Salin Artikel

Mengenal Kawin Tangkap di Sumba, Bagaimana Seharusnya Tradisi Ini Dilakukan?

KOMPAS.com - Praktik kawin tangkap yang terjadi di daerah Sumba, Nusa Tenggara Timur, kembali menuai perhatian.

Video viral aksi ‘penculikan’ seorang perempuan oleh sejumlah orang yang mengenakan baju adat tersebut dilakukan di tempat umum dan dan menjadi tontonan masyarakat sekitar.

Perempuan yang tengah berjalan di sisi jalan tersebut terlihat berhasil ditangkap dan dibawa kabur menggunakan mobil bak terbuka.

Video yang merekam praktik tradisi kawin tangkap ini terjadi di Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, dan menjadi viral di media sosial pada Kamis (7/9/2023).

Tradisi kawin tangkap tersebut diyakini masyarakat adat dan merupakan warisan nenek moyang masyarakat Sumba yang telah dilakukan secara turun-temurun.

Namun pergeseran dalam pelaksanaan kawin tangkap dinilai berbagai pihak sebagai praktik kekerasan terhadap perempuan yang mengatasnamakan tradisi.

Lalu apa itu tradisi kawin tangkap dan bagaimana sebenarnya pelaksanaan yang sesuai dengan tradisi atau adat masyarakat Sumba?

Mengenal Tradisi Kawin Tangkap

Tradisi kawin tangkap adalah bentuk perkawinan yang yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan adat di daerah Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Praktik tradisi ini pernah diulas dalam penelitian yang dilakukan Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan, Regina Wahyono Vania Blancha yang berjudul Peran Hukum Adat dalam Menghadapi Dinamika Budaya Kawin Tangkap dalam Masyarakat Sumba, Nusa Tenggara Timur (2021).

Kawin tangkap dikenal dengan berbagai macam nama, seperti Wenda Mawine yang artinya kawin culik di Sumba Barat Daya (Suku Wewewa), Yappa Mawinni yang artinya tangkap perempuan di Sumba Tengah (dialek Anakalang) dan Kedu Ngidi Mawineyang berarti membawa lari perempuan di Sumba Barat (dialek Loli).

Pelaksanaan kawin tangkap tentunya memiliki aturan yaitu hukum adat perkawinan Sumba yang dipegang kuat oleh masyarakat adat yang biasanya memiliki tua-tua adat atau kepala adat sebagai penegak atau penjaga hukum adat.

Kawin tangkap juga tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang atau asal menentukan sosok perempuan sebagai calon pengantin wanitanya.

Menurut Martha Hebi, anggota Solidaritas Perempuan dan Anak Sumba (SOPAN) yang juga merupakan masyarakat asli Sumba kawin tangkap biasa dilakukan dalam konteks kekerabatan keluarga, klan, atau suku, dimana salah satu tujuannya adalah untuk mengikat hubungan kekerabatan.

Hal ini menjadi alasan perempuan yang nantinya akan menjadi calon mempelai wanita biasanya dipilih dari keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan erat dengan keluarga calon mempelai pria.

Sementara dilansir dari Pustaka Budaya Sumba (1976), kawin tangkap menjadi tradisi yang dilakukan oleh para pria Sumba sebagai upaya untuk keluar dari budaya matriarki.

Budaya matriarki dalam tradisi masyarakat Sumba membuat laki-laki Sumba merasa bahwa hak mereka sebagai kepala keluarga tidak ada.

Keinginan untuk menjadi kepala keluarga yang mempunyai hak menuntut laki-laki untuk melakukan tradisi kawin tangkap.

Tujuan tradisi kawin tangkap tidak lain agar nantinya kedua mempelai dapat tinggal di lingkungan keluarga laki-laki dan menjadi keluarga yang otonom.

Pelaksanaan Tradisi Kawin Tangkap

Dilansir dari Jurnal Tradisi Kawin Tangkap di Sumba, NTT: Perspektif FIlsafat Moral Emmauel Kant karya Donatus Sermada (2022), secara historis, tradisi kawin tangkap biasanya dilakukan oleh laki-laki dari keluarga kaya yang hendak meminang seorang perempuan yang disukainya.

Praktik kawin tangkap dilakukan dengan cara ‘menculik’ perempuan yang akan menjadi calon pengantin atau dijadikan istri.

Namun awalnya pelaksanaan tradisi kawin tangkap dimaksudkan untuk membawa pernikahan tanpa melalui peminangan atau kesepakatan kedua belah pihak, terutama soal mahar atau belis menuju ke tahap peminangan sebagai perkawinan yang sah menurut adat Sumba.

Kawin tangkap juga menjadi proses adat perkawinan di Sumba yang dilaksanakan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, yaitu keluarga dari pihak laki-laki dengan keluarga dari pihak perempuan.

Pelaksanaan kawin tangkap dilakukan sesuai dengan prosesi pernikahan adat yaitu melibatkan simbol-simbol adat, seperti kuda yang diikat atau emas di bawah bantal sebagai tanda bahwa prosesi adat tengah dilaksanakan.

Dalam praktiknya, baik calon mempelai pria dan wanita akan menggunakan pakaian adat.

Selain itu, pihak orang tua laki-laki akan memberikan satu ekor kuda dan sebuah parang khas Sumba sebagai tanda permintaan maaf dan memberitahukan bahwa anak perempuannya sudah berada di pihak laki-laki.

Mengapa Tradisi Kawin Tangkap Dianggap Bermasalah?

Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menaruh perhatian pada masalah dalam praktik kawin tangkap yang dianggap merugikan perempuan.

Pernyataan sikap mengenai praktik kawin tangkap pernah dirilis Komnas Perempuan pada 24 Juni 2020.

Dilansir dari laman komnasperempuan.go.id, Komnas Perempuan menyerukan adanya langkah komprehensif untuk menghapus praktik kekerasan terhadap perempuan yang mengatasnamakan tradisi.

Komnas Perempuan berpendapat bahwa praktik tersebut merupakan tindak kekerasan seksual, yaitu pemaksaan perkawinan yang berakar pada diskriminasi berbasis gender.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga menaruh perhatian kepada kasus penculikan terhadap perempuan di Sumba yang dipersepsikan sebagian orang sebagai kawin tangkap.

Dilansir dari laman kemenpppa.go.id, pada 2020, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga bahkan telah melakukan kunjungan kerja ke Sumba.

Hal itu dilakukan untuk mendengar secara langsung terkait praktik kawin tangkap dari tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, penyintas, pendamping, dan pemerintah daerah.

Dalam pertemuan tersebut, tokoh-tokoh adat menguraikan betapa masyarakat Sumba sangat memuliakan kaum perempuan.

Mereka dengan tegas menolak praktik membawa lari perempuan untuk dinikahi atau yang kemudian dipersepsikan sebagai kawin tangkap dan dianggap sebagai wujud nilai-nilai adat dan budaya Sumba.

Lebih lanjut, dalam pertemuan tersebut Tokoh Adat Sumba Tengah, Andreas mengungkapkan bahwa tokoh adat dan tokoh agama di Kabupaten Sumba Tengah mengadakan pertemuan pada 30 Juni 2020 dan sepakat untuk dengan tegas menolak istilah kawin tangkap.

Sementara tindakan yang telah dilakukan termasuk melakukan proses hukum dengan mengutamakan unsur perlindungan terhadap perempuan korban, serta mengembalikan korban ke keluarganya dari terduga pelaku yang ingin menjadikan korban sebagai istri.

Sumber:
repository.unpar.ac.id  
komnasperempuan.go.id  
kemenpppa.go.id  
kompas.com  (Penulis : Alinda Hardiantoro, Editor : Rizal Setyo Nugroho)

https://regional.kompas.com/read/2023/09/09/162506378/mengenal-kawin-tangkap-di-sumba-bagaimana-seharusnya-tradisi-ini-dilakukan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke