyata itu.

Terbukti, Pemerintah hanya mengutus Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia untuk 'meneduhkan suasana'. Sesuai jabatannya, misi Menteri Bahlil tentu sebatas fokus pada sisi investasi belaka.

Menteri yang berurusan dengan anak-anak, semisal Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Muhadjir Effendy tidak dihadirkan ke hadapan masyarakat Melayu Rempang.

Sah sudah, ini cerminan betapa Pemerintah memang tidak cukup punya keinsafan bahwa anak-anak Rempang berhadapan dengan risiko depresi, kegagalan akademis, kekacauan dalam pertemanan, dan trauma serta efek jangka panjang lainnya akibat dipaksa angkat kaki dari kampung halaman mereka.

Efek psikologis negatif lainnya terutama bakal dialami oleh anak-anak yang orangtua mereka ditahan oleh pihak kepolisian.

Anggaplah bahwa para ayah itu telah melakukan perilaku destruktif. Namun perbuatan sedemikian rupa pada hakikatnya dipahami sebagai cara masyarakat asli mempertahankan tanah negeri dan harga diri mereka.

Membenturkan diri dengan aparat sesungguhnya merupakan ekspresi keputusasaan mereka karena DPR dan DPRD tidak tampak berupaya menjaga masyarakat yang mereka wakili.

Jangan samakan para lelaki dewasa Rempang itu dengan penjarah, penikmat huru-hara, atau penjahat yang mencari kesempatan dalam kesempitan.

Dalam situasi itu, anak-anak tak pelak menyaksikan bagaimana penguasa memaksa ayah mereka untuk setengah telanjang (tak boleh memakai baju), diharuskan berjongkok, diarak, dan bentuk-bentuk penanganan intimidatif, bahkan nirmanusiawi lainnya.

Itu pemandangan yang menyakitkan hati dan sungguh naif untuk berkeyakinan bahwa batin anak-anak Rempang akan tenang-tenang saja melihat kehina-dinaan yang ayah, abang, dan paklong mereka alami.

Dalam pemberitaan Rempang, representasi negara yang tampak menonjol setiap hari adalah polisi. Alhasil, kepada polisilah kepercayaan disisakan agar berbuat lebih baik. Termasuk dalam konteks melayani, melindungi, dan mengayomi anak-anak Rempang.

Apa pula pasal polisi yang harus hirau?

Pertama, menteri-menteri terebut di atas tadi seakan tidak punya pemahaman dan kemampuan untuk keluar dari persepsi bahwa kemelut Rempang adalah "Rempang dan investasi, titik".

Kedua, memang, salah satu komitmen Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo adalah mendukung program pembangunan nasional.

Dan anggaplah bahwa proyek di Pulau Rempang adalah proyek strategis nasional itu. Namun komitmen Kapolri Listyo itu diawali dengan frasa "menjamin keamanan".

Bagi Polri, keamanan tidak sepatutnya dimaknai sebagai public order serta law and order semata.

Pemaknaan yang sebatas itu niscaya akan memunculkan pemikiran bahwa kalangan (masyarakat Melayu) yang menentang proyek pembangunan Pulau Rempang adalah pihak yang menciptakan public disorder atau kekacauan di tengah masyarakat.

Dengan cara pandang old fashioned (kuno!) seperti itu, polisi bisa terhasut untuk menjadikan masyarakat sebagai sasaran yang harus ditertibkan dengan cara apa pun demi mengamankan proyek pembangunan di sana.

Bagi Polri, keamanan harus dipahami sebagaimana penjabaran Kapolri Awaloedin Djamin sekian tahun silam. Yakni, kondisi bebas dari gangguan fisik maupun psikis, terlindunginya keselamatan jiwa, serta terjaminnya harta benda dari segala macam ancaman gangguan dan bahaya.

Demikian pula cakupan keamanan dari United Nations Development Program (UNDP), yaitu keamanan masyarakat dari penindasan.

Pemaknaan Awaloedin Djamin dan UNDP justru akan memosisikan masyarakat Melayu di Pulau Rempang sebagai pihak pertama dan utama yang harus dilindungi dan dilayani.

Sebaliknya, pemilik proyek adalah pihak yang harus menyesuaikan diri terhadap masyarakat Melayu tersebut.

Di tengah penilaian miring terhadap efektivitas lembaga perwakilan rakyat, Polri idealnya memiliki kesanggupan untuk membaca--dan berempati--suasana batiniah masyarakat yang bersikap kontra terhadap proyek-proyek pembangunan di wilayah mereka.

Dari hasil bacaan itu, betapa eloknya apabila Polri memanfaatkan posisi strategisnya dengan unjuk keberanian untuk setidaknya memberikan rekomendasi penundaan, bahkan pembatalan suatu proyek yang ditolak masyarakat luas.

Bisa dipastikan, mengeluarkan rekomendasi 'gila' sedemikian rupa akan mempertaruhkan jabatan Kapolri Listyo.

Jika itu terjadi, Kapolri Listyo hanya perlu membayangkan bahwa pemecatan karena "berpikir lurus di puncak masa semrawut" akan mengharumkan namanya sebagai Kapolri yang tidak biasa-biasa saja. Allahu a'lam.

https://regional.kompas.com/read/2023/09/29/13055231/pikirkan-anak-anak-melayu-rempang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke