Dimoderatori oleh Mayor Jenderal TNI (Purn.) Wuryanto, S.Sos., M.Si, para penanggap dan pembahas buku tersebut mengakui Jenderal Dudung sosok fenomenal, gigih, ulet dalam menggapai cita-cita, dan pantas menjadi contoh anak muda.
Ketika Dudung duduk di kelas satu Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 9 Bandung tahun 1983, ia membantu mencari nafkah ibunya dengan menjadi loper koran.
Setiap dini hari, ia mengambil koran di salah satu agen koran di Cikapundung, lalu diantar dengan menggunakan sepeda ontel ke rumah-rumah pelanggan yang sudah menanti.
Kehadiran Dudung yang berperawakan kecil waktu itu dinanti para pelanggan media cetak. Media berbasis internet waktu itu belum ada.
Media cetak harus diantar sepagi mungkin untuk dibaca sebelum pelanggan pergi bekerja. Berita diperlukan untuk pengetahuan harian, menjadi bahan omongan dalam pergaulan dengan kawan, atasan, bahawan, maupun relasi.
Rupanya Dudung tahu itu, koran bukan semata- mata untuk pembungkus. Ada di dalamnya informasi dan pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk kehidupan.
Maka Dudung tidak mau kalah, ia pun membacanya terlebih dulu sebelum koran diantar ke pelanggan. Ia membaca koran Kompas dan Pikiran Rakyat.
Pertama yang ia baca rubrik Tajuk Rencana Harian Kompas, lalu lalu dilanjutkan membaca rubrik-rubrik yang ia suka.
Setelah itu ia mengantar koran ke wilayah permukiman di Gudang Utara di tengah kota Bandung.
Pantesan dia punya wawasan luas dan memiliki wawasan kebangsaan yang berspektrum luas.
Dudung memang pengukir sejarah hidupnya yang kalau diceritakan kembali terasa seperti cerita fiksi. Padahal itu fakta.
Di Kota Bandung yang terkenal dingin itu, dia menjalani hidupnya seperti dalam kehidupan kebanyakan keluarga tidak mampu.
Dudung yang lahir di Bandung, 19 November 1965, juga membantu ibunya dengan berjualan klepon.
Diceritakan dalam buku memoarnya (halaman XXII), suatu pagi Dudung mengantar kue tampah di lingkungan dalam Markas Kodam III/Siliwangi.
“Semua tamtama di pos penjagaan telah mengenalnya dengan baik. Maka ia terbiasa menjunjung tampah penuh kue melewati pos jaga, hanya diiringi suara permisi dan kepala mengangguk. Sayang hari itu ada seorang tamtama baru selesai pendidikan yang berjaga di pos jaga,” tulis dalam memoar itu.