Salin Artikel

Sekolah Adat Papua untuk Seniman Muda

Didesain sebagai medium regenerasi pengetahuan asli Papua, pameran yang didahului ‘sekolah adat‘ ini dimimpikan melahirkan perupa-perupa muda yang konsisten menyuarakan kegelisahan, persoalan, dan harapan orang-orang asli Papua.

Regina Bay, perempuan dari Suku Namblong di Lembah Grime Nawa, Kabupaten Jayapura menyadari betul perubahan yang terjadi di sekeliling tanah adatnya.

“Angin di era 1970-an sampai 1980-an berembus sejuk sekali. Tapi mulai tahun 1990-an hingga sekarang sudah tidak seperti itu,“ ujarnya.

Grime Nawa adalah kawasan yang membentang di lima kelompok adat. Luasnya mencapai sekitar 90 ribu hektare atau lebih dari setengah luas Kabupaten Jayapura.

Lanskap Grime Nawa meliputi perbukitan dan lembah. Hutan hujan tropis menutup lanskap itu, sebelum perusahaan datang dan mengekstraksi sumber daya alam di sana.

Grime Nawa bukan hanya tempat hidup orang-orang adat, tapi juga berbagai jenis tumbuhan dan satwa—termasuk yang endemik seperti cenderawasih.

“Surga yang hilang,“ begitu lembaga advokasi lingkungan Greenpeace menyebut kondisi Grime Nawa saat ini.

Regina Bay berkata, Papua berubah, bukan hanya bentang alamnya, tapi juga manusianya. Dia merujuk pada konsep umum di Tanah Papua yang melihat hutan sebagai mama.

Dalam pemahaman lokal, sebagai mama, hutan menyediakan segala kebutuhan hidup orang Papua—kayu untuk tempat tinggal, binatang serta tumbuhan untuk makanan dan obat-obatan.

Namun belakangan konsep ini mulai ditinggalkan, menurut Regina. Pangkalnya: orang Papua mulai mengenal dan memprioritaskan uang.

“Orang Papua dulu tidak punya uang, tapi dia bisa ambil babi dan apapun di hutan. Budaya ini sekarang putus. Orang Papua mulai menjual mama,” ujar Regina.

“Banyak sekali illegal logging, untuk tambang emas atau kebun kelapa sawit. Hutan kami sudah tidak ada. Jadi saya harus berbagi pengetahuan adat. Anak muda Papua harus jaga hutan supaya orang Papua tetap bisa hidup,” tuturnya.

Sebagai ‘guru adat’, Regina berkesempatan mengatasi kecemasan besarnya: putusnya rantai estafet pengetahuan adat Papua.

Udeido menggandeng empat figur adat lain dalam program seni rupa yang mereka beri nama Bholuh tersebut.

Selain Regina, terdapat Yusuf Ohee, penggerak tarian adat dari Kampung Yokiwa, Sentani, Jayapura. Ada pula pelukis kulit kayu Agus Ongge, mistikus Biak; Denis Koibur, dan tokoh adat dari Kampung Kayu Batu, Jayapura, Niko Makanuay.

Bholuh berlangsung dengan basis komunitas untuk mendorong potensi perupa muda Papua, kata Dicky Takndare, kurator program dari Udeido Collective.

Secara terminologi, Bholuh bermakna bibit tumbuh. Kata ini menyimbolkan para artis seni rupa yang tengah berproses menjadi perupa mandiri.

Tidak semata mandiri, Dicky berkata, 10 peserta Bholuh ditargetkan bisa bertumbuh menjadi perupa yang mendasarkan karya mereka pada lokalitas Papua—dari aspek budaya hingga realita ekonomi, sosial, dan politik.

Artikel berjudul Seni Papua: Ketika para perupa muda Papua menyuarakan keresahan 'terbiasa dibungkam' mengulas Udeido Collective sebagai kelompok seni rupa kontemporer Papua.

Dalam Bholuh, 10 perupa muda menjalani lima fase pembelajaran. Yang pertama adalah pengenalan seni rupa kontemporer yang berkembang di berbagai belahan dunia.

Tahap ini dilanjutkan dengan fase ‘sekolah adat’—momen di mana para peserta berguru pada lima figur adat. Proses pembelajaran dalam fase ini berlangsung di hutan, pinggir kali, dan kampung-kampung asal ‘guru adat‘.

Fase ketiga berupa momen refleksi, tahap di mana para perupa muda mendiskusikan segala yang mereka temukan dan rasakan di alam dan mereka dengar dari para ‘guru adat‘.

Dicky Takndare menyebut fase ini menguji nilai kolektivitas para peserta. Dengan latar belakang berbeda, baik secara adat maupun teknis seni rupa, para peserta harus berembuk dan memproduksi karya secara bersama-sama di fase keempat.

“Prosesnya diskusi sangat dinamis. Ada tolak-menolak gagasan, ada penerimaan,” ujar Dicky.

“Dinamika itu secara metafora menggambarkan manusia Papua. Seniman muda ini berbeda, tapi mereka pakai perbedaan itu sebagai keunikan dan kekayaan dan mereka bersatu. Itu nilai yang sangat penting,” kata Dicky.

Program ‘sekolah adat’ bagi para perupa muda Papua ini berlangsung sekitar satu bulan—termasuk pameran yang digelar singkat, selama empat hari. Meski begitu, gagasan di balik Bholuh serta harapan yang dilekatkan kepadanya jauh melampaui rentang satu bulan itu.

Dicky berkata, ‘sekolah adat’ semacam Bholuh dalam konteks lokal sejak lama menjadi bagian dari peradaban orang asli Papua. Kelompok adat di Papua biasa menyebutnya sebagai sekolah inisiasi.

Namun merujuk arsip sejarah yang dipelajari oleh Udeideo, seiring penyebaran Injil di Papua, ‘sekolah adat’ atau sekolah inisiasi dianggap bagian dari okultisme alias wujud dari kepercayaan terhadap ilmu sihir atau berhala.

“Pada awal abad ke-20 sekolah itu diruntuhkan. Sebagai gantinya anak muda waktu itu harus mengikuti sekolah formal,” kata Dicky.

Konsekuensinya, guru-guru adat terpinggirkan. Dicky berkata, pengetahuan adat, termasuk hal-hal berkaitan dengan seni budaya Papua, tidak dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Udeido, melalui Bholuh, bertekad merekonstruksi praktek belajar pada guru adat yang ada pada masa lampau.

”Banyak pengetahuan lokal yang masih disimpan orang tua. Internet tidak menyediakan pengetahuan itu,” kata Dicky.

“Banyak pengetahuan asli yang disimpan dalam tatanan adat dan itu hanya bisa diakses melalui cara tradisional. Praktek semacam Bholuh didiesain untuk mendekatkan anak muda dengan orang tua,” tuturnya.

Tidak hanya merujuk ke masa lalu, Bholuh juga melihat ke masa depan. Seperti makna terminologisnya, Udeido menyusun program ini sebagai penempa perupa muda Papua.

Mereka berharap, inspirasi dan pengetahuan asli yang muncul dalam ‘sekolah adat’ ini bisa terus membakar semangat perupa Papua untuk eksis berkarya.

“Saya harap mereka berkarya selama mungkin,” ujar Dicky.

“Bapak Agus Ongge bisa menjadi contoh. Dia menerima penyuluhan seni budaya dari Arnold Ap," lanjutnya, merujuk pada kurator Papua yang tewas ditembak pada 1984.

"Penyuluhan itu membakar semangat Agus. Dia meninggalkan pekerjaannya yang sangat mapan (di Freeport) untuk kembali ke kampung—fokus untuk melukis dan mematung.

“Dedikasinya menjadikannya orang yang hebat. Dia berkeliling dunia dengan kulit kayu,“ kata Dicky.

Baca kisah Arnold Ap, keturunannya, serta orang-orang Papua yang melarikan diri dari konflik Papua dalam liputan Cerita anak-cucu pembuat bendera Bintang Kejora dan anak seniman ternama 'yang dibunuh'

Kulit kayu dengan ornamen di atasnya, kata Agus, dahulu digunakan sebagai penutup tubuh, terutama untuk para perempuan Papua. Karena dianggap berhala oleh misionaris Kristiani, kebiasaan itu berhenti. Akibatnya, Agus tak mewarisi keterampilan melukis di atas kulit kayu.

Namun Agus bertekad untuk meneruskan tradisi dan cara berkesenian leluhurnya. Gejolak politik Papua-Indonesia selama puluhan tahun terakhir membuat proses berkaryanya pasang surut. Namun satu hal yang membuat Agus bertahan adalah pemikiran: seni budaya dan tradisi adalah harga diri.

“Saya orang Papua—kulit hitam, rambut kriting—jadi saya harus pegang nilai-nilai budaya,” kata Agus.

“Peradaban lama tidak bisa dihilangkan oleh peradaban baru. Politik itu nuansa baru, tapi yang lama ini tidak bisa dibuang. Justru adat harus menjadi lebih kuat. Generasi sebelumnya menguatkan generasi setelahnya,” ujar Agus.

Perjalanan hidup hingga teknik melukis di kulit kayu inilah yang dibagikan Agus kepada 10 peserta ‘sekolah adat’ Bholuh.

Hal yang sama juga dibagikan Yusuf Ohee. Dia adalah penggerak seni tari tradisi di kelompok Alyakha Art Center yang berbasis di Sentani. Tapi bukan melulu soal seni yang dia ajarkan kepada para perupa muda di Bholuh.

Dia banyak bicara tentang keseimbangan hubungan antara manusia Papua dan alam.

”Di Danau Sentani ada keramba-keramba terapung, itu bukan punya kelompok adat kami. Itu punya pendatang,” kata Yusuf.

”Mungkin 30-50 tahun mendatang, tempat yang dibilang tete moyang kami ‘itu ko punya tempat untuk tancap pelepas sagu, kau tangkap ikan’ akan hilang,”

“Kali-kali tempat ikan bertelur, tapi sungai sekarang disiram dengan obat-obat. Mati semua. Perangkap ikan juga matikan ikan karena segala ikan masuk. Ikan-ikan akan musnah,” tuturnya.

Dia berkata, lima ‘guru adat’ pada pokoknya memberi perhatian terbesar pda tiga hal: hutan, tanah, dan air.

”Kalau tidak ada tiga hal ini, orang Papua mau hidup di mana dan bagaimana?” ujar Jenita.

Bholuh bukanlah ajang seni rupa pertama yang diikuti Jenita. Dia ikut serta dalam pameran seni rupa berjudul Sa Pu Cerita yang mengangkat isu perempuan Papua, dari kekerasan domestik hingga yang dilakukan oleh negara.

Pameran itu berlangsung tahun 2021 secara daring, diinisiasi oleh Asia Justice dan Rights.

Jenita berkata, dia berusaha terus mendasarkan karya seni rupanya pada realitas sosial yang dihadapi perempuan Papua. Seni, kata dia, merupakan wadah bicara terhadap berbagai persoalan yang kerap dihadapi dengan budaya diam di kalangan orang Papua.

”Generasi muda Papua sekarang pasti tahu dan rasakan apa yang terjadi di tanah ini, tapi mungkin mereka takut mengungkapkan apa yang mereka pikirkan. ‘Lebih baik saya diam. Kalau diam, saya aman’ atau ‘Kalau saya aman, saya bisa ke sini, situ, dan melakukan ini itu ‘,” ujar Jenita tentang budaya diam di Papua.

”Banyak sekali yang menjanggal di hati, mau bicara, berteriak, bersuara, tapi mau bagaimana? Jalan satu-satunya duduk berkarya, untuk melukiskan hati kita yang sedang hancur,” kata Jenita.

BBC News Indonesia pernah mengulas budaya diam di Papua yang dipicu konflik bersenjata dalam liputan Konflik Papua: Pengungsi Maybrat hidup dalam ketakutan

Semuel Wabdaron, perupa asal Biak yang menjadi peserta Bholuh, juga memiliki pandangan serupa. Baginya, karya seni memberinya kebebasan.

“Saya mengibaratkan tumbuhan merambat seperti seniman muda yang bisa menerobos sekat-sekat,” tuturnya.

Namun memilih untuk berkesenian tidak dijalani dengan mudah oleh Semuel, yang kini berstatus mahasiswa jurusan seni kriya di Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua. Jalan berkesenian tidak pernah diambil satupun anggota keluarganya.

“Pertama kali terjun ke dunia seni, saya sering diejek, dijatuhkan oleh teman dan termasuk keluarga,” kata Semuel.

”Jadi seniman untuk apa?” ujarnya mengulang perkataan yang kerap dia dengar.

“Saya membuat karya seni dari sampah olahan, saya sedih karena banyak yang bilang saya terlihat seperti pemulung.”

Dalam konteks personal dan sosial ini, Semuel kembali memperkuat keyakinannya terhadap daya dobrak kesenian bagi orang asli Papua.

Dia mengutip lagu populer yang dilantunkan penyanyi tenar Papua, Mechu Imbiri, berjudul Rantai Raksasa.

“Hidupku tersiksa karena rantai raksasa,” ujar Semuel menyanyikan lirik lagu itu. Namun berkesenian, kata Semuel, melepas belenggu besar yang mengikat dirinya dan banyak orang di Papua.

Alfonso Dimara, wartawan di Jayapura, berkontribusi pada liputan ini

https://regional.kompas.com/read/2024/02/10/063600778/sekolah-adat-papua-untuk-seniman-muda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke