Tidak hanya dari suku Timur, suku Toraja, suku Bugis, suku Jawa, bahkan suku asli Nunukan, ada di kampung yang berjarak sekitar 2 kilometer dari alun-alun kota ini.
Tidak sedikit warga Kampung Timur yang belum memiliki kelengkapan berkas administrasi kependudukan, sehingga banyak dari anak-anak mereka tidak bisa masuk sekolah negeri.
"Semua terbentur dengan dokumen, mereka kebanyakan lahir di Malaysia dan tidak ada akta lahir sehingga pilihannya hanya sekolah swasta. Itu bagi orangtua yang memandang pendidikan penting, bagi orangtua yang tidak peduli pendidikan anak, ya mereka memilih mengajak anaknya bekerja. Kita mencoba menyadarkan mereka arti penting pendidikan, sehingga anak anaknya bisa bersekolah semua,’’kata Berlin lagi.
Baca juga: KPU Nunukan Temukan Camat dan Kepala Sekolah Nyaleg
Berlin pun meminta Ketua RT agar mengumpulkan data yang diperlukan untuk pembuatan dokumen, serta berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Nunukan untuk membuatkan mereka dokumen. Sekaligus bertujuan anak anak eks TKI tersebut, bisa masuk sekolah.
‘’Setelah kita dapat datanya, semua kepengurusan yang berhubungan dengan administrasi kependudukan tentu jauh lebih mudah. Anak anak bisa mendaftar masuk sekolah. Dan kalau ada anak anak dengan kondisi khusus, seperti stunting, langsung kita bantu dan berkoordinasi dengan Dinas Sosial,’’katanya.
Tantangan mengajar anak-anak buta huruf
Untuk menjamin belajar mengajar dilakukan secara intens, Berlin membentuk Komunitas Wahana Pendidikan Perbatasan (WPP).
Ada sekitar 20-an anak muda dengan kesadaran dan dengan kerelaannya, mendeklarasikan pemberantasan buta aksara.
Mereka datang ke rumah rumah penduduk di Kampung Timur, setiap petang. Mengetuk rumah mereka, dan berusaha merayu anak anak yang belum pernah mengenyam bangku sekolah, agar tertarik dengan buku.
‘’Kita berusaha bagaimana agar anak-anak eks PMI kita itu tertarik untuk tahu huruf. Kita ajak mereka bermain dengan lidi, berhitung dengan alat mirip sempoa yang biasa digunakan di SD, juga membawakan gambar gambar hewan dan abjad warna warni demi membuat mereka mau untuk terus belajar,’’ujar salah satu relawan WPP Serlyna (19).
Serlyna mengaku tertarik bergabung dengan para relawan WPP sejak ia duduk di bangkus kelas 11 SMA.
Ia yang berteman akrab dengan Masyita (22), yang lebih dulu terjun menjadi relawan di WPP, memutuskan ikut membantu dan merasakan bagaimana berjuang membuat anak-anak usia SD untuk mengenal huruf, sampai bisa membaca.
‘’Ada latihan kesabaran, ada sebuah kebanggaan dan kegembiraan yang kita rasakan ketika anak yang kita ajar akhirnya bisa membaca. Rasa kepuasan batin itu yang membuat saya terjun langsung jadi relawan. Karena kebahagiaan batin, membuat kita semakin dewasa dan peduli dengan nasib sesama,’’imbuh Serly.
Serly tidak membantah sering kesal ketika anak anak yang ia ajar, sulit memahami materi yang ia sampaikan. Tidak jarang, anak anak melawan atau protes tak masuk akal yang memancing emosi dan kejengkelannya.
‘’Seninya disitu, saya yang masih sekolah akhirnya merasakan bagaimana perasaan guru kita. Pengalaman itu menempa kita menjadi pribadi yang lebih peka dan mawas diri,’’lanjutnya.
Senior Serly, Masyta, juga tidak membantah, sulitnya anak anak eks TKI memahami pelajaran, terkadang membuat emosinya naik.
Hanya saja, seorang pengajar, tentu tidak hanya menyampaikan materi tanpa bekal moral dan etika. Modal tersebut, menjadi pegangan seorang guru yang berarti ‘Digugu (Dianggap/dijadikan panutan) dan ditiru’.
‘’Sejak WPP berdiri 2020, kita sudah menghadapi banyak watak anak anak. Dan ragam sifat anak itu membuat kita makin kaya akan inovasi dan metode mengajar. Awalnya mungkin sering emosi, tapi kita belajar sabar, dan selanjutnya kesabaran menumbuhkan imajinasi untuk metode pengajaran bagi anak anak,’’jelasnya.
Memutuskan sebagai relawan literasi dengan sasaran anak anak eks TKI yang buta aksara, berarti sudah siap mental dengan resiko kenakalan mereka.
Namun yang namanya anak-anak, tentulah akan menjadi pribadi sebagaimana ia diajar dan ditempa secara karakternya.
‘’Ketelatenan, rasa peduli kita ke mereka, berbuah penghormatan dan kesungguhan anak anak dalam belajar,’’kata Masyita.
Banyak mengambil pelajaran
Meskipun para relawan adalah guru bagi anak anak eks TKI, sejatinya mereka juga mengambil banyak sekali hikmah dan pelajaran berharga dari kisah kisah keluarga TKI.