Kasus Lili adalah satu dari hanya sejumlah kecil kejahatan seksual di rumah yang berhasil dilaporkan selama pandemi Covid-19.
Pembatasan sosial selama berbulan-bulan telah memaksa anak-anak yang termasuk dalam kelompok rentan menanggung kekerasan dalam waktu yang lama.
Kasus Magnolia dan Lili adalah satu dari 215 kasus yang dilaporkan secara nasional dalam satu tahun terakhir.
Pada 2019 jumlahnya 822, kebanyakan pada tahun-tahun sebelumnya jumlahnya lebih dari 1000 kasus per tahun, menurut catatan tahunan Komnas Perempuan.
Baca juga: Fakta Pemerkosaan Anak di Tangerang, Bermula Pacaran lewat Medsos hingga Dicekoki Pil Eksimer
Penurunan angka terjadi di semua jenis kekerasan, kata salah satu komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, usai peluncuran catatan tahunan Komnas Perempuan terbaru, Jumat (5/3/2021).
"Karena akses terhadap layanan yang terbatas, para korban juga mobilitasnya terbatas dan terperangkap di dalam rumah."
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan atau 'LBH Apik' di Jakarta mengatakan banyak korban kekerasan harus mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah mereka untuk menghindari pelakunya.
Namun, situasi Covid telah membuat para korban memiliki pilihan tempat tinggal yang terbatas.
Sementara itu, saat pandemi, banyak rumah penampungan atau 'rumah aman' di Indonesia yang tutup; dan untuk mengakses rumah aman milik pemerintah harus melalui sejumlah prosedur, terutama tes Covid-19 yang biayanya ditanggung korban.
Baca juga: Klarifikasi Kabar Pemerkosaan, Anak Pelaku Pembunuhan Suami Istri di Bekasi Akan Diperiksa
"Saya sudah batuk lama, nggak berhenti-berhenti. Kata dokter saya perlu rontgen. Saya tidak tahu saya sakit apa; mereka hanya memberi saya obat," kata Anggrek yang kini usianya sudah lebih dari 21 tahun.
Tidak hanya sakit, Anggrek pun kini hamil. Usia kehamilannya sekitar dua bulan. Dia diduga telah dihamili oleh ayah kandungnya.
"Setelah ibu meninggal, saya dipaksa 'melayani' setiap hari," kata Anggrek sambil terisak dan terbatuk.
Baca juga: Sebulan Kabur, Pelaku Pemerkosaan Anak di Bawah Umur Ditangkap
"Dia mengancam akan mencekik saya jika saya menolak, dan dia akan membunuh anak saya dengan pisau!"
Anggrek memiliki seorang anak dari pernikahan sebelumnya. Mereka berdua tinggal bersama orang tua Anggrek setelah pernikahannya berakhir.
Sekitar awal pandemi, ibu kandung Anggrek meninggal karena penyakit yang tidak berkaitan dengan Covid. Menurut Anggrek, setelah tujuh hari kematian ibunya, ayahnya mulai memperkosanya. Cobaan beratnya berlangsung selama berbulan-bulan.
Mirip dengan Magnolia, Anggrek dirundung oleh tetangganya dan banyak orang yang dekat dengannya.
Baca juga: Kasus Perkosaan Anak di Lampung, Komnas Perempuan Minta Sistem Rekrutmen Rumah Aman Dibenahi
Mereka tidak percaya apa yang terjadi pada Anggrek dan anaknya, bahkan sekarang menghalangi bantuan yang datang untuk mereka.
"Kenapa bapak yang seharusnya melindungi malah merusak?" kata Anggrek.
Meski Anggrek sakit dan terguncang secara psikologis, kehamilannya sehat. Ia berkata, bagaimanapun, ia akan menyayangi bayinya.
"Mungkin memang jalannya begini; saya tidak mau, tapi mau bagaimana," kata Anggrek.
Baca juga: Fakta Ayah Perkosa Putri Kandung hingga Punya 2 Anak, Dilakukan sejak SD dan Terancam Dikebiri
Meski bukan tergolong anak-anak, Anggrek mengaku tak tahu ke mana harus mengadu.
Menurut KPAID setempat, kondisi Anggrek saat pertama kali meminta bantuan sangat memprihatinkan. Menurut mereka, ayah kandung Anggrek memperkosa anaknya setiap hari; kecuali ketika Anggrek sedang menstruasi —salah satu kasus terburuk yang pernah mereka temui.
Baca juga: Sering Nonton Film Porno, Ayah Perkosa Anak Kandung Selama 7 Tahun, Dipergoki Ibu
KPAID membantu menghubungkan Anggrek dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak yang disingkat P2TP2A; sebuah unit layanan di bawah Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPPA).
Tak lama setelah itu, terduga pemerkosa Anggrek ditahan oleh pihak kepolisian di Jawa Barat, namun belum menjalani proses hukum lebih lanjut.
"Saya ingin dia ada di sana selamanya [di penjara]; supaya adil saja," kata Anggrek terkait proses hukum untuk ayahnya.
"Saya visum lewat bantuan dinas sosial; kalau pribadi kan saya tidak ada dananya," kata Magnolia, yang kini bekerja sebagai pekerja rumah tangga harian dengan penghasilan dua puluh ribu rupiah per hari. "Kami menunggu sebulan. Pada September, kami mendapat hasilnya."