Salin Artikel

Cikapundung, Bandung dan Jenderal Dudung

Di masa kejayaan media cetak, Cikapundung sangat ramai setiap hari mulai sekitar pukul 04.00 WIB ketika embun masih tebal, dan dingin masih menggigit kulit, sampai sekitar pukul 07.30 WIB.

Cikapundung menjadi sentra pasar media cetak, seperti koran, tabloid, dan majalah. Media cetak terbitan Bandung dan Jakarta bertemu di Cikapundung.

Cikapundung pagi hari menjadi warna-warni, kesana kemari melihat halaman depan tabloid, majalah, dan koran yang menyajikan foto-foto terkait peristiwa, artis cantik, para politisi, pejabat negara sampai presiden.

Ribuan eksemplar media cetak itu setip pagi diturunkan dari truk-truk jenis boks yang datang dari Jakarta. Para agen dan sub agen sudah siap membagi-bagikan kepada para loper dan pengecer.

Bagian sirkulasi dan pemasaran media pun ikut berbaur di tengah-tengah keriuhan Cikapundung, bahkan “intel-intel” perusahaan media juga ada di situ.

Para “intel” media datang untuk mengetahui berapa eksemplar setiap media cetak untuk Bandung Raya. Mereka perlu tahu untuk strategi persaingan pasar.

Saya juga pernah ikut berbaur bersama teman-teman bagian sirkulasi, ketika saya sebagai Kepala Biro Kompas Jawa Barat dan Banten, di Bandung tahun 2000. Saya ingin melihat market share media cetak di pasar Bandung Raya.

Sampai sekarang keramaian masih ada di Cikapundung, tetapi tidak sebanyak dulu tentunya.

Cikapundung menjadi kembali ramai dibicarakan. Ada remaja yang dulu menjadi loper koran, setiap pagi mengambil koran di Cikapundung, sekarang menjadi orang nomor satu di TNI Angkatan Darat.

Dia adalah Jenderal TNI Dr. Dudung Abdurachman, SE, MM yang sekarang menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) yang berkantor di Markas Besar TNI-AD di Jakarta, dekat istana Presiden RI.

Nama Cikapundung dan Bandung, kota tempat Dudung dibesarkan, tidak bisa dilepas dari sejarah perjalanan hidup Jenderal Dudung.

Cerita hidup Dudung telah ditulis dalam buku memoar karya Imelda Bachtiar berjudul “Loper Koran Jadi Jenderal, Seni Memimpin Jenderal TNI Dudung Abdurachman” (Penerbit Buku Kompas, 2022).

Kamis malam, 21 Juli 2022, buku tersebut dibedah di Aula AH Nasition di Markas Besar TNI-AD Jalan Veteran Raya, Jakarta, dalam rangkaian acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).

Ketua Umum SMSI Firdaus dalam bedah buku itu mengundang Imelda Bachtiar, penulis buku tersebut, dan pembahas Dr. (HC) Herwin Suparjo,S.Sos, SH, Mayjen TNI Iwan Setiawan (Danjen Kopassus), Ketua Dewan Pertimbangan SMSI Budiman Sudjatmiko dan konsultan/pengamat kebijakan publik Indonesia Medrial Alamsyah.

Dimoderatori oleh Mayor Jenderal TNI (Purn.) Wuryanto, S.Sos., M.Si, para penanggap dan pembahas buku tersebut mengakui Jenderal Dudung sosok fenomenal, gigih, ulet dalam menggapai cita-cita, dan pantas menjadi contoh anak muda.

Ketika Dudung duduk di kelas satu Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 9 Bandung tahun 1983, ia membantu mencari nafkah ibunya dengan menjadi loper koran.

Setiap dini hari, ia mengambil koran di salah satu agen koran di Cikapundung, lalu diantar dengan menggunakan sepeda ontel ke rumah-rumah pelanggan yang sudah menanti.

Kehadiran Dudung yang berperawakan kecil waktu itu dinanti para pelanggan media cetak. Media berbasis internet waktu itu belum ada.

Media cetak harus diantar sepagi mungkin untuk dibaca sebelum pelanggan pergi bekerja. Berita diperlukan untuk pengetahuan harian, menjadi bahan omongan dalam pergaulan dengan kawan, atasan, bahawan, maupun relasi.

Rupanya Dudung tahu itu, koran bukan semata- mata untuk pembungkus. Ada di dalamnya informasi dan pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk kehidupan.

Maka Dudung tidak mau kalah, ia pun membacanya terlebih dulu sebelum koran diantar ke pelanggan. Ia membaca koran Kompas dan Pikiran Rakyat.

Pertama yang ia baca rubrik Tajuk Rencana Harian Kompas, lalu lalu dilanjutkan membaca rubrik-rubrik yang ia suka.

Setelah itu ia mengantar koran ke wilayah permukiman di Gudang Utara di tengah kota Bandung.

Pantesan dia punya wawasan luas dan memiliki wawasan kebangsaan yang berspektrum luas.

Dudung memang pengukir sejarah hidupnya yang kalau diceritakan kembali terasa seperti cerita fiksi. Padahal itu fakta.

Di Kota Bandung yang terkenal dingin itu, dia menjalani hidupnya seperti dalam kehidupan kebanyakan keluarga tidak mampu.

Dudung yang lahir di Bandung, 19 November 1965, juga membantu ibunya dengan berjualan klepon.

Diceritakan dalam buku memoarnya (halaman XXII), suatu pagi Dudung mengantar kue tampah di lingkungan dalam Markas Kodam III/Siliwangi.

“Semua tamtama di pos penjagaan telah mengenalnya dengan baik. Maka ia terbiasa menjunjung tampah penuh kue melewati pos jaga, hanya diiringi suara permisi dan kepala mengangguk. Sayang hari itu ada seorang tamtama baru selesai pendidikan yang berjaga di pos jaga,” tulis dalam memoar itu.

“Kamu kok tidak izin masuk,” kata tamtama itu.

Sebelum Dudung sempat menjawab, tamtama itu menyenggol keras tampah yang penuh klepon. Tampah pun tumpah, klepon menggelinding kemana-mana, kotor dan tidak bisa dijual.

Dalam kejengkelan hatinya, sambil berjongkok memunguti klepon, dia bertekad akan menjadi perwira, tetapi tidak akan semena-mena kepada rakyat seperti tamtama itu.

Dudung, anak nomor enam dari delapan bersaudara itu lalu masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) di Magelang tahun 1985 dan lulus tepat waktu.

Setelah itu ia meninggalkan Bandung, dan menjalankan tugas tour of duty, dimulai dari Dili- Timor Timur (sekarang Timor Leste), Denpasar, Blora, Semarang, Palembang, Lampung, Aceh, Makassar, Musi Rawas, Jakarta, Magelang, dan kembali ke Jakarta.

Ketika bertugas di Jakarta, pangkatnya sudah Mayor Jenderal. Ia dilantik menjadi Panglima Kodam Jaya 6 Agustus 2020.

Baru tiga bulan menjadi Pangdam Jaya, dia menggebrak Ibu Kota. Bersama prajurit yang dipimpinnya, menurunkan ribuan baliho berbau radikalisme agama yang memenuhi mulut-mulut gang, jalan, dan tepi jalan.

Dukungan dari berbagai kalangan mengalir, dinyatakan dengan bunga dan ucapan-ucapan dukungan di media arus utama dan media sosial.

Ada warga yang protes, tetapi Dudung tidak menyerah. Bahkan ia mengatakan, “Menurunkan baliho itu perintah saya! Siapa saja yang berniat mengganggu persatuan dan kesatuan di wilayah Jakarta, akan saya hadapi”.

Baliho yang provokatif dengan kata-kata menghasut, ajakan revolusi, serta penghinaan-penghinaan itu diamati Dudung pada beberapa hari pertama menjadi Pangdam Jaya.

Karena itu dalam tiga bulan pertama, menargetkan Jakarta harus bebas dari spanduk dan baliho provokatif yang mengusik ketenangan warga.

Ketegasan dan keberanian ternyata mengalir juga dari darah keluarga yang sederhana. Selain menjadi loper koran juga membantu ibunya, menjual klepon.

Ibunya bernama Nasiyati (almarhumah). Ayahnya, Achmad Nasuha yang semasa hidupnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil TNI Perbekalan dan Angkutan Kodam Siliwangi. Ayahnya meninggal ketika Dudung masih berusia 12 tahun.

Keluarga sederhana ini tinggal di barak asrama tentara Jalan Belitung, tidak jauh dari Markas Kodam Siliwangi.

“Meskipun berasal dari keluarga sangat sederhana, tetapi Pak Dudung Abdurachman mampu menjadi seorang jenderal di TNI Angkatan Darat, mengemban amanah dari negara sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD). Ini memberikan contoh bagi semua anak muda Indonesia. Jangan pernah takut untuk memiliki cita-cita yang tinggi,” tulis Presiden RI Joko Widodo dalam pengantar buku tersebut.

Berlatar belakang dari keluarga sederhana, Jenderal Dudung pun kini terkenal sebagai komandan yang peduli terhadap kesejahteraan prajurit.

https://regional.kompas.com/read/2022/07/26/061500978/cikapundung-bandung-dan-jenderal-dudung

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke