Sigit Witjaksono (92) hanya bisa berbaring di tempat tidurnya beberapa bulan sebelum ia meninggal dunia Juni 2021 lalu.
Meski begitu, usahanya tak tidur bersamanya.
Sejumlah pembatik sibuk bekerja di rumah itu, dengan teliti dan hening menggambar titik, lengkung, dan garis di kain berwarna putih.
Di sisi belakang rumah, sejumlah laki-laki muda melorot (melepaskan lilin dari batik) batik. Di samping mereka, batik-batik yang baru jadi digantung.
Baca juga: Penjualan Turun, Perajin Batik Lasem Bertahan Lewat Online
Salah satunya memuat pepatah China.
"Ini yang paling khas, di dalam kain batiknya ada peribahasa atau kata-kata bijak confusius," kata Javier.
"Ini artinya, bila dua hati sedang membara, maka cinta kasih akan kekal abadi.
"Ada juga yang isinya doa-doa, seperti 'usianya setinggi gunung Himalaya, rezekinya seluas Samudera Pasifik."
Baca juga: Mengenal Batik Tiga Negeri Lasem, Batik Multibudaya
Menurut peneliti budaya Tionghoa, Agni Malagina, Sigit adalah pelopor batik dengan motif sinografi China.
"Beliau adalah salah satu pionir penggunaan aksara Han atau sinografi yang ada di batik Lasem.
"Sebenarnya sebelum beliau, saya mensinyalir terdapat penggunaan sinografi juga di batik Lasem tapi tidak masif, tidak terkenal. Setelah dibuat Pak Sigit jadi booming," katanya.
sigit
Putri ketiga Sigit, Safitri Rini (47) yang juga ibu dari Javier, mengatakan motif itu ditemukan Sigit ketika usianya sudah di atas 60.
Baca juga: Yuk, Virtual Traveling Jelajah 8 Budaya, dari Lasem hingga Sumba
"Saat itu, usianya sudah nggak produktif lagi, tapi semangatnya masih ada. Papa menemukan tulisan (sinografi) itu sudah di atas usia 60-an," ujarnya.
Karya Sigit memperkaya batik peranakan Lasem, yang populer karena perpaduan motif Tionghoa dan motif Jawa.
Batik peranakan Lasem sendiri telah berkembang selama ratusan tahun, seiring kedatangan orang Tionghoa ke Lasem.
Kota itu telah mencatat produksi batik sejak masa pemerintahan Bhre Lasem I, penguasa Lasem. Saat itu, batik digunakan hanya oleh kaum bangsawan.
Baca juga: Dari Depok sampai Kesengsem Lasem, Kisah Tiga Lulusan FIB UI Berkontribusi ke Masyarakat
Saat itu, salah seorang anak buah armada laut Cheng Ho, bernama Bi Nang Un, memutuskan menetap di Lasem.
Ia membawa istrinya Na Li Ni dan dua anak mereka.
Istri dan putri Bi Nang Un belajar membatik dari penduduk setempat. Tak hanya belajar, ada juga proses bertukar ilmu.
Baca juga: Batik Tulis dari Lasem Semarang Akan Diboyong ke Belanda
Salah seorang dari anak Bi Nang Un itu juga mengajari perempuan Jawa membatik dengan motif yang lebih beragam.
Interaksi itu yang kemudian menciptakan batik ala Lasem, yang ikonik dengan gambar-gambar seperti burung, kupu-kupu, hingga naga.
Usaha batik Lasem mencapai kejayaan di awal 1900-an, bahkan sampai diekspor ke Singapura, dan terus berkembang hingga tahun 1970-an, sebelum sempat mundur di tahun 1980 hingga 2000-an.
Baca juga: Potret Lasem, Tempat Keberagaman dan Toleransi Terjaga dengan Baik