Menurutnya, dari data terkini, ada 22 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas rata-rata nasional yakni sebesar 9,23 persen. Beberapa di antara 22 provinsi itu angkanya bahkan mengalami kenaikan drastis.
Pandemi menjadi salah satu faktor penyebab kenaikan. Di daerah pedesaan, terjadi peningkatan yang lebih tinggi.
Dan rumah tangga dengan tingkat pengeluaran lebih rendah dan pendidikan rendah, 4 kali lebih berisiko.
Dampak perkawinan anak, sambung Rohika, yakni dua kali risiko kematian, dua kali preeklamsia, kontraksi rahim tidak optimal, risiko lahir prematur, kanker serviks 17,2 persen, 4,5 kali peluang terjadinya kehamilan risiko dan stunting.
“Kita pelajari bahwa banyak angka putus sekolah, angka kematian ibu dan kematian bayi tinggi, angka pekerja anak meningkat, dan lainnya menjadi PR bersama,” papar Rohika pada acara Konferensi Internasional Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi di Indonesia atau The 2nd International Conference on Indonesia Family Planning and Reproductive Health (ICIFPRH), 24 Agustus 2022.
“Tantangan sekarang lebih sulit perilaku berisiko selalu menghantui mereka dan belum paham orangtua, keluarga, lingkungan yang harus berupaya untuk mencegah perkawinan anak. Masih ada yang membenarkan praktik tersebut,” ujar dia.
Baca juga: Berkenalan dengan James Bond, Kuda Pacuan Gubernur NTB, Diberi Makan Madu hingga Telur Ayam Kampung
Selanjutnya, regulasi yang belum terealisasi dan tersosialisasikan dapat memengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat. Perlu penguatan kebijakan yang masif dan holisitik.
Tantangan lain adalah kurangnya layanan seperti layanan kespro, kesiapan pernikahan. Kurang rujukan layanan anak-anak yang mengalami praktik perkawinan anak.
“Upaya kami, tidak sendiri. Mendapatkan arahan presiden untuk pencegahan pernikahan. Prioritas 2020-2024, lima arahan presiden. Strategi nasional dan pencegahan perkawinan anak," katanya.
“Model forum anak desa atau Komisi Perlindungan Anak Desa (KPAD) yang sudah dilakukan di NTB khususnya Lombok Barat ini sangat bagus. Anak muda butuh wadah untuk melakukan kegiatan positif dalam kampanye stop perkawinan anak. Kedepan pemdes diharapkan mendukung pembiayaan agar program berlanjut," lanjut dia.
Rohika mendorong daerah membuat strategi dalam mencegah praktik perkawinan anak yang lebih relevan dengan kondisi dan kearifan lokal.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tercatat masuk dalam tujuh besar angka kasus perkawinan anak tertinggi di Indonesia.
Untuk menekan angka perkawinan anak, Pemerintah Provinsi NTB mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah mengatakan, upaya pencegahan perkawinan usia anak membutuhkan kerja sama dan kolaborasi dengan berbagai pihak,
Perda yang disahkan pada Januari 2021 tersebut di dalamnya mengatur sanksi bagi pelanggar dan penghargaan bagi yang berkontribusi menekan angka perkawinan anak.
“Kami saat ini terus menyosialisasikan Perda ini dan mengedukasi masyarakat untuk menghindari perkawinan anak agar generasi masa depan NTB terselamatkan,” kata Sitti Rohmi Kamis (1/9/2022).
Baca juga: Dugaan Judi di Arena Pacuan Kuda, Ini Tanggapan Gubernur NTB
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB T Wismaningsih Drajadiah mengatakan praktik perkawinan anak di NTB cenderung mengalami peningkatan.
pada tahun 2022, NTB berada di posisi nomor dua se-Indonesia dengan persentase 16,59%.
Sedangkan data dispensasi perkawinan di Pengadilan Tinggi NTB dengan persentase pada 2019 sebesar 370 kasus, 2020 sebesar 875 kasus, 2021 sebesar 1132 dan awal tahun 2022 sebesar 153 kasus.
Upaya yang dilakukan yakni sosialisasi penguatan peran dan fungsi keluarga dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak melalui kerja sama dengan berbagai pihak termasuk NGO dan menggandeng mahasiswa saat KKN maupun PKK di semua Kabupaten/Kota sampai di tingkat bawah yaitu dasa wisma di desa.
“Harapan kami, semua komponen bisa terlibat aktif terutama masyarakat ikut sadar bahwa menghapus praktik perkawinan anak ini sebagai gerakan bersama sesuai amanat UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan UU Perkawinan Tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak Nomor 32 Tahun 2014,” harapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.