Budaya matriarki dalam tradisi masyarakat Sumba membuat laki-laki Sumba merasa bahwa hak mereka sebagai kepala keluarga tidak ada.
Keinginan untuk menjadi kepala keluarga yang mempunyai hak menuntut laki-laki untuk melakukan tradisi kawin tangkap.
Tujuan tradisi kawin tangkap tidak lain agar nantinya kedua mempelai dapat tinggal di lingkungan keluarga laki-laki dan menjadi keluarga yang otonom.
Dilansir dari Jurnal Tradisi Kawin Tangkap di Sumba, NTT: Perspektif FIlsafat Moral Emmauel Kant karya Donatus Sermada (2022), secara historis, tradisi kawin tangkap biasanya dilakukan oleh laki-laki dari keluarga kaya yang hendak meminang seorang perempuan yang disukainya.
Praktik kawin tangkap dilakukan dengan cara ‘menculik’ perempuan yang akan menjadi calon pengantin atau dijadikan istri.
Namun awalnya pelaksanaan tradisi kawin tangkap dimaksudkan untuk membawa pernikahan tanpa melalui peminangan atau kesepakatan kedua belah pihak, terutama soal mahar atau belis menuju ke tahap peminangan sebagai perkawinan yang sah menurut adat Sumba.
Kawin tangkap juga menjadi proses adat perkawinan di Sumba yang dilaksanakan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, yaitu keluarga dari pihak laki-laki dengan keluarga dari pihak perempuan.
Pelaksanaan kawin tangkap dilakukan sesuai dengan prosesi pernikahan adat yaitu melibatkan simbol-simbol adat, seperti kuda yang diikat atau emas di bawah bantal sebagai tanda bahwa prosesi adat tengah dilaksanakan.
Dalam praktiknya, baik calon mempelai pria dan wanita akan menggunakan pakaian adat.
Selain itu, pihak orang tua laki-laki akan memberikan satu ekor kuda dan sebuah parang khas Sumba sebagai tanda permintaan maaf dan memberitahukan bahwa anak perempuannya sudah berada di pihak laki-laki.
Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menaruh perhatian pada masalah dalam praktik kawin tangkap yang dianggap merugikan perempuan.
Pernyataan sikap mengenai praktik kawin tangkap pernah dirilis Komnas Perempuan pada 24 Juni 2020.
Dilansir dari laman komnasperempuan.go.id, Komnas Perempuan menyerukan adanya langkah komprehensif untuk menghapus praktik kekerasan terhadap perempuan yang mengatasnamakan tradisi.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa praktik tersebut merupakan tindak kekerasan seksual, yaitu pemaksaan perkawinan yang berakar pada diskriminasi berbasis gender.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga menaruh perhatian kepada kasus penculikan terhadap perempuan di Sumba yang dipersepsikan sebagian orang sebagai kawin tangkap.