Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Adat yang Semakin Tergerus karena PLTA Batang Merangin (Bagian 2)

Kompas.com - 30/03/2023, 22:34 WIB
Suwandi,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

JAMBI, KOMPAS.com - Pembangunan megaproyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Merangin, Jambi, dengan kapasitas 350 megawatt, memunculkan rasa takut di hati warga.

Hal itu juga dirasakan pentolan masyarakat adat Muaro Langkap, Depati Mukhri Soni, yang naik tahta 2021 lalu.

Baca juga: Mereka yang Ketakutan di Tengah Pembangunan Megaproyek PLTA Batang Merangin (Bagian 1)

“Saya dibenci keponakan, keluarga sendiri. Biarlah, saya tanggung. Saya mau mengembalikan sirih ke gagangnya, pinang ke tampuknya. Ini demi kebaikan semua orang di masa sekarang dan mendatang,” kata Datuk Mukhri di rumah induk sko dengan mata berbinar.

Aturan sepanjang adat telah berlaku kepada pengelola PLTA Batang Merangin pada 2010 lalu.

Namun setelah Depati Ahmad S turun tahta, perusahaan gencar melakukan pendekatan pada depati yang baru, Helmi Muid.

Misi perusahaan kala itu, kata Datuk Mukhri, ingin mengalihkan kepemilikan tanah adat menjadi milik perusahaan.

Sudah ada 20 hektare tanah di kawasan adat yang berstatus sertifikat hak milik (SHM). Sehingga telah terjadi jual beli yang intinya tanah adat itu kini milik perusahaan.

Atas kejadian itu, masyarakat adat Muaro Langkap menggugat Helmi Muid, Direktur PT Kerinci Merangin Hidro, dan Badan Pertanahan Kabupaten Kerinci ke pengadilan perdata.

Gugatan yang telah sidang perdana pada Senin (23/5/2022) belum ada keputusan sampai kini.

“Karena tergugat pertama meninggal dunia, kita akan ajukan ulang. Kita akan perjuangkan tanah 20 hektare itu bukan milik pribadi, tetapi atas nama masyarakat adat Muaro Langkap,” katanya.

Sementara itu, Corporate Communication Kalla Grup, Aji menanggapi dingin kasus perampasan tanah adat yang dilakukan perusahaan, meskipun sudah dilaporkan secara perdata ke Pengadilan Negeri Sungai Penuh.

“Kita akan laporkan ke atasan terkait kasus perampasan tanah adat yang telah dilaporkan Depati Muaro Langkap,” kata Aji.

Perampasan tanah adat

Perampasan tanah adat yang terjadi tidak hanya di Jambi, tapi jamak di Indonesia.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, total 8,5 juta hektare kawasan adat di Indonesia dirampas.

Angka tersebut akumulasi selama lima tahun terakhir.

“Perampasan dilakukan pihak-pihak yang bergerak di sektor perkebunan, kawasan hutan negara, pertambangan, dan pembangunan proyek infrastruktur,” kata Deputi Sekretaris Jenderal AMAN, Erasmus Cahyadi melalui sambungan telepon.

Dampak dari perampasan, meletusnya konflik masyarakat adat. Ada 301 kasus yang mengakibatkan 672 jiwa masyarakat adat yang dikriminalisasi. Sementara ada 8,5 juta hektare wilayah adat yang dirampas.

Erasmus mengatakan, untuk membela hak-hak masyarakat adat, pihaknya telah mengembangkan model advokasi kebijakan dengan pendekatan bantuan hukum struktural, yaitu dengan cara litigasi dan non-litigasi.

Mereka juga gencar mengampanyekan ke publik, aksi pembelaan di lapangan, serta memperkuat hukum lembaga adat, kawasan adat, dan kearifan lokal.

Ironi, kata Erasmus, perlindungan hukum terhadap masyarakat adat kini berjalan mundur.

"Hukum tidak menjawab persoalan kami, tetapi mempercepat perampasan tanah-tanah adat melalui UU Minerba dan Cipta Kerja," ujar dia.

“Undang-undang yang baru ini condong kepada kepentingan korporasi dan proyek strategis nasional, dibanding hak-hak masyarakat adat,” kata Erasmus.

AMAN begitu getol memperjuangkan hak masyarakat adat. Mereka menyadari adanya hubungan yang kuat antara masyarakat adat dengan tanah ulayat.

Tidak hanya karena bernilai ekonomi dan ruang hidup, tetapi juga teologi (kepercayaan) yang terhubung dengan leluhur dan Tuhan.

Mengapa tanah adat tidak boleh menjadi hak milik?

Secara turun temurun tanah adat Depati Muaro Langkap dari Tamiai sampai Perentak, diwariskan ke anak jantan dan betino, sebutan untuk masyarakat adat Muaro Langkap.

Semua anak jantan dan betino boleh memanfaatkan tanah adat itu, bahkan sejak dia lahir sampai meninggal.

Syaratnya satu, tidak boleh menjadi hak milik. Semua masyarakat adat mematuhi aturan tidak tertulis itu selama ribuan tahun.

Datuk Mukhri mencontohkan, pada tahun 1924, penjajah Belanda menerapkan ajum arah (pedoman) dari orang adat, dengan memotong 40 kerbau, sebelum membuka hutan di kawasan adat untuk perkebunan kopi.

Termasuk status tanahnya hanya pinjam pakai atau hak guna usaha (HGU).

“Orang-orang Belanda yang kita kenal penjajah itu lebih bijaksana. Mereka meminta izin dan ajum arah (pedoman) dari orang adat. Ketika mau bangun perkebunan kopi (sekarang lokasi PLTA), mereka mau potong 40 kerbau dan pinjam pakai atau Hak Guna Usaha (HGU) dari Depati Muaro Langkap. Artinya tidak menjadi hak milik,” kata Datuk Mukhri menjelaskan.

Datuk Mukhri mengatakan, PLTA hanya sementara, tapi tatan Muaro Langkap selamanya.

Dengan konsep pinjam pakai, maka tanah adat tetap menjadi milik anak-cucu masyarakat adat Muaro Langkap.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bupati HST Minta Kader PKK Tingkatkan Sinergi dengan Masyarakat dan Stakeholder

Bupati HST Minta Kader PKK Tingkatkan Sinergi dengan Masyarakat dan Stakeholder

Regional
Bupati Ipuk Raih Satyalancana, Pemkab Banyuwangi Jadi Kabupaten Berkinerja Terbaik se-Indonesia 

Bupati Ipuk Raih Satyalancana, Pemkab Banyuwangi Jadi Kabupaten Berkinerja Terbaik se-Indonesia 

Regional
RSUD dr R Soetijono Blora Luncurkan “Si Sedap”, Bupati Arief: Lakukan Terus Inovasi dan Terobosan Layanan kesehatan

RSUD dr R Soetijono Blora Luncurkan “Si Sedap”, Bupati Arief: Lakukan Terus Inovasi dan Terobosan Layanan kesehatan

Regional
Skenario Golkar, Siap Jadi Wakil jika Bambang Pacul Maju di Pilkada Jateng 2024

Skenario Golkar, Siap Jadi Wakil jika Bambang Pacul Maju di Pilkada Jateng 2024

Regional
Kisah Adi Latif Mashudi, Tinggalkan Korea Selatan Saat Bergaji Puluhan Juta Rupiah demi Jadi Petani di Blora (Bagian 1)

Kisah Adi Latif Mashudi, Tinggalkan Korea Selatan Saat Bergaji Puluhan Juta Rupiah demi Jadi Petani di Blora (Bagian 1)

Regional
Bawaslu Bangka Belitung Rekrut 141 Panwascam, Digaji Rp 2,2 Juta

Bawaslu Bangka Belitung Rekrut 141 Panwascam, Digaji Rp 2,2 Juta

Regional
Polemik Bantuan Bencana di Pesisir Selatan, Warga Demo Minta Camat Dicopot

Polemik Bantuan Bencana di Pesisir Selatan, Warga Demo Minta Camat Dicopot

Regional
Pengakuan Pelaku Pemerkosa Siswi SMP di Demak, Ikut Nafsu Lihat Korban Bersetubuh

Pengakuan Pelaku Pemerkosa Siswi SMP di Demak, Ikut Nafsu Lihat Korban Bersetubuh

Regional
Raih Peringkat 2 dalam Penghargaan EPPD 2023, Pemkab Wonogiri Diberi Gelar Kinerja Tinggi

Raih Peringkat 2 dalam Penghargaan EPPD 2023, Pemkab Wonogiri Diberi Gelar Kinerja Tinggi

Kilas Daerah
Imbas OTT Pungli, Polisi Geledah 3 Kantor di Kemenhub Bengkulu

Imbas OTT Pungli, Polisi Geledah 3 Kantor di Kemenhub Bengkulu

Regional
Sejak Dipimpin Nana Sudjana pada September 2023, Pemprov Jateng Raih 10 Penghargaan

Sejak Dipimpin Nana Sudjana pada September 2023, Pemprov Jateng Raih 10 Penghargaan

Regional
KM Bukit Raya Terbakar, Pelni Pastikan Tidak Ada Korban Jiwa dan Terluka

KM Bukit Raya Terbakar, Pelni Pastikan Tidak Ada Korban Jiwa dan Terluka

Regional
Keruk Lahar Dingin Marapi, Operator Eskavator Tewas Terseret Arus Sungai

Keruk Lahar Dingin Marapi, Operator Eskavator Tewas Terseret Arus Sungai

Regional
Kronologi Pria Bunuh Istri di Tuban, Serahkan Diri ke Polisi Usai Minum Racun Tikus

Kronologi Pria Bunuh Istri di Tuban, Serahkan Diri ke Polisi Usai Minum Racun Tikus

Regional
Nobar Indonesia Vs Korsel di Rumah Dinas Wali Kota Magelang, Ada Doorprize untuk 100 Orang Pertama

Nobar Indonesia Vs Korsel di Rumah Dinas Wali Kota Magelang, Ada Doorprize untuk 100 Orang Pertama

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com