“Prosesnya diskusi sangat dinamis. Ada tolak-menolak gagasan, ada penerimaan,” ujar Dicky.
“Dinamika itu secara metafora menggambarkan manusia Papua. Seniman muda ini berbeda, tapi mereka pakai perbedaan itu sebagai keunikan dan kekayaan dan mereka bersatu. Itu nilai yang sangat penting,” kata Dicky.
Dua fase terakhir dalam Bholuh adalah proses pembuatan karya seni rupa dan pameran. Seluruh karya yang diproduksi telah ditunjukkan kepada publik pada 31 Januari hingga 3 Februari lalu, bertempat di gedung Pusat Pelatihan dan Pembinaan Perempuan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, Jayapura.
Program ‘sekolah adat’ bagi para perupa muda Papua ini berlangsung sekitar satu bulan—termasuk pameran yang digelar singkat, selama empat hari. Meski begitu, gagasan di balik Bholuh serta harapan yang dilekatkan kepadanya jauh melampaui rentang satu bulan itu.
Dicky berkata, ‘sekolah adat’ semacam Bholuh dalam konteks lokal sejak lama menjadi bagian dari peradaban orang asli Papua. Kelompok adat di Papua biasa menyebutnya sebagai sekolah inisiasi.
Baca juga: Kisah Aleta Baun, Satu-satunya Caleg DPR yang Diutus Masyarakat Adat Tiga Batu Tungku di NTT
Namun merujuk arsip sejarah yang dipelajari oleh Udeideo, seiring penyebaran Injil di Papua, ‘sekolah adat’ atau sekolah inisiasi dianggap bagian dari okultisme alias wujud dari kepercayaan terhadap ilmu sihir atau berhala.
“Pada awal abad ke-20 sekolah itu diruntuhkan. Sebagai gantinya anak muda waktu itu harus mengikuti sekolah formal,” kata Dicky.
Konsekuensinya, guru-guru adat terpinggirkan. Dicky berkata, pengetahuan adat, termasuk hal-hal berkaitan dengan seni budaya Papua, tidak dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Udeido, melalui Bholuh, bertekad merekonstruksi praktek belajar pada guru adat yang ada pada masa lampau.
”Banyak pengetahuan lokal yang masih disimpan orang tua. Internet tidak menyediakan pengetahuan itu,” kata Dicky.
Baca juga: Hadapi Debat Pamungkas, Ganjar Himpun Aspirasi dari Penyandang Disabilitas sampai Masyarakat Adat
“Banyak pengetahuan asli yang disimpan dalam tatanan adat dan itu hanya bisa diakses melalui cara tradisional. Praktek semacam Bholuh didiesain untuk mendekatkan anak muda dengan orang tua,” tuturnya.
Tidak hanya merujuk ke masa lalu, Bholuh juga melihat ke masa depan. Seperti makna terminologisnya, Udeido menyusun program ini sebagai penempa perupa muda Papua.
Mereka berharap, inspirasi dan pengetahuan asli yang muncul dalam ‘sekolah adat’ ini bisa terus membakar semangat perupa Papua untuk eksis berkarya.
“Saya harap mereka berkarya selama mungkin,” ujar Dicky.
“Bapak Agus Ongge bisa menjadi contoh. Dia menerima penyuluhan seni budaya dari Arnold Ap," lanjutnya, merujuk pada kurator Papua yang tewas ditembak pada 1984.
"Penyuluhan itu membakar semangat Agus. Dia meninggalkan pekerjaannya yang sangat mapan (di Freeport) untuk kembali ke kampung—fokus untuk melukis dan mematung.
Baca juga: TPN Ganjar-Mahfud Sebut Masyarakat Adat Kerap Jadi Korban Proyek Pemerintah
“Dedikasinya menjadikannya orang yang hebat. Dia berkeliling dunia dengan kulit kayu,“ kata Dicky.
Baca kisah Arnold Ap, keturunannya, serta orang-orang Papua yang melarikan diri dari konflik Papua dalam liputan Cerita anak-cucu pembuat bendera Bintang Kejora dan anak seniman ternama 'yang dibunuh'
Kulit kayu dengan ornamen di atasnya, kata Agus, dahulu digunakan sebagai penutup tubuh, terutama untuk para perempuan Papua. Karena dianggap berhala oleh misionaris Kristiani, kebiasaan itu berhenti. Akibatnya, Agus tak mewarisi keterampilan melukis di atas kulit kayu.
Namun Agus bertekad untuk meneruskan tradisi dan cara berkesenian leluhurnya. Gejolak politik Papua-Indonesia selama puluhan tahun terakhir membuat proses berkaryanya pasang surut. Namun satu hal yang membuat Agus bertahan adalah pemikiran: seni budaya dan tradisi adalah harga diri.
“Saya orang Papua—kulit hitam, rambut kriting—jadi saya harus pegang nilai-nilai budaya,” kata Agus.
Baca juga: Banyak Masyarakat Adat Tak Punya KTP, Pemerintah dan DPR Diminta Percepat Pengesahan RUU-nya
“Peradaban lama tidak bisa dihilangkan oleh peradaban baru. Politik itu nuansa baru, tapi yang lama ini tidak bisa dibuang. Justru adat harus menjadi lebih kuat. Generasi sebelumnya menguatkan generasi setelahnya,” ujar Agus.
Perjalanan hidup hingga teknik melukis di kulit kayu inilah yang dibagikan Agus kepada 10 peserta ‘sekolah adat’ Bholuh.
Hal yang sama juga dibagikan Yusuf Ohee. Dia adalah penggerak seni tari tradisi di kelompok Alyakha Art Center yang berbasis di Sentani. Tapi bukan melulu soal seni yang dia ajarkan kepada para perupa muda di Bholuh.