Salin Artikel

Kisah Polisi di Perbatasan RI – Malaysia Dirikan Kampung Literasi, Berantas Buta Aksara Anak Eks TKI

NUNUKAN, KOMPAS.com – Ajun Komisaris Polisi Iberahim Eka Berlin menjadi sosok polisi yang peduli terhadap pendidikan di perbatasan RI–Malaysia.

Sosok yang humble dan selalu respek terhadap kondisi sekitar ini menjadi tokoh di balik berdirinya kampung literasi di Kampung Timur, Nunukan Barat.

‘’Hidup itu sangat bermanfaat ketika kita berguna untuk orang lain,’’ujarnya, setiap kali ditanya alasan di balik kepedulian dan tindakannya.

Berlin saat ini menjabat sebagai Kasat Samapta Polres Nunukan, Kalimantan Utara.

Setiap kali menyelesaikan tugas dan kewajibannya sebagai polisi yang merupakan pengayom dan pelindung masyarakat, ia selalu menyempatkan diri melihat proses belajar mengajar anak anak eks TKI Malaysia yang dilakukan para relawan rekrutannya.

Tidak jarang ia turun tangan untuk mengajar langsung. Pendidikan, menurut Berlin, menjadi sarana dan bekal generasi bangsa memiliki mental juang dan spirit perubahan.

Ia selalu menanamkan pada diri anak-anak eks TKI bahwa pendidikan adalah modal untuk berubah dan senjata hebat untuk membuktikan diri sebagai manusia.

"Saya berikan motivasi untuk selalu diingat, sebagaimana dikatakan Nelson Mandela, bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia,’’katanya lagi.

Berjuang memberantas buta aksara


Keprihatinan terhadap kondisi ekonomi dan pendidikan anak anak eks TKI Malaysia, mendasari Eka Berlin mengubah Kampung Timur, sebuah perkampungan dengan mayoritas dihuni eks TKI Malaysia ini menjadi kampung literasi.

Dari puluhan anak usia pelajar di Kampung Timur, terdata sebanyak 23 orang yang telah didaftar untuk ikut paket A, sebanyak 5 orang Paket B, dan 5 orang Paket C.

Di kampung ini bahkan masih ditemukan sejumlah orang buta aksara, dengan rentang usia 10 hingga 30 tahun.

Berlin mengatakan, permasalahan buta aksara, sangat butuh kepedulian, ketelatenan dan juga semangat sosial.

Ia pun menggandeng banyak relawan untuk bergabung, ada guru dari Komunitas Berantas Buta Matematika (BBM), ada guru dari Indonesia Mengajar (IM), ada juga relawan dari Guru Garis Depan (GGD) dan para sarjana juga komunitas anak muda yang peduli pendidikan.

‘’Kita mulai dari membuat gang bernuansa pendidikan, kita namai setiap gang dengan gang menulis, gang membaca, melukis, mewarnai dan sebagainya, lalu kita buat sekolah malam karena harus menunggu mereka pulang kerja dulu, kita minta bantuan RT dan pemuka agama agar berjalan lancar juga, karena bukan anak-anak saja yang butuh sekolah, orangtua mereka banyak yang putus sekolah,’’tuturnya.

Sistem mengajar, dilakukan dengan metode yang mudah diterima semua kalangan yaitu dengan game dan lagu.

Mereka akan lebih cepat paham dan hafal meskipun materi yang diajarkan adalah bahasa Inggris sekalipun.

‘’Sekarang malah anak-anak lebih hafal bahasa Inggris untuk anatomi tubuh, macam kepala, pundak, lutut, kaki,’’kata Berlin lagi.

Semangat para relawan inipun berbuah manis. Anak-anak yang tadinya sama sekali buta aksara, sudah mulai belajar mengeja tulisan setelah belajar selama 4 minggu.

Program ini juga memudahkan para pelajar yang kesulitan mengerjakan PR. Anak anak akan diajarkan cara menjawab PR mereka asal datang ke para relawan pengajar.

Antusiasme masyarakat juga mulai terlihat ketika para relawan memanfaatkan koneksi dan link mereka untuk mendatangkan buku buku bacaan, untuk mengisi perpustakaan mini, memanfaatkan bangunan milik salah satu tokoh kampung timur yang belum terpakai.

Anak kecil, tua muda, bapak bapak dan ibu ibu sambil menggendong anak, memilih buku bacaan. Semua bersemangat untuk menjadi lebih cerdas dan berpengetahuan luas.

‘’Misi literasi bukan hanya di kampung Timur saja nantinya, ketika mereka sudah bisa membaca, menulis dan berhitung, kita pindah ke lokasi lain. Kita sambil memetakan, ada berapa banyak yang masih buta aksara,’’lanjutnya.

Memfaslilitasi pembuatan dokumen dan mendaftarkan anak-anak sekolah

Ada hampir 200 kepala keluarga (KK) yang tinggal di Kampung Timur. Pada lahan dengan luas sekitar 4 hektar ini hampir seluruh penduduk merupakan eks TKI yang dideportasi Malaysia pada 2002/2003.

Tidak hanya dari suku Timur, suku Toraja, suku Bugis, suku Jawa, bahkan suku asli Nunukan, ada di kampung yang berjarak sekitar 2 kilometer dari alun-alun kota ini.

Tidak sedikit warga Kampung Timur yang belum memiliki kelengkapan berkas administrasi kependudukan, sehingga banyak dari anak-anak mereka tidak bisa masuk sekolah negeri.

"Semua terbentur dengan dokumen, mereka kebanyakan lahir di Malaysia dan tidak ada akta lahir sehingga pilihannya hanya sekolah swasta. Itu bagi orangtua yang memandang pendidikan penting, bagi orangtua yang tidak peduli pendidikan anak, ya mereka memilih mengajak anaknya bekerja. Kita mencoba menyadarkan mereka arti penting pendidikan, sehingga anak anaknya bisa bersekolah semua,’’kata Berlin lagi.

Berlin pun meminta Ketua RT agar mengumpulkan data yang diperlukan untuk pembuatan dokumen, serta berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Nunukan untuk membuatkan mereka dokumen. Sekaligus bertujuan anak anak eks TKI tersebut, bisa masuk sekolah.

‘’Setelah kita dapat datanya, semua kepengurusan yang berhubungan dengan administrasi kependudukan tentu jauh lebih mudah. Anak anak bisa mendaftar masuk sekolah. Dan kalau ada anak anak dengan kondisi khusus, seperti stunting, langsung kita bantu dan berkoordinasi dengan Dinas Sosial,’’katanya.

Tantangan mengajar anak-anak buta huruf


Untuk menjamin belajar mengajar dilakukan secara intens, Berlin membentuk Komunitas Wahana Pendidikan Perbatasan (WPP).

Ada sekitar 20-an anak muda dengan kesadaran dan dengan kerelaannya, mendeklarasikan pemberantasan buta aksara.

Mereka datang ke rumah rumah penduduk di Kampung Timur, setiap petang. Mengetuk rumah mereka, dan berusaha merayu anak anak yang belum pernah mengenyam bangku sekolah, agar tertarik dengan buku.

‘’Kita berusaha bagaimana agar anak-anak eks PMI kita itu tertarik untuk tahu huruf. Kita ajak mereka bermain dengan lidi, berhitung dengan alat mirip sempoa yang biasa digunakan di SD, juga membawakan gambar gambar hewan dan abjad warna warni demi membuat mereka mau untuk terus belajar,’’ujar salah satu relawan WPP Serlyna (19).

Serlyna mengaku tertarik bergabung dengan para relawan WPP sejak ia duduk di bangkus kelas 11 SMA.

Ia yang berteman akrab dengan Masyita (22), yang lebih dulu terjun menjadi relawan di WPP, memutuskan ikut membantu dan merasakan bagaimana berjuang membuat anak-anak usia SD untuk mengenal huruf, sampai bisa membaca.

‘’Ada latihan kesabaran, ada sebuah kebanggaan dan kegembiraan yang kita rasakan ketika anak yang kita ajar akhirnya bisa membaca. Rasa kepuasan batin itu yang membuat saya terjun langsung jadi relawan. Karena kebahagiaan batin, membuat kita semakin dewasa dan peduli dengan nasib sesama,’’imbuh Serly.

Serly tidak membantah sering kesal ketika anak anak yang ia ajar, sulit memahami materi yang ia sampaikan. Tidak jarang, anak anak melawan atau protes tak masuk akal yang memancing emosi dan kejengkelannya.

‘’Seninya disitu, saya yang masih sekolah akhirnya merasakan bagaimana perasaan guru kita. Pengalaman itu menempa kita menjadi pribadi yang lebih peka dan mawas diri,’’lanjutnya.

Senior Serly, Masyta, juga tidak membantah, sulitnya anak anak eks TKI memahami pelajaran, terkadang membuat emosinya naik.

Hanya saja, seorang pengajar, tentu tidak hanya menyampaikan materi tanpa bekal moral dan etika. Modal tersebut, menjadi pegangan seorang guru yang berarti ‘Digugu (Dianggap/dijadikan panutan) dan ditiru’.

‘’Sejak WPP berdiri 2020, kita sudah menghadapi banyak watak anak anak. Dan ragam sifat anak itu membuat kita makin kaya akan inovasi dan metode mengajar. Awalnya mungkin sering emosi, tapi kita belajar sabar, dan selanjutnya kesabaran menumbuhkan imajinasi untuk metode pengajaran bagi anak anak,’’jelasnya.

Memutuskan sebagai relawan literasi dengan sasaran anak anak eks TKI yang buta aksara, berarti sudah siap mental dengan resiko kenakalan mereka.

Namun yang namanya anak-anak, tentulah akan menjadi pribadi sebagaimana ia diajar dan ditempa secara karakternya.

‘’Ketelatenan, rasa peduli kita ke mereka, berbuah penghormatan dan kesungguhan anak anak dalam belajar,’’kata Masyita.

Banyak mengambil pelajaran 

Meskipun para relawan adalah guru bagi anak anak eks TKI, sejatinya mereka juga mengambil banyak sekali hikmah dan pelajaran berharga dari kisah kisah keluarga TKI.

Kesulitan TKI menyekolahkan anaknya, status ilegal yang memaksa mereka menjadi target operasi aparat Polisi Malaysia, membuat para relawan memiliki kecintaan, dan memupuk peduli.

‘’Kita banyak belajar dari kisah kisah yang dituturkan orang tua murid kami di sela mengajar. Kisah kehidupan mereka di negeri sebelah, membuat semangat kita semakin kuat untuk terus mengajar anak anak mereka. Justru kisah kehidupan mereka yang seakan terus memberikan spirit untuk menjadikan anak anak eks PMI bisa membaca, lalu bersekolah dan berbaur dengan teman sebayanya,’’kata Masyita lagi.

Dari pagi sampai sore, mereka meninggalkan rumahnya untuk bekerja sebagai buruh ikat rumput laut.

‘’Kalau ditanya dari mana kami dapat gaji, tentu tidak ada. Tapi kita diberi kekayaan hati, kepuasan batin yang membuat kita merasa bermanfaat bagi orang lain. Itu sesuatu yang mahal dan mewah menurut kami,’’tegasnya.

Mimpi memiliki sebuah gedung 


Masyita, Serlyna dan relawan lain di WPP, memiliki mimpi suatu saat nanti,mereka memiliki sebuah bangunan untuk mengajar.

Selama ini, relawan hanya mengetuk rumah rumah anak anak yang buta huruf dan mengajar di rumah rumah mereka.

Kabupaten Nunukan sebagai jalur perlintasan PMI, berpotensi penambahan penduduk khususnya dari keluarga deportan dari Malaysia. Tentu saja tidak sedikit anak-anak pekerja migran yang tidak sempat mengenyam bangku sekolah dan belum bisa membaca.

‘’Bolehlah kalau kami mempunyai mimpi. Kami semua sering memimpikan punya bangunan untuk mengajar anak-anak pekerja migran. Selama hati kami masih dimantapkan sebagai pengajar, kita tidak berhenti menjadi guru anak anak eks PMI,’’katanya.

Sejak 2020, WPP sudah menyekolahkan sekitar 18 anak jenjang SD, 8 anak jenjang SMP dan 6 anak jenjang SMA di sekolah paket.

WPP juga membantu kelanjutan pendidikan anak anak PMI yang putus sekolah.

‘’Banyak juga anak anak yang kita sekolahkan di sekolah negeri. Terkadang meski kita tidak ada biaya untuk ke arah itu (menyekolahkan mereka), Tuhan selalu memudahkan jalan dengan mengirim rejeki dari tangan orang lain,’’katanya lagi.

Para relawan WPP, sangat percaya, perbuatan baik akan mendapat karma baik. Selama ini, keyakinan itupun tidak pernah mengkhianati mereka.

Ada saja donatur yang membantu anak anak eks TKI untuk memiliki seragam sekolah, sampai membelikan berbagai kebutuhan keluarga anak didik mereka.

‘’Hidup itu indah ketika bermanfaat bagi orang lain. Semoga sedikit yang kita lakukan mengantar anak anak TKI menuju cita cita mereka suatu hari nanti,’’harapnya.

Untuk diketahui, perjuangan Eka Berlin, dimulai sejak 2016. Saat itu, Berlin membangun sebuah Rumah Belajar untuk menampung anak anak usia SD yang orang tuanya sibuk bekerja di kawasan pelabuhan.

Berlin yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kepolisian Sektor Kawasan Pelabuhan (KSKP) Tunon Taka, Nunukan, mendapati pedagang asongan dan buruh pelabuhan membawa anaknya bekerja.

Karena khawatir dan takut melihat anak anak kecil berlarian di kawasan dermaga dan rentan jatuh tercebur ke laut, Berlin menampung sekaligus menugaskan para polisi untuk mengajar mereka.

Seiring jalannya waktu, rumah belajar dibuka di sejumlah tempat, dan berganti nama menjadi warung Kamtibmas yang juga berfungsi mendukung kinerja dan tugasnya sebagai anggota Polisi.

Bangunan bangunan tersebut bukan hanya dijadikan sarana belajar anak-anak di kawasan pinggiran perbatasan RI – Malaysia saja, melainkan juga menjadi tempat diskusi, urun rembug dan penyelesaikan kasus Kamtibmas.

Berlin bahkan mendapat penghargaan dari Kapolri Jenderal Tito Carnavian atas inovasinya tersebut.

Tahun 2020, Berlin membentuk Wahana Pendidikan Perbatasan (WPP) dan merekrut sekitar 20 relawan untuk fokus pada dunia literasi.

Para relawan membantu pemberantasan buta aksara dan membantu kelancaran belajar anak anak saat pandemic Covid-19, sampai hari ini.

https://regional.kompas.com/read/2023/06/15/212617678/kisah-polisi-di-perbatasan-ri-malaysia-dirikan-kampung-literasi-berantas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke