Saat tim datang ke kampung tersebut, L sudah di bawah ke rumah M. Proses belas dan mediasi dengan mendatangi kediaman M.
KPAD dan dinas terkait berdiskusi dengan sesama perempuan. Pihak laki-laki juga berdiskusi dengan perwakilan pemerintah dan tokoh masyarakat.
Setelah proses mediasi yang cukup alot, Keluarga M menerima dengan baik proses belas.
L yakin, bahwa menikah tidak semudah yang dipikirkan.
"Saya mencuci baju ke sungai setiap hari. Memasak dan mencuci piring. Tidak ada waktu bermain saat di rumah M," kata L.
Ia sadar, berumah tangga bukan hal yang mudah. Ia masih butuh ruang bermain dan belajar.
Baca juga: UPDATE Covid-19 di Jatim, DIY, Bali, NTB, NTT, Kalbar, dan Kalsel 5 September 2022
Karena alasan tersebut, L mau ikut pulang. Ia berpamitan dengan keluarga M karena harus melanjutkan sekolah.
Selanjutnya, ia dibawa ke rumah aman untuk mendapatkan penanganan psikologis. Tujuannya untuk menghindari perundungan.
Saat pendampingan psikologis, ia mengatakan ingin pindah sekolah. L tidak mau menimba di tempat yang sama, takut jika teman-teman merundung atau mengejeknya.
Selain faktor budaya, keluarga juga menjadi faktor penyebab perkawinan anak.
Kini L sudah menjadi santri berprestasi di sebuah pesantren di Lombok Barat. Ia terus memotivasi teman-teman sebaya untuk menggapai cita dan mengajak mereka menjauhi praktik perkawinan anak.
Anak perempuan dan anak laki-laki mengalami kerentanan yang sama sebagai penyintas perkawinan anak.
Hal ini karena beragam faktor di antaranya norma sosial, relasi kuasa, budaya patriaki, kemiskinan, interprestasi budaya merariq, perjodohan atau ditunangkan, panik mengatasi pergaulan anak, hamil sebelum menikah, pelanggaran hak anak, dan lainnya.
Rohika Kurniadi Sari, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan Lingkungan, Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak(PPA) mengatakan, perkawinan anak masih terjadi di Indonesia, bahkan angkanya menduduki posisi tertinggi kedua di ASEAN.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, sekitar 1.220.900 anak di Indonesia mengalami perkawinan usia anak, ini belum termasuk praktik perkawinan anak di bawah tangan (nikah siri).
Berdasarkan pendataan yang dilakukan BPS, UNICEF dan Puskapa pada tahun 2022, 11,21% anak perempuan usia 20-24 tahun telah menikah sebelum usia 18 tahun.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan amanat UU Perkawinan nomor 16 tahun 2019 atas perubahan UU Perkawinan Tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak Nomor 32 Tahun 2014.
Baca juga: KPK Akan Monitor Dugaan Korupsi di RSUD Lombok Tengah