Jauh di lubuk hatinya, T menyesal sudah putus sekolah. Menurutnya, tidak mudah menjadi seorang suami.
“Untung saya masih dibantu oleh orangtua, jika tidak maka bagaimana memberikan nafkah kepada istri? Hanya modal menjadi buruh lepas penghasilan tidak menentu,” kata T.
Orangtua T menikahkan T dengan kekasihnya E (15) secara siri. Hal itu karena perkawinan usia anak belum bisa tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Baca juga: Denmark Jajaki Investasi Proyek Energi Biomassa di Sumbawa
Sedangkan di Lombok, kasus perkawinan anak seringkali mengatasnamakan adat yaitu merariq (kawin lari), akibat kurang pahamnya masyarakat terutama anak-anak muda tentang adat tersebut.
Banyak yang akhirnya menyalahartikan bahwa merariq bisa dilakukan kapan saja dan dengan siapa saja termasuk dengan anak, padahal semua pemahaman itu keliru.
Seperti yang dialami L (14). Sebagai anak perempuan, belajar sembari bermain adalah hal yang ia gemari.
Orangtua mengharuskannya berprestasi dan menuntut L sempurna. Mereka sering memarahi L ketika berbuat salah, misalnya telat pulang sekolah atau bermain handphone terlalu lama.
Baca juga: Tepergok Curi Motor, Satpam di Sumbawa Ditangkap
"Saya hanya ingin curhat, dan mencari orang yang mendengar keluh kesah. Tapi orangtua saya terlalu sibuk dengan pekerjaan," kata L, akhir Agustus 2022.
Ketika apa yang diinginkannya tidak pernah diperoleh dari lingkungan sekitarnya. L mencari teman di media sosial.
Ia sering menghabiskan waktu di luar rumah, dan bercerita dengan sosok teman baiknya di media sosial.
Seiring berjalannya waktu, timbul perasaan suka antara L dengan M (18). Teman laki-laki itu kemudian diterima menjadi pacarnya.
Baca juga: Terlibat Tawuran, 8 Pelajar di Sumbawa Diamankan Polisi
Awalnya, mereka tidak pernah bertemu secara langsung. Namun, intensitas pertemuan secara virtual membuat keduanya merasa nyaman.
Selama satu bulan, L dan M asyik bercerita dan mencari solusi bersama. Hingga tiba suatu waktu, pembicaraan tentang merariq (kawin lari) agar L dan M bisa bersatu.
L yang tinggal di Kabupaten Lombok Barat harus mengikuti M ke kampungnya di Kabupaten Lombok Timur.
Saat mendengar informasi L kawin lari dengan M dari warga setempat, Ketua Komisi Perlindungan Anak Desa (KPAD) Desa Kediri Eka Septiana, segera berkordinasi dengan pemerintah desa, kepolisian, Dinas P3AP2KB, pemerintah desa, tokoh masyarakat dan tokoh adat untuk membelas (memisahkan) L dengan M.
"Kami melakukan mediasi untuk membelas, agar L bisa melanjutkan sekolah," katanya.
Baca juga: Mengenal Tahapan dalam Tradisi Merariq Suku Sasak