Selain sebagai cadangan pangan, sawah mampu menghidupi anak-anak yatim dan janda-janda yang berada di Desa Raden Anom.
Setiap panen mereka mendapatkan bagian. Namun tradisi itu kini menghilang. Sama halnya dengan nyanyian ‘selimbai’ sebuah tradisi gotong royong menanam padi yang sudah dilupakan.
Tradisi menghormati padi bagi orang Batangasai sudah diwariskan turun temurun. Bahkan telah mengkristal dalam ritual-ritual yang dilakukan sebelum dan sesudah panen.
Tradisi ini melahirkan sawah pusako, sawah yang terbentang luas ini dimiliki oleh satu keluarga secara turun temurun, tanpa boleh dijual.
Namun adanya penambang emas ilegal, persaudaraan yang terjalin tersebut putus.
"Nanti dulu bicara kerusakan lingkungan, karena penambangan emas ilegal membuat persaudaraan retak dan terputus," kata Syafar.
Syafar mengatakan, sudah banyak contoh petani yang dengan sengaja maupun terpaksa melepas lahan sawahnya ke penambang emas ilegal, yang akhirnya mendapatkan kerugian berkali-kali lipat.
Baca juga: 1 Calo dan 9 Calon Tenaga Kerja Ilegal Diamankan di Labuan Bajo
Kata Syafar, mereka seolah mendapat kutukan; sawahnya hancur, saluran irigasi terputus dan tekor karena biaya operasional bengkak sementara hasil emasnya sedikit. Pukulan telak, biaya untuk mengembalikan bekas tambang emas ke lahan sawah membutuhkan biaya ratusan juta dan waktu minimal 2 tahun. Hal ini membuat sawah-sawah pusako terlantar, karena pewaris sudah enggan merawat sawah itu.
Semenjak 2019 lalu, kata Syafar penambang emas illegal beroperasi di desanya, sudah lebih dari 100 hektar lahan sawah menghilang, berganti bukit-bukit batu yang gersang. Kini sawah yang tersisa hanya ada di Dusun Muaro Seluro, luasnya pun tak sampai 50 hektar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.