Tahun ini, Papua akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan PON yang gelarannya sempat ditunda tahun lalu karena pandemi Covid-19.
Orgenems mengatakan pembangunan venue dayung itu juga menggerus area penangkapan ikan warganya.
"Jadi tempat penangkapan ikan masyarakat semakin ke sini semakin kecil.
Baca juga: Jalan Trans Papua Timika-Nabire Jadi Jalur Pemasok Amunisi untuk KKB
"Itu venue dayung tempat berkumpulnya ikan, mereka tangkap di situ. Tapi sudah ditimbun, ya sudah , tapi ikan-ikan ini ke mana?" tanyanya.
Keberadaan Jembatan Youtefa yang berada di pintu Teluk Youtefa, menurut Orgenes, juga membuat ikan emoh masuk ke dalam teluk.
"Karena ada jembatan dan berbagai lampu, ikan tidak bisa masuk ke sini. Ini ancaman-ancaman bagi masyarakat yang kita lihat selama ini."
Kendaraan yang lalu lalang di Jembatan Youtefa dan ring road, lanjut Orgenes, juga membuat polusi suara.
Baca juga: PON Papua, Seleksi Dayung Sultra Libatkan 80 Pedayung
"Dulu kami cuma dengar deburan ombak dan kicauan burung, sekarang siang dan malam, tengah tidur kami dengar bunyi mobil," cetusnya.
Pemerhati lingkungan yang juga direktur eksekutif Walhi Papua, Aiesh Rumbekwan menyebut pembangunan yang meminggirkan masyarakat setempat, bukan pembangunan melainkan "pemusnahan".
"Kalau lihat mereka sebagai orang yang bergantung hidup pada laut, ekosistem setempat kan tidak bisa menjamin untuk bertahan hidup."
Baca juga: Mengenal Stadion Papua Bangkit Venue Utama PON XX Senilai Rp 1,3 Triliun, Raih 3 Rekor MURI
"Fakta hari ini mereka harus melepas, menjual wilayah-wilayah di mana mereka hidup hari ini untuk bisa mempertahankan hidup. Pada saat yang sama, banyak orang mengapresiasi jembatan hari ini," jelas Aiesh.
Ia mengatakan, efek dari kerusakan ekosistem Teluk Youtefa telah menyebabkan "degradasi nilai budaya" bagi Hutan Perempuan yang telah menjadi "esensi kehidupan" warga yang tinggal di sana.
Baca juga: Tak Hanya Atlet, Warga Sekitar Venue PON XX Akan Divaksinasi Covid-19
"Bagaimana mereka mau menurunkan ini ke generasi berikutnya kalau mereka sendiri kehilangan ruang untuk transformasi itu. Akan sulit nantinya. Pembangunan ini yang melemahkan mereka dalam posisi itu," tegas Aiesh.
Dengan kondisi hutan yang kian terbuka, Aiesh menambahkan, para perempuan tak lagi aman ketika melakukan tradisi mereka mencari kerang dengan kondisi telanjang tanpa diganggu kehadiran kaum lelaki.
"Hari ini dijamin tidak keamanan mereka (kaum perempuan) kalau mereka masuk ke sana?"
"Jaminan itu juga melebar pada kondisi lingkungan setempat. Karena ketika mereka masuk dalam kondisi laut sudah tercemar, apakah tidak membahayakan tubuh mereka sebagai perempuan yang punya organ sensitif yang kemudian bisa berdampak buruk," kata dia.
Baca juga: Lihat Perkembangan, Pemerintah Belum Tentukan Keterlibatan Penonton di PON XX
"Saya sehat sampai sekarang, mungkin ada beberapa orang yang mengaku alergi kalau makan ikan atau bia," kata dia.
Betapapun, aku Benhur, pihaknya akan minta Dinas Lingkungan Hidup Kota Jayapura untuk bekerja sama dengan instansi terkait untuk ambil sampel untuk memastikan pencemaran logam berat di Teluk Youtefa.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Jaminan Keamanan untuk Penyelenggaraan PON dan Peparnas di Papua
Ia juga mengklaim pencemaran lingkungan terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat Jayapura akan kebersihan, di tengah makin bertambahnya jumlah penduduk dan pembukaan lahan baru di Teluk Youtefa
Padahal, Pemerintah Kota Jayapura telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Jayapura No. 15 Tahun 2011 yang mengatur tentang penyelenggaraan kebersihan.
"Tapi Perda ini tidak ditaati oleh mereka yang tinggal di bantaran sungai yang bermuara di Teluk Youtefa, seperti Sungai Acai dan Sungai Hanyaan," kata Benhur.
Baca juga: Menjelang PON, 1.136 Atlet dan Pelatih Disuntik Vaksin
Bronjong itu berfungsi untuk menyaring sampah yang terbawa arus hingga bermuara ke Teluk Youtefa.
Namun warga Kampung Enggros mengaku bahwa pemasangan bronjong tak lagi berfungsi karena tidak dikelola dengan baik.
Benhur mengatakan, ke depan pihaknya akan memperbaiki bronjong di sungai-sungai yang bermuara di Teluk Youtefa.
Baca juga: Antropolog Harus Dilibatkan, Jangan Sampai Jalan Trans-Papua Jadi Karpet Merah buat Pembalak Liar
"Kami sering lakukan sosialiasi karena ini berdampak bagi warga Tobati dan Enggros karena kali jadi tempat pembuangan sampah," jelas Benhur.
"Kami telah lakukan pembersihan bronjong seminggu dua kali tetap saja penuh sampah karena kurangnya rasa memiliki dan kesadaran masyarakat."
Ia menjelaskan perbaikan bronjong telah menjadi program prioritas Pemkot Jayapura. Akan tetapi, pandemi Covid-19 telah membuat anggaran "terpangkas habis".
"Tapi itu tetap menjadi program prioritas kami," tegasnya.
Baca juga: Kapolda Papua Mewanti-wanti Bupati dan Wabup Tak Tinggalkan Daerahnya Setelah Dilantik
Pembangunan yang tak melihat kearifan lokal, menurutnya, banyak warga di Teluk Youtefa yang kemudian melepas lahan karena desakan ekonomi.
Hal itu juga, katanya, yang membuat lokasi pencarian ikan di Teluk Youtefa beralih fungsi, antara lain menjadi Jembatan Youtefa dan venue dayung dalam penyelenggaraan PON Oktober mendatang.
Baca juga: Sekda: Kita Harus Gila untuk Bangun Papua, Tidak Bisa Kerja Santai
"Kepemilikan tanah, air dan hutan ada pada Ondoafi (kepala dewan adat) yang memiliki wilayah tersebut, pemerintah tidak bisa intervensi".
Ia mengatakan ketika mencetuskan ide untuk pembangunan Jembatan Youtefa, pihaknya melakukan pendekatan dengan para Ondoafi dan setelah jembatan selesai dibangun, ia mengajak semua instansi untuk melakukan penanaman kembali mangrove di sepanjang Jembatan Youtefa.
"Jika mereka menjual lahan tanpa memperhatikan kearifan lokal, maka mereka akan berhadapan dengan pemerintah," tegasnya.
Baca juga: Ini Tuntutan 30 Anggota KKB Saat Sandera Pilot dan 3 Penumpang Susi Air di Puncak Papua
"Saya sebagai walikota memakai dua baju, yaitu pemerintah dan anak asli. Saya diharuskan untuk arif dan bijaksana dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan hak wilayah di Teluk Youtefa," jelasnya.
Terlepas dari kerusakan ekosistem yang terjadi di Teluk Youtefa, Mama Ani berkukuh tetap mempertahankan tradisi di Hutan Perempuan, meski lambat laun terkikis oleh pembangunan dan pencemaran lingkungan.
Baca juga: Polemik Dualisme Jabatan di Pemprov Papua Berakhir, Dance Yulian Flassy Mulai Bekerja sebagai Sekda
"Hutan perempuan memang penting buat kami di dalam teluk ini. Jadi kami tidak bisa tinggalkan hutan itu."
"Tetap kami berkegiatan, aktivitas mencari kerang, tetap, karena di situlah kami sebagai perempuan, di situlah tempat kami curhat, jadi kami tidak bisa lepaskan."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.