Di tahun 1967, Sigit memulai usaha batiknya, yang dinamainya Batik Kencana, meneruskan usaha ayahnya yang juga pengusaha batik, dengan merek berbeda.
Usaha itu dirintis Sigit dengan istrinya Marpat Rochani, seorang Muslim, keturunan darah biru dari Jawa.
Safitri Rini bercerita dulu ayahnya adalah seorang guru. Sementara, Marpat adalah perawat rumah sakit swasta, yang pernah merawat Sigit.
Baca juga: Yuk Tonton Merapah 5 Warisan Budaya Batik ke Cirebon, Pekalongan, dan Lasem
Keduanya kemudian menjalin hubungan, yang awalnya ditolak keluarga Marpat.
"Istilahnya, mereka [keluarga Marpat] adalah salah satu keluarga terpandang, darah biru... ketika dapat orang Tionghoa dianggap nggak pantes," ujar Javier mengulangi sejarah keluarganya.
Meski demikian, keduanya menikah dan hubungan itu bertahan kokoh hingga Sigit meninggal dunia.
Anak-anak mereka dibesarkan secara Katolik, lalu dibiarkan memilih agama masing-masing ketika besar.
Latar belakang Sigit dan istrinya, Tionghoa dan Jawa tercermin dalam kain-kain yang dibuat Sigit, misalnya dalam kain tokwi atau meja altar yang dominan dengan warna merah.
Baca juga: Pohon Raksasa di Lasem Jadi Spot Favorit Turis, Apa Menariknya?
Dalam bahasa Jawa, sekar jagad artinya kembang sedunia, yang bermakna sebuah perjalanan kehidupan.
Warna merah "darah ayam" dari Sigit hingga generasi di atasnya, masih dipertahankan hingga kini.
"Pakem yang kita tetap pertahankan dari generasi ke generasi itu pewarnaan, terutama warna merahnya, warna biru Indigo.
Baca juga: Batik Lasem Bercita Rasa Milenial Kreasi Mahasiswa Binus
"Kita boleh berkreasi, tapi dengan pakem warna yang mungkin berperan menjaga kekhasan klasik itu tadi," kata Javier.
Kini, Marpat, yang menurut Javier memegang "kunci penting batik Sigit", memastikan warisan resep pewarnaan itu diteruskan cucunya.
"Dari 70 pembatik Lasem, hitungan jari yang bisa menyerupai ciri khas warna oma. Memang itu harus dijaga," ujarnya.
Baca juga: Museum Batik Baru di Lasem Lestarikan Batik Legendaris