Salin Artikel

Cerita Datuk Syafar, Penjaga Hutan Adat Talun Sakti Jambi Hadapi Penambang Emas Ilegal

JAMBI, KOMPAS.com - Raut wajah Muhammad Syafar gusar. Saat dia tidur lelap semalam, aliran anak sungai di depan rumah papan miliknya mendadak keruh.

Dari kejauhan suara alat berat menderu, mengeruk bebatuan Sungai Batangasai yang membelah Desa Raden Anom, Kecamatan Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Datuk Syafar--begitu warga sekitar memanggilnya--tinggal di Dusun Muaro Selaro, Desa Raden Anom. Wilayah yang masih terus menghadapi gempuran pengusaha tambang ilegal hingga saat ini.

Penambang saban hari menunggu Syafar lengah, lalu diam-diam masuk wilayahnya untuk merambah lahan di sekitar rumahnya. Merenggut petak-petak sawah dan merangsek ke dalam hutan adat Talun Sakti.

“Selagi saya masih ada, nyawa saya pertaruhkan, untuk menjaga wilayah ini. Mereka tidak akan pernah bisa masuk,” kata Datuk Syafar, Ketua Kesatuan Hutan (KTH) Adat Talun Sakti di rumahnya, Dusun Muaro Seluro, Desa Raden Anom, akhir Oktober 2022 lalu.

Sekitar dua bulan lalu, Syafar didatangi bos penambang emas ilegal pada malam buta.

Si bos penambang emas ilegal itu ingin menyogok Syafar dengan uang Rp 35 juta ditambah hasil pengerukan emas di sungai sepanjang 5 kilometer asal dia mau melepas wilayah Dusun Muaro Seluro menjadi area penambangan emas ilegal.

Tanpa berpikir panjang, Syafar mengusir tamu tak diundang tersebut.

Penolakan berbuntut panjang, diam-diam anak buah bos penambang emas ilegal membawa masuk alat berat ke wilayahnya sehingga nyaris bentrok dengan warga.

Syafar dan warga pria lain tak sendirian. Ibu-ibu turut mengadang alat berat di pangkal jembatan gantung menuju Dusun Muaro Seluro.

“Ibu-ibu itu membawa obor. Kalau mereka tidak mundur. Alat berat itu sudah dibakar. Sampai sekarang, kami tetap teguh mempertahankan wilayah Dusun Seluro dari gempuran penambang emas ilegal,” kata lelaki yang sehari-hari bertani dan menjaga hutan itu.

Ketegaran Syafar dalam menjaga hutan, membuatnya diganjar penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kelompoknya juga telah menerima dana imbal jasa karbon sebesar Rp 50 juta pada tahun lalu.

Hutan adat Talun Sakti menjadi benteng terakhir cadangan air. Kalau hutan dengan luas sekitar 641 hektar rusak, mata air terakhir berhenti mengalir. Akibatnya sawah-sawah mengering dan masyarakat kehilangan sumber pangan.

Sebelum ada penambangan emas ilegal, kata Syafar, hasil panen bisa bertahan sampai setahun.

Namun sejak ada alih fungsi lahan sawah menjadi area penambangan emas ilegal, cadangan beras masyarakat hanya bertahan 2-3 bulan.

Selain sebagai cadangan pangan, sawah mampu menghidupi anak-anak yatim dan janda-janda yang berada di Desa Raden Anom.

Setiap panen mereka mendapatkan bagian. Namun tradisi itu kini menghilang. Sama halnya dengan nyanyian ‘selimbai’ sebuah tradisi gotong royong menanam padi yang sudah dilupakan.

Tradisi menghormati padi bagi orang Batangasai sudah diwariskan turun temurun. Bahkan telah mengkristal dalam ritual-ritual yang dilakukan sebelum dan sesudah panen.

Tradisi ini melahirkan sawah pusako, sawah yang terbentang luas ini dimiliki oleh satu keluarga secara turun temurun, tanpa boleh dijual.

Namun adanya penambang emas ilegal, persaudaraan yang terjalin tersebut putus.

"Nanti dulu bicara kerusakan lingkungan, karena penambangan emas ilegal membuat persaudaraan retak dan terputus," kata Syafar.

Syafar mengatakan, sudah banyak contoh petani yang dengan sengaja maupun terpaksa melepas lahan sawahnya ke penambang emas ilegal, yang akhirnya mendapatkan kerugian berkali-kali lipat.

Kata Syafar, mereka seolah mendapat kutukan; sawahnya hancur, saluran irigasi terputus dan tekor karena biaya operasional bengkak sementara hasil emasnya sedikit. Pukulan telak, biaya untuk mengembalikan bekas tambang emas ke lahan sawah membutuhkan biaya ratusan juta dan waktu minimal 2 tahun. Hal ini membuat sawah-sawah pusako terlantar, karena pewaris sudah enggan merawat sawah itu.

Semenjak 2019 lalu, kata Syafar penambang emas illegal beroperasi di desanya, sudah lebih dari 100 hektar lahan sawah menghilang, berganti bukit-bukit batu yang gersang. Kini sawah yang tersisa hanya ada di Dusun Muaro Seluro, luasnya pun tak sampai 50 hektar.

https://regional.kompas.com/read/2022/12/12/135908078/cerita-datuk-syafar-penjaga-hutan-adat-talun-sakti-jambi-hadapi-penambang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke