“Kamu kok tidak izin masuk,” kata tamtama itu.
Sebelum Dudung sempat menjawab, tamtama itu menyenggol keras tampah yang penuh klepon. Tampah pun tumpah, klepon menggelinding kemana-mana, kotor dan tidak bisa dijual.
Dalam kejengkelan hatinya, sambil berjongkok memunguti klepon, dia bertekad akan menjadi perwira, tetapi tidak akan semena-mena kepada rakyat seperti tamtama itu.
Dudung, anak nomor enam dari delapan bersaudara itu lalu masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) di Magelang tahun 1985 dan lulus tepat waktu.
Setelah itu ia meninggalkan Bandung, dan menjalankan tugas tour of duty, dimulai dari Dili- Timor Timur (sekarang Timor Leste), Denpasar, Blora, Semarang, Palembang, Lampung, Aceh, Makassar, Musi Rawas, Jakarta, Magelang, dan kembali ke Jakarta.
Ketika bertugas di Jakarta, pangkatnya sudah Mayor Jenderal. Ia dilantik menjadi Panglima Kodam Jaya 6 Agustus 2020.
Baru tiga bulan menjadi Pangdam Jaya, dia menggebrak Ibu Kota. Bersama prajurit yang dipimpinnya, menurunkan ribuan baliho berbau radikalisme agama yang memenuhi mulut-mulut gang, jalan, dan tepi jalan.
Dukungan dari berbagai kalangan mengalir, dinyatakan dengan bunga dan ucapan-ucapan dukungan di media arus utama dan media sosial.
Ada warga yang protes, tetapi Dudung tidak menyerah. Bahkan ia mengatakan, “Menurunkan baliho itu perintah saya! Siapa saja yang berniat mengganggu persatuan dan kesatuan di wilayah Jakarta, akan saya hadapi”.
Baliho yang provokatif dengan kata-kata menghasut, ajakan revolusi, serta penghinaan-penghinaan itu diamati Dudung pada beberapa hari pertama menjadi Pangdam Jaya.
Karena itu dalam tiga bulan pertama, menargetkan Jakarta harus bebas dari spanduk dan baliho provokatif yang mengusik ketenangan warga.
Ketegasan dan keberanian ternyata mengalir juga dari darah keluarga yang sederhana. Selain menjadi loper koran juga membantu ibunya, menjual klepon.
Ibunya bernama Nasiyati (almarhumah). Ayahnya, Achmad Nasuha yang semasa hidupnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil TNI Perbekalan dan Angkutan Kodam Siliwangi. Ayahnya meninggal ketika Dudung masih berusia 12 tahun.
Keluarga sederhana ini tinggal di barak asrama tentara Jalan Belitung, tidak jauh dari Markas Kodam Siliwangi.
“Meskipun berasal dari keluarga sangat sederhana, tetapi Pak Dudung Abdurachman mampu menjadi seorang jenderal di TNI Angkatan Darat, mengemban amanah dari negara sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD). Ini memberikan contoh bagi semua anak muda Indonesia. Jangan pernah takut untuk memiliki cita-cita yang tinggi,” tulis Presiden RI Joko Widodo dalam pengantar buku tersebut.
Berlatar belakang dari keluarga sederhana, Jenderal Dudung pun kini terkenal sebagai komandan yang peduli terhadap kesejahteraan prajurit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.