Dia banyak bicara tentang keseimbangan hubungan antara manusia Papua dan alam.
”Di Danau Sentani ada keramba-keramba terapung, itu bukan punya kelompok adat kami. Itu punya pendatang,” kata Yusuf.
Baca juga: Gibran Sebut PSN Jangan Sampai Singkirkan Masyarakat Adat
”Mungkin 30-50 tahun mendatang, tempat yang dibilang tete moyang kami ‘itu ko punya tempat untuk tancap pelepas sagu, kau tangkap ikan’ akan hilang,”
“Kali-kali tempat ikan bertelur, tapi sungai sekarang disiram dengan obat-obat. Mati semua. Perangkap ikan juga matikan ikan karena segala ikan masuk. Ikan-ikan akan musnah,” tuturnya.
Salah satu perupa muda yang mengikuti ‘sekolah adat’ Bholuh adalah Jenita Hilapok. Perempuan berumur 20 tahun ini berasal dari Wamena.
Dia berkata, lima ‘guru adat’ pada pokoknya memberi perhatian terbesar pda tiga hal: hutan, tanah, dan air.
”Kalau tidak ada tiga hal ini, orang Papua mau hidup di mana dan bagaimana?” ujar Jenita.
Bholuh bukanlah ajang seni rupa pertama yang diikuti Jenita. Dia ikut serta dalam pameran seni rupa berjudul Sa Pu Cerita yang mengangkat isu perempuan Papua, dari kekerasan domestik hingga yang dilakukan oleh negara.
Pameran itu berlangsung tahun 2021 secara daring, diinisiasi oleh Asia Justice dan Rights.
Baca juga: Gibran Sebut PSN Jangan Sampai Singkirkan Masyarakat Adat
Jenita berkata, dia berusaha terus mendasarkan karya seni rupanya pada realitas sosial yang dihadapi perempuan Papua. Seni, kata dia, merupakan wadah bicara terhadap berbagai persoalan yang kerap dihadapi dengan budaya diam di kalangan orang Papua.
”Generasi muda Papua sekarang pasti tahu dan rasakan apa yang terjadi di tanah ini, tapi mungkin mereka takut mengungkapkan apa yang mereka pikirkan. ‘Lebih baik saya diam. Kalau diam, saya aman’ atau ‘Kalau saya aman, saya bisa ke sini, situ, dan melakukan ini itu ‘,” ujar Jenita tentang budaya diam di Papua.
”Banyak sekali yang menjanggal di hati, mau bicara, berteriak, bersuara, tapi mau bagaimana? Jalan satu-satunya duduk berkarya, untuk melukiskan hati kita yang sedang hancur,” kata Jenita.
BBC News Indonesia pernah mengulas budaya diam di Papua yang dipicu konflik bersenjata dalam liputan Konflik Papua: Pengungsi Maybrat hidup dalam ketakutan
Semuel Wabdaron, perupa asal Biak yang menjadi peserta Bholuh, juga memiliki pandangan serupa. Baginya, karya seni memberinya kebebasan.
“Saya mengibaratkan tumbuhan merambat seperti seniman muda yang bisa menerobos sekat-sekat,” tuturnya.
Namun memilih untuk berkesenian tidak dijalani dengan mudah oleh Semuel, yang kini berstatus mahasiswa jurusan seni kriya di Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua. Jalan berkesenian tidak pernah diambil satupun anggota keluarganya.
“Pertama kali terjun ke dunia seni, saya sering diejek, dijatuhkan oleh teman dan termasuk keluarga,” kata Semuel.
Baca juga: Mahfud Bingung 20 Ribu Masyarakat Adat di Hutan Kaltim Tidak Bisa Memilih karena Tak Punya KTP
”Jadi seniman untuk apa?” ujarnya mengulang perkataan yang kerap dia dengar.
“Saya membuat karya seni dari sampah olahan, saya sedih karena banyak yang bilang saya terlihat seperti pemulung.”
Dalam konteks personal dan sosial ini, Semuel kembali memperkuat keyakinannya terhadap daya dobrak kesenian bagi orang asli Papua.
Dia mengutip lagu populer yang dilantunkan penyanyi tenar Papua, Mechu Imbiri, berjudul Rantai Raksasa.
“Hidupku tersiksa karena rantai raksasa,” ujar Semuel menyanyikan lirik lagu itu. Namun berkesenian, kata Semuel, melepas belenggu besar yang mengikat dirinya dan banyak orang di Papua.
Alfonso Dimara, wartawan di Jayapura, berkontribusi pada liputan ini
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.