Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah Adat Papua untuk Seniman Muda

Kompas.com - 10/02/2024, 06:36 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sebuah pameran yang digagas kelompok perupa Papua hanya berlangsung empat hari, tapi harapan yang disematkan kepadanya melebihi rentang waktu itu.

Didesain sebagai medium regenerasi pengetahuan asli Papua, pameran yang didahului ‘sekolah adat‘ ini dimimpikan melahirkan perupa-perupa muda yang konsisten menyuarakan kegelisahan, persoalan, dan harapan orang-orang asli Papua.

Regina Bay, perempuan dari Suku Namblong di Lembah Grime Nawa, Kabupaten Jayapura menyadari betul perubahan yang terjadi di sekeliling tanah adatnya.

“Angin di era 1970-an sampai 1980-an berembus sejuk sekali. Tapi mulai tahun 1990-an hingga sekarang sudah tidak seperti itu,“ ujarnya.

Baca juga: Pendidikan di Sekolah Adat Jadi Solusi Jawab Tantangan Global

Grime Nawa adalah kawasan yang membentang di lima kelompok adat. Luasnya mencapai sekitar 90 ribu hektare atau lebih dari setengah luas Kabupaten Jayapura.

Lanskap Grime Nawa meliputi perbukitan dan lembah. Hutan hujan tropis menutup lanskap itu, sebelum perusahaan datang dan mengekstraksi sumber daya alam di sana.

Grime Nawa bukan hanya tempat hidup orang-orang adat, tapi juga berbagai jenis tumbuhan dan satwa—termasuk yang endemik seperti cenderawasih.

“Surga yang hilang,“ begitu lembaga advokasi lingkungan Greenpeace menyebut kondisi Grime Nawa saat ini.

Regina Bay berkata, Papua berubah, bukan hanya bentang alamnya, tapi juga manusianya. Dia merujuk pada konsep umum di Tanah Papua yang melihat hutan sebagai mama.

Dalam pemahaman lokal, sebagai mama, hutan menyediakan segala kebutuhan hidup orang Papua—kayu untuk tempat tinggal, binatang serta tumbuhan untuk makanan dan obat-obatan.

Baca juga: Indonesia Punya 123 Sekolah Adat, Kemendikbud Dorong Gapai Pendanaan

Namun belakangan konsep ini mulai ditinggalkan, menurut Regina. Pangkalnya: orang Papua mulai mengenal dan memprioritaskan uang.

“Orang Papua dulu tidak punya uang, tapi dia bisa ambil babi dan apapun di hutan. Budaya ini sekarang putus. Orang Papua mulai menjual mama,” ujar Regina.

“Banyak sekali illegal logging, untuk tambang emas atau kebun kelapa sawit. Hutan kami sudah tidak ada. Jadi saya harus berbagi pengetahuan adat. Anak muda Papua harus jaga hutan supaya orang Papua tetap bisa hidup,” tuturnya.

"Sekolah adat"

Lembah Grime Nawa dipotret dari Nimbokrang, Kabupaten Jayapura.GREENPEACE INDONESIA via BBC Indonesia Lembah Grime Nawa dipotret dari Nimbokrang, Kabupaten Jayapura.
Regina membagikan pengalaman dan konsep adat tadi kepada 10 perupa muda Papua pada Januari lalu. Dia didaulat menjadi ‘guru adat’ oleh Udeido Collective, sebuah kelompok artis seni rupa kontemporer asal Papua.

Sebagai ‘guru adat’, Regina berkesempatan mengatasi kecemasan besarnya: putusnya rantai estafet pengetahuan adat Papua.

Udeido menggandeng empat figur adat lain dalam program seni rupa yang mereka beri nama Bholuh tersebut.

Selain Regina, terdapat Yusuf Ohee, penggerak tarian adat dari Kampung Yokiwa, Sentani, Jayapura. Ada pula pelukis kulit kayu Agus Ongge, mistikus Biak; Denis Koibur, dan tokoh adat dari Kampung Kayu Batu, Jayapura, Niko Makanuay.

Baca juga: Pemerintah Resmikan Sekolah Adat Marapu di Pulau Sumba NTT

Bholuh berlangsung dengan basis komunitas untuk mendorong potensi perupa muda Papua, kata Dicky Takndare, kurator program dari Udeido Collective.

Secara terminologi, Bholuh bermakna bibit tumbuh. Kata ini menyimbolkan para artis seni rupa yang tengah berproses menjadi perupa mandiri.

Tidak semata mandiri, Dicky berkata, 10 peserta Bholuh ditargetkan bisa bertumbuh menjadi perupa yang mendasarkan karya mereka pada lokalitas Papua—dari aspek budaya hingga realita ekonomi, sosial, dan politik.

Artikel berjudul Seni Papua: Ketika para perupa muda Papua menyuarakan keresahan 'terbiasa dibungkam' mengulas Udeido Collective sebagai kelompok seni rupa kontemporer Papua.

Dalam Bholuh, 10 perupa muda menjalani lima fase pembelajaran. Yang pertama adalah pengenalan seni rupa kontemporer yang berkembang di berbagai belahan dunia.

Baca juga: Cerita Sekolah Adat di Kalimantan, Lahirkan Ahli Waris Budaya, Merangkul Masa Depan

Tahap ini dilanjutkan dengan fase ‘sekolah adat’—momen di mana para peserta berguru pada lima figur adat. Proses pembelajaran dalam fase ini berlangsung di hutan, pinggir kali, dan kampung-kampung asal ‘guru adat‘.

Fase ketiga berupa momen refleksi, tahap di mana para perupa muda mendiskusikan segala yang mereka temukan dan rasakan di alam dan mereka dengar dari para ‘guru adat‘.

Dicky Takndare menyebut fase ini menguji nilai kolektivitas para peserta. Dengan latar belakang berbeda, baik secara adat maupun teknis seni rupa, para peserta harus berembuk dan memproduksi karya secara bersama-sama di fase keempat.

“Prosesnya diskusi sangat dinamis. Ada tolak-menolak gagasan, ada penerimaan,” ujar Dicky.

“Dinamika itu secara metafora menggambarkan manusia Papua. Seniman muda ini berbeda, tapi mereka pakai perbedaan itu sebagai keunikan dan kekayaan dan mereka bersatu. Itu nilai yang sangat penting,” kata Dicky.

Baca juga: Anak-anak Sekolah Adat Hadiri Upacara Hardiknas, Kemendikbudristek: Harapan untuk Kesetaraan Pendidikan


Keterangan gambar,
Melukis di atas kulit kayu adalah salah satu keterampilan asli yang disalurkan oleh guru adat kepada para perupa muda dalam program Bholuh.UDEIDO COLLECTIVE via BBC Indonesia Keterangan gambar, Melukis di atas kulit kayu adalah salah satu keterampilan asli yang disalurkan oleh guru adat kepada para perupa muda dalam program Bholuh.
Dua fase terakhir dalam Bholuh adalah proses pembuatan karya seni rupa dan pameran. Seluruh karya yang diproduksi telah ditunjukkan kepada publik pada 31 Januari hingga 3 Februari lalu, bertempat di gedung Pusat Pelatihan dan Pembinaan Perempuan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, Jayapura.

Program ‘sekolah adat’ bagi para perupa muda Papua ini berlangsung sekitar satu bulan—termasuk pameran yang digelar singkat, selama empat hari. Meski begitu, gagasan di balik Bholuh serta harapan yang dilekatkan kepadanya jauh melampaui rentang satu bulan itu.

Dicky berkata, ‘sekolah adat’ semacam Bholuh dalam konteks lokal sejak lama menjadi bagian dari peradaban orang asli Papua. Kelompok adat di Papua biasa menyebutnya sebagai sekolah inisiasi.

Baca juga: Kisah Aleta Baun, Satu-satunya Caleg DPR yang Diutus Masyarakat Adat Tiga Batu Tungku di NTT

Namun merujuk arsip sejarah yang dipelajari oleh Udeideo, seiring penyebaran Injil di Papua, ‘sekolah adat’ atau sekolah inisiasi dianggap bagian dari okultisme alias wujud dari kepercayaan terhadap ilmu sihir atau berhala.

“Pada awal abad ke-20 sekolah itu diruntuhkan. Sebagai gantinya anak muda waktu itu harus mengikuti sekolah formal,” kata Dicky.

Konsekuensinya, guru-guru adat terpinggirkan. Dicky berkata, pengetahuan adat, termasuk hal-hal berkaitan dengan seni budaya Papua, tidak dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Udeido, melalui Bholuh, bertekad merekonstruksi praktek belajar pada guru adat yang ada pada masa lampau.

”Banyak pengetahuan lokal yang masih disimpan orang tua. Internet tidak menyediakan pengetahuan itu,” kata Dicky.

Baca juga: Hadapi Debat Pamungkas, Ganjar Himpun Aspirasi dari Penyandang Disabilitas sampai Masyarakat Adat

“Banyak pengetahuan asli yang disimpan dalam tatanan adat dan itu hanya bisa diakses melalui cara tradisional. Praktek semacam Bholuh didiesain untuk mendekatkan anak muda dengan orang tua,” tuturnya.

Tidak hanya merujuk ke masa lalu, Bholuh juga melihat ke masa depan. Seperti makna terminologisnya, Udeido menyusun program ini sebagai penempa perupa muda Papua.

Mereka berharap, inspirasi dan pengetahuan asli yang muncul dalam ‘sekolah adat’ ini bisa terus membakar semangat perupa Papua untuk eksis berkarya.

“Saya harap mereka berkarya selama mungkin,” ujar Dicky.

“Bapak Agus Ongge bisa menjadi contoh. Dia menerima penyuluhan seni budaya dari Arnold Ap," lanjutnya, merujuk pada kurator Papua yang tewas ditembak pada 1984.

"Penyuluhan itu membakar semangat Agus. Dia meninggalkan pekerjaannya yang sangat mapan (di Freeport) untuk kembali ke kampung—fokus untuk melukis dan mematung.

Baca juga: TPN Ganjar-Mahfud Sebut Masyarakat Adat Kerap Jadi Korban Proyek Pemerintah

“Dedikasinya menjadikannya orang yang hebat. Dia berkeliling dunia dengan kulit kayu,“ kata Dicky.

Baca kisah Arnold Ap, keturunannya, serta orang-orang Papua yang melarikan diri dari konflik Papua dalam liputan Cerita anak-cucu pembuat bendera Bintang Kejora dan anak seniman ternama 'yang dibunuh'

"Seni budaya sama dengan harga diri"

Regina Bay membawa 10 perupa muda melihat realita lanskap hutan yang rusak dan tidak hanya berdampak pada keseimbangan ekosistem, tapi juga mengubah pola hidup orang asli Papua.UDEIDO COLLECTIVE via BBC Indonesia Regina Bay membawa 10 perupa muda melihat realita lanskap hutan yang rusak dan tidak hanya berdampak pada keseimbangan ekosistem, tapi juga mengubah pola hidup orang asli Papua.
Agus Ongge yang disebut Dicky adalah maestro lukis kulit kayu. Orang tua dan leluhurnya telah melukis di atas kulit kayu sejak ratusan tahun lalu—sebagai bagian dari cara hidup orang asli Papua.

Kulit kayu dengan ornamen di atasnya, kata Agus, dahulu digunakan sebagai penutup tubuh, terutama untuk para perempuan Papua. Karena dianggap berhala oleh misionaris Kristiani, kebiasaan itu berhenti. Akibatnya, Agus tak mewarisi keterampilan melukis di atas kulit kayu.

Namun Agus bertekad untuk meneruskan tradisi dan cara berkesenian leluhurnya. Gejolak politik Papua-Indonesia selama puluhan tahun terakhir membuat proses berkaryanya pasang surut. Namun satu hal yang membuat Agus bertahan adalah pemikiran: seni budaya dan tradisi adalah harga diri.

“Saya orang Papua—kulit hitam, rambut kriting—jadi saya harus pegang nilai-nilai budaya,” kata Agus.

Baca juga: Banyak Masyarakat Adat Tak Punya KTP, Pemerintah dan DPR Diminta Percepat Pengesahan RUU-nya

“Peradaban lama tidak bisa dihilangkan oleh peradaban baru. Politik itu nuansa baru, tapi yang lama ini tidak bisa dibuang. Justru adat harus menjadi lebih kuat. Generasi sebelumnya menguatkan generasi setelahnya,” ujar Agus.

Perjalanan hidup hingga teknik melukis di kulit kayu inilah yang dibagikan Agus kepada 10 peserta ‘sekolah adat’ Bholuh.

Hal yang sama juga dibagikan Yusuf Ohee. Dia adalah penggerak seni tari tradisi di kelompok Alyakha Art Center yang berbasis di Sentani. Tapi bukan melulu soal seni yang dia ajarkan kepada para perupa muda di Bholuh.

Dia banyak bicara tentang keseimbangan hubungan antara manusia Papua dan alam.

”Di Danau Sentani ada keramba-keramba terapung, itu bukan punya kelompok adat kami. Itu punya pendatang,” kata Yusuf.

Baca juga: Gibran Sebut PSN Jangan Sampai Singkirkan Masyarakat Adat

”Mungkin 30-50 tahun mendatang, tempat yang dibilang tete moyang kami ‘itu ko punya tempat untuk tancap pelepas sagu, kau tangkap ikan’ akan hilang,”

“Kali-kali tempat ikan bertelur, tapi sungai sekarang disiram dengan obat-obat. Mati semua. Perangkap ikan juga matikan ikan karena segala ikan masuk. Ikan-ikan akan musnah,” tuturnya.

Jawaban atas budaya diam

Jenita Hilapok, asal Wamena, salah satu perupa muda yang mengikuti 'sekolah adat'.UDEIDO COLLECTIVE via BBC Indonesia Jenita Hilapok, asal Wamena, salah satu perupa muda yang mengikuti 'sekolah adat'.
Salah satu perupa muda yang mengikuti ‘sekolah adat’ Bholuh adalah Jenita Hilapok. Perempuan berumur 20 tahun ini berasal dari Wamena.

Dia berkata, lima ‘guru adat’ pada pokoknya memberi perhatian terbesar pda tiga hal: hutan, tanah, dan air.

”Kalau tidak ada tiga hal ini, orang Papua mau hidup di mana dan bagaimana?” ujar Jenita.

Bholuh bukanlah ajang seni rupa pertama yang diikuti Jenita. Dia ikut serta dalam pameran seni rupa berjudul Sa Pu Cerita yang mengangkat isu perempuan Papua, dari kekerasan domestik hingga yang dilakukan oleh negara.

Pameran itu berlangsung tahun 2021 secara daring, diinisiasi oleh Asia Justice dan Rights.

Baca juga: Gibran Sebut PSN Jangan Sampai Singkirkan Masyarakat Adat

Jenita berkata, dia berusaha terus mendasarkan karya seni rupanya pada realitas sosial yang dihadapi perempuan Papua. Seni, kata dia, merupakan wadah bicara terhadap berbagai persoalan yang kerap dihadapi dengan budaya diam di kalangan orang Papua.

”Generasi muda Papua sekarang pasti tahu dan rasakan apa yang terjadi di tanah ini, tapi mungkin mereka takut mengungkapkan apa yang mereka pikirkan. ‘Lebih baik saya diam. Kalau diam, saya aman’ atau ‘Kalau saya aman, saya bisa ke sini, situ, dan melakukan ini itu ‘,” ujar Jenita tentang budaya diam di Papua.

”Banyak sekali yang menjanggal di hati, mau bicara, berteriak, bersuara, tapi mau bagaimana? Jalan satu-satunya duduk berkarya, untuk melukiskan hati kita yang sedang hancur,” kata Jenita.

Baca juga: Soal Proyek Libatkan Tanah Adat, Gibran: Harus Perbanyak Dialog, Jangan Sampai Masyarakat Adat Tersingkir

BBC News Indonesia pernah mengulas budaya diam di Papua yang dipicu konflik bersenjata dalam liputan Konflik Papua: Pengungsi Maybrat hidup dalam ketakutan

Semuel Wabdaron, perupa asal Biak yang menjadi peserta Bholuh, juga memiliki pandangan serupa. Baginya, karya seni memberinya kebebasan.

“Saya mengibaratkan tumbuhan merambat seperti seniman muda yang bisa menerobos sekat-sekat,” tuturnya.

Namun memilih untuk berkesenian tidak dijalani dengan mudah oleh Semuel, yang kini berstatus mahasiswa jurusan seni kriya di Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua. Jalan berkesenian tidak pernah diambil satupun anggota keluarganya.

“Pertama kali terjun ke dunia seni, saya sering diejek, dijatuhkan oleh teman dan termasuk keluarga,” kata Semuel.

Baca juga: Mahfud Bingung 20 Ribu Masyarakat Adat di Hutan Kaltim Tidak Bisa Memilih karena Tak Punya KTP

”Jadi seniman untuk apa?” ujarnya mengulang perkataan yang kerap dia dengar.

“Saya membuat karya seni dari sampah olahan, saya sedih karena banyak yang bilang saya terlihat seperti pemulung.”

Dalam konteks personal dan sosial ini, Semuel kembali memperkuat keyakinannya terhadap daya dobrak kesenian bagi orang asli Papua.

Dia mengutip lagu populer yang dilantunkan penyanyi tenar Papua, Mechu Imbiri, berjudul Rantai Raksasa.

“Hidupku tersiksa karena rantai raksasa,” ujar Semuel menyanyikan lirik lagu itu. Namun berkesenian, kata Semuel, melepas belenggu besar yang mengikat dirinya dan banyak orang di Papua.

Alfonso Dimara, wartawan di Jayapura, berkontribusi pada liputan ini

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Angkutan Kota Salatiga Terbakar saat Parkir di Depan Ruko

Angkutan Kota Salatiga Terbakar saat Parkir di Depan Ruko

Regional
Hari Jadi Ke-78 Sumsel, Pemprov Serahkan Berbagai Bantuan untuk Panti Asuhan hingga Ponpes 

Hari Jadi Ke-78 Sumsel, Pemprov Serahkan Berbagai Bantuan untuk Panti Asuhan hingga Ponpes 

Regional
Prakiraan Cuaca Manado Hari Ini Selasa 21 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Manado Hari Ini Selasa 21 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Ringan

Regional
DPC PDI-P Kota Yogyakarta Perpanjang Penjaringan Bakal Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota

DPC PDI-P Kota Yogyakarta Perpanjang Penjaringan Bakal Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota

Regional
Napi Anak Pembunuh Polisi Ditangkap, Menyamar Jadi Penumpang Travel

Napi Anak Pembunuh Polisi Ditangkap, Menyamar Jadi Penumpang Travel

Regional
Mengamuk, ODGJ di Lampung Tengah Bunuh Nenek Penderita Stroke

Mengamuk, ODGJ di Lampung Tengah Bunuh Nenek Penderita Stroke

Regional
19 Pekerja Ilegal yang Hendak Dikirim ke Kalimantan Diiming-imingi Gaji Rp 900.000

19 Pekerja Ilegal yang Hendak Dikirim ke Kalimantan Diiming-imingi Gaji Rp 900.000

Regional
Malapraktik, Bidan di Prabumulih Ditetapkan Tersangka

Malapraktik, Bidan di Prabumulih Ditetapkan Tersangka

Regional
Harkitnas dan Hari Jadi Ke-283 Wonogiri, Bupati Jekek: Penguasaan Teknologi Kunci Capai Indonesia Emas 2045

Harkitnas dan Hari Jadi Ke-283 Wonogiri, Bupati Jekek: Penguasaan Teknologi Kunci Capai Indonesia Emas 2045

Regional
Prakiraan Cuaca Pekanbaru Hari Ini Selasa 21 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Pekanbaru Hari Ini Selasa 21 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Ringan

Regional
KPU Sikka Respons Kasus Caleg Terpilih Jadi Tersangka TPPO

KPU Sikka Respons Kasus Caleg Terpilih Jadi Tersangka TPPO

Regional
Mengalami Pendarahan, 1 Jemaah Haji Asal Semarang Gagal Berangkat

Mengalami Pendarahan, 1 Jemaah Haji Asal Semarang Gagal Berangkat

Regional
KKP Bongkar Penyelundupan BBM Ilegal dan TPPO di Maluku

KKP Bongkar Penyelundupan BBM Ilegal dan TPPO di Maluku

Regional
Rebut Markas OPM di Hutan Maybrat, TNI Amankan Kotak Amunisi dan Puluhan Anak Panah

Rebut Markas OPM di Hutan Maybrat, TNI Amankan Kotak Amunisi dan Puluhan Anak Panah

Regional
Prakiraan Cuaca Semarang Hari Ini Selasa 21 Mei 2024, dan Besok : Siang Cerah Berawan

Prakiraan Cuaca Semarang Hari Ini Selasa 21 Mei 2024, dan Besok : Siang Cerah Berawan

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com