Dengan kondisi Hutan Perempuan yang kian menyusut, kata John, aktivitas para perempuan Enggros mencari kerang pun juga ikut terdampak.
"Hutan bakau yang sekarang ini kan benar-benar terbuka, aktivitas mama-mama yang cari hasil laut di situ kan sudah tidak bisa lagi seperti yang dulu, yang tidak boleh dilihat laki-laki tapi karena hutannya lebih banyak banyak terbuka, jadi aktivitas mencari, kesakralan itu sudah terdegradasi," kata dia.
Baca juga: Warga Jayapura Antusias Tunggu Peresmian Jembatan Youtefa
Perempuan lain di kawasan itu, Ati Agustina Rumboyrusi, mengaku badannya kini kerap gatal tiap kali mencari kerang di Hutan Perempuan.
Jika ia ke Hutan Perempuan setelah hujan, alih-alih kerang yang ia dapat, tapi justru sampah.
"Banyak nyamuk karena sampah. Ada hewan mati yang mengapung, mengambang di atas air, sehingga menjadi suatu halangan untuk kami," ujar Ati.
"Tapi mau tidak mau kita juga harus sabar saja, cari, karena mau ke mana lagi. Itu sudah jadi mata pencaharian kami. Walaupun sedikit, setidaknya ada untuk kita makan dulu," kata Ati.
Baca juga: Komnas HAM Minta BNPT Tak Gegabah Tetapkan KKB di Papua Organisasi Terorisme
"Hutan perempuan kami juga semakin sempit, tidak seluas seperti dulu sehingga penghasilan yang kami dapat sangat terbatas. Tapi dengan kesabaran, kami kumpul sedikit demi sedikit," lanjutnya.
Kadar timbal 'jauh di ambang batas' pada air, ikan, kerang
Setidaknya ada empat sungai yang bermuara di Teluk Youtefa, yakni Sungai Acai, Sungai Entrop, Sungai Hanyaan, dan Sungai Siborogoni.
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Cendrawasih, Hasmi, mengatakan ikan dan kerang di Teluk Youtefa yang berada di Jayapura, Papua, tercemar kandungan logam berat timbal atau plumbum (Pb) akibat pencemaran lingkungan dari sampah yang bermuara di teluk ini.
Baca juga: BNPT Bahas Kemungkinan KKB di Papua Masuk Kategori Organisasi Terorisme
Tidak seperti pantai-pantai yang lain yang ada proses ombak yang bisa membawa sampah itu, lanjut Hasmi, sampah di Teluk Youtefa terkurung di teluk itu.
"Masuk tapi tidak bisa keluar sehingga menyebabkan akumulasi dari kadar pencemaran."
"Dari 12 titik yang saya ambil sampel, justru di daerah Enggros itu yang paling tinggi kadarnya," kata Hasmi.
Hasil penelitiannya pada 2014 mengungkap bahwa kadar timbal dalam air, serta ikan dan kerang "melebihi ambang batas dari standar".
Kadar timbal pada air di Teluk Youtefa, kata Hasmi, "jauh di atas ambang batas" dari yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup, sebanyak 0,0080 mg/liter.
Penelitiannya juga meneliti kadar timbal dari ikan belanak, atau mugil cephalus yang hidup di Teluk itu.
Dari 12 titik tersebut, kadar timbal rata-rata pada ikan belanak adalah 2,46 mg/kg.
Baca juga: Gempa Hari Ini: M 5, 3 Guncang Papua Barat akibat Sesar Geser
Demikian halnya dengan kerang. Dari 12 titik, kadar timbal pada kerang yang diteliti berkisar antara 0,076 -3,48 mg/liter, dengan rata-rata keseluruhan 0,58 mg/liter. Padahal, standar nasional adalah 0,3 mg/liter.
Kadar timbal yang tinggi di Teluk Youtefa, kata Hasmi, berasal dari sampah rumah tangga dan sampah perkotaan yang masuk ke air laut.
"Kemudian dikonsumsi oleh plankton. Plankton dikonsumsi oleh ikan dan ikan dikonsumsi oleh manusia," kata Hasmi.
Baca juga: Kapolda Papua Sebut Ada 2 Personel yang Positif Covid-19 Setelah Divaksin, Kondisinya Stabil
"Konsumen yang paling terakhir itu adalah manusia dan semakin terakhir dia mengkonsumsi, semakin banyak kadar plumbumnya."
"Jadi kalau diukur dari air, ikan, kerang dan manusia, manusia lah yang paling tinggi kadar plumbumnya," imbuh Hasmi kemudian.
Pada saat yang sama, ia meneliti kadar timbal dalam darah 40 warga yang tinggal di Teluk Youtefa.
Ia menemukan bahwa kadar rata-rata kandungan timbal pada darah mereka 1,0 µg/dl dengan kisaran 0,5 - 1,51 µg/dl.
Baca juga: Pemimpin KKB di Kabupaten Yapen Menyerahkan Diri, Begini Tanggapan Kapolda Papua...
Lebih jauh Hasmi menjelaskan kadar timbal yang tinggi pada darah bisa menimbulkan keracunan timbal, yang mengakibatkan anemia dengan gejala seperti letih, lesu, dan loyo.
Tingginya kadar timbal dalam darah, menganggu kinerja enzim yang memproduksi hemoglobin -yang mengalirkan oksigen ke seluruh tubuh- imbasnya, tubuh kekurangan oksigen.
Ini, menurutnya, berbahaya bagi anak-anak karena bisa menyebabkan anak tersebut memiliki intelijensia rendah.
Sementara, bahaya kadar timbal yang tinggi bagi masyarakat dewasa ialah kesehatan reproduksi yang terganggu.
"Waktu penelitian, ada beberapa rumah yang saya kunjungi, sudah berumur sekitar 60-an, tidak punya keturunan,. Jadi indikasinya ke sana," jelas Hasmi.
Lantas, apakah warga yang tinggal di Teluk Youtefa mengetahui bahwa habitatnya telah tercemar?
Baca juga: Sempat Ragu, Pimpinan KKB di Kepulauan Yapen Papua Akhirnya Serahkan Diri ke Polisi
"Memang ikan-ikan sudah tercemar karena limbah yang datang, sudah ada. Sampai di dalam daging ikan pun sudah ada itu."
"Apalagi kerang yang setiap hari terbuka, pasti dia masuk," ujarnya.
Selain kerang, ia juga kerap menyantap ikan yang ia tangkap dengan mengail sekadarnya dari dapur terbuka, yang berhadapan langsung dengan Hutan Perempuan.
"Mama khawatir juga, tapi kadang-kadang lebih baik mama goreng, biar dia matikan itu kuman," imbuhnya.
Baca juga: Remaja 18 Tahun di Papua Pelaku Pengedar Ganja Ditangkap
Kendati mengetahui kerang yang ia cari di Hutan Perempuan telah tercemar, ia terpaksa tetap menjualnya demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
"Kami mau ambil, mau jual, kalau orang jadi sakit juga, aduh, bagaimana dengan kehidupan. Terpaksa kami ambil untuk dijual, untuk kami punya kebutuhan," cetus Mama Ani.
"Ibarat surga kecil, tapi sudah berubah, dirusak tangan manusia. Salah satunya hutan perempuan, dirusaki pembangunan.
Pembangunan, kata Orgenes, juga telah menggerus sebagian Hutan Perempuan di Kampung Enggros yang kini luasnya hanya 5 hektar saja.
Baca juga: Gempa Hari Ini: M 5,3 Guncang Papua Barat, Terasa hingga Nabire
Tak jauh dari Hutan Perempuan, kawasan mangrove telah ditimbun untuk dijadikan venue dayung pada ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) yang akan digelar Oktober mendatang.