“Sampai saat ini mereka (warga) belum lapor ke desa, bahwa sudah pindah atau merencanakan pindah,” kata Kastyiar.
Tapi, bagi Kastyiar warga yang pindah meninggalkan desa bukan tersingkir karena IKN. Sebab sedari awal tahap sosialisasi sampai penyerahan hasil penilaian ganti rugi, warga selalu dilibatkan dan tidak ada paksaan sama sekali.
“Jadi keputusan pindah atau tidaknya merupakan keputusan pribadi. Mereka (warga RT 10) setuju secara sukarela, melepas rumah dan lahan untuk IKN. Jadi enggak ada bahasa tersingkir, itu menurut saya,” terang kades.
Berbeda dengan Kades, Sekretaris Camat Sepaku Hendro Susilo mengakui, banyak warganya di sekitar IKN yang memilih pindah menjauh dari IKN karena kehilangan rumah dan lahan.
Tak hanya di Desa Bumi Harapan, kata dia, hal sama juga terjadi di Kelurahan Pemaluan.
Hendro menyebut, salah satu faktor utamanya karena pemerintah tak kunjung menyiapkan lahan pengganti atau pun tempat relokasi bagi warga terdampak.
Itu merujuk pada Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 19 Tahun 2021 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang memberi beragam pilihan ganti rugi.
Warga seharusnya bisa memilih bentuk ganti rugi berupa uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Masalahnya hingga saat ini warga tak pernah diberitahu di mana letak lahan pengganti atau permukiman kembali, jika memilih satu dari dua opsi itu.
“Karena itu (kehilangan lahan setelah dibebaskan) mungkin saja banyak yang pindah ke luar atau menjauh dari IKN (cari lahan baru),” kata Hendro.
Kendati demikian, Hendro menyakini warga yang pindah pasti punya perhitungan sendiri soal untung rugi. Misal, kata dia, mungkin saja warga punya niat beli lahan murah yang letaknya jauh dari IKN, supaya sisa uangnya bisa disisikan buat simpanan.
Warga lain, Thomy Thomas mengaku pernah mendapat sosialisasi perihal beragam pilihan ganti rugi itu saat mereka dikumpulkan Tim Pengadaan IKN di kantor Kecamatan Sepaku. Tapi, warga tidak pernah diberitahu di mana letak lahan itu.
“Ngomong saja, enggak ada lahan yang disiapkan. Buktinya sampai sekarang enggak ada lahan yang disiapkan buat relokasi warga. Mana lahannya? Enggak ada. Kalau pemerintah siapkan lahan (pengganti), tidak mungkin warga pindah,” ungkap Thomy sedikit kesal.
Empat kali Kompas.com mendatangi rumah Ketua RT 10 yang letaknya tak jauh dari rumah Asin dan Teguh selama dua hari berturut namun pintu rumah tersebut selalu tertutup. Rumah dalam keadaan kosong.
Penjaga kios sembako sebelah rumah RT menyebut Ketua RT 10 sudah pindah, namun dia tak tahu di mana lokasinya.
Pantauan lapangan, kurang dari 10 rumah tampak kosong. Mulai dari yang terdekat titik nol atau di sekitaran rumah Ketua RT 10 hingga ke sekitaran rumah Hamidah, nama yang disebutkan Teguh sebelumnya sebagai daftar pindah.
Rumah-rumah itu dipenuhi debu bagian dinding, halaman kotor penuh dedaunan kering seperti lama tak dibersihkan pemilik. Warga setempat menyebut rumah-rumah itu telah ditinggalkan pemilik setelah diganti rugi.
Selang satu rumah dari rumah kosong yang ditinggalkan Hamidah, jadi jalan masuk menuju proyek Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) KIPP IKN yang kini sedang dalam pengerjaan.
Hamidah (60) bersama anak dan dua cucunya telah mengosongkan rumah kayu ukuran kecil yang berdiri di atas 155 meter persegi itu sejak Maret 2023 lalu, setelah menerima uang ganti rugi senilai Rp 56 juta.
Saat ditemui Kompas.com Maret lalu, sebelum pindah menetap di Silkar, Kabupaten Paser berbatasan dengan PPU, Hamidah bilang tak punya pilihan mempertahankan rumah juga kebun, meski itu jadi satu-satunya sumber penghasilan.
Baca juga: Jokowi Pinjam Seratus kepada 100 CEO di IKN
Dia tak bisa baca tulis. Ikut arus saja. Sikap setuju melepas lahannya bergantung pada sikap kebanyakan orang.
Tak jauh dari rumah kosong Hamidah, terdapat dua rumah lain dari beton dan kayu milik Thomy Thomas juga terancam dikosongkan dalam waktu dekat, karena masuk kawasan delianse IKN.
Thomy sempat menolak nilai ganti rugi yang ditawarkan Tim Pengadaan Tanah IKN karena terlalu kecil. Bagi Thomy tak sebanding dengan lonjakan harga tanah di sekitar IKN yang mencapai Rp 2 – 3 juta per meter. Thomy ingin pemerintah memberi harga pantas berkisar di atas Rp 1 juta per meter.
Faktanya harga ganti rugi yang diterima warga, berdasarkan penilaian Tim Appraisal masih jauh berkisar Rp 300.000 per meter tergantung kelengkapan surat tanah, letak, tanam tumbuh, bangunan dan sebagainya.
Bahkan ada warga yang dapat harga jauh dari pantas yakni Rp 14.000 per meter. Kasus ini pernah disoroti Otorita IKN dan DPRD PPU karena menilai tak adil.
Pada Desember 2022 lalu, saat pembebasan lahan tahap satu, pemerintah membereskan terdahulu lahan warga di Desa Bumi Harapan yang terdelineasi kawasan KIPP seluas 345,81 hektar dan Desa Bukit Raya 0,01 hektar.
Setelah itu, baru bergeser Kelurahan Pemaluan membebaskan sekitar 472,07 hektar yang terdelianse kawasan KIPP IKN.
Dari tiga desa terdekat dengan IKN ini, total lahan warga yang mesti dibebaskan pemerintah sebanyak 817,89 hektar atau 12 persen dari luas kawasan 6.671,55 hektar yang ditetapkan sebagai KIPP melalui UU IKN Nomor 3/2022.
Hamidah yang kini menetap di kabupaten sebelah, Thomy, Teguh, Syara dan beberapa warga lain di RT 10 masuk daftar pembebasan tahap satu.
Kemudian disusul 45 warga lagi pada tahap dua dan 62 warga pada tahap tiga.
Upaya konfirmasi dan perolehan data lahan warga yang telah maupun belum dibebaskan belum mendapat respon dari BPN PPU sebagai pelaksana teknis.
Sepanjang proses itu, pemerintah sudah membayar warga yang setuju, setelah itu mereka harus mengosongkan rumah.
Sementara, warga yang keberatan dengan nilai ganti rugi memilih bertahan. Mereka enggan menyerahkan surat tanah meski bujuk rayu sampai intimidasi diterima.
Gelombang protes perihal nilai ganti rugi itu, akhirnya bermuara di Pengadilan Negeri PPU.
Baca juga: Ajak CEO Beli Tanah di IKN, Jokowi: Mumpung Masih Murah