Gangguan pada Posyandu, ditambah dampak ekonomi dari pandemi, diperkirakan menyebabkan lonjakan angka stunting yang sempat turun dalam beberapa tahun terakhir.
Setidaknya, hal itu terjadi di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Pada 2018, Takalar menjadi salah satu kabupaten dengan angka stunting tertinggi di provinsi, dikategorikan sebagai "zona hitam".
"Karena dengan persentase [stunting] 40,1 %, Takalar masuk ke dalam urutan ke 10 kabupaten yang tertinggi angka stunting-nya untuk provinsi," kata kepala Dinas Kesehatan Takalar, Rahmawati.
Baca juga: Balita Diculik Sehari oleh Pengendara Motor, Kini Ditemukan di Jalan, Ini Kisahnya
Dalam tiga tahun terakhir, pemerintah Kabupaten Takalar sukses menurunkan persentase tersebut hingga 13,6%. Namun di masa pandemi mereka kembali mengalami lonjakan kasus stunting, yakni sebanyak 4.306 anak balita yang tersebar di sembilan kecamatan.
Rahmawati menjelaskan, pada awal pandemi, pemerintah menerapkan pembatasan sosial ketat di Kabupaten Takalar yang dikategorikan sebagai zona merah.
Akibatnya, ada beberapa target Posyandu yang tidak tercapai, antara lain penimbangan bayi dan balita minimal satu bulan sekali.
Baca juga: Lempar Atap Pabrik Tembakau, 4 Perempuan Ditahan, 2 Balita Ikut Dibawa
Namun jumlah kunjungan berkurang drastis. Dari 50-60 orang tua yang biasa datang untuk menimbang anaknya, paling banyak 10 orang tua yang datang. Alasannya, para orang tua takut datang ke Posyandu.
"Itu karena adanya isu ketika ke Posyandu akan dilakukan tes rapid, tes swab…ini membuat ibu-ibu tidak mau ke Posyandu. Mereka takut di-Covid-kan," kata dr. Radiah, kepala Puskesmas Bontokassi yang menaungi pelayanan kesehatan di Desa Bentang.
Baca juga: 2 Balita Ditemukan Tenggelam di Tandon Pondok Aren, 1 Orang Tewas
Beberapa kader Posyandu, seperti Fitriani (24), rutin melakukan kunjungan ke rumah-rumah untuk memantau tumbuh-kembang balita penderita stunting.
Dalam setiap kunjungan, ia menanyakan sejumlah pertanyaan seputar pemberian asupan makanan dan perawatan balita kepada orang tua, dan menimbang berat badan serta mengukur tinggi badan anak-anak.
Jumat lalu ia berkunjung ke rumah seorang ibu yang kedua anak balitanya menderita stunting.
Anak pertamanya adalah laki-laki berumur 5 tahun, dengan berat badan 12 kilogram dan tinggi badan yang terbilang pendek dibandingkan anak-anak lain seusianya.
Sementara anak keduanya perempuan berumur 1,5 tahun, dengan berat badan sembilan kilogram dan tinggi badan 71 sentimeter.
Baca juga: Balita 3 Tahun Digigit Monyet di Bokong, Ibu: Monyetnya Tidak Takut Saya Kejar Pakai Batu
Fitriani menjelaskan bahwa anak penderita stunting rata-rata berasal dari keluarga miskin. "Biasa kendalanya kurang kasih makan buah-buahan... faktor makanan," ujarnya.
Faktor lain yang kerap ditemui ialah "kadang-kadang anaknya malas makan karena ibunya malas makan, juga faktor dari anak-anak yang rewel sering sakit naik turun timbangan badannya," kata Fitriani.
Sang ibu, Kasmiati (27), mengaku jika anaknya sering menderita demam tinggi dengan gejala flu ringan, yang berakibat pada penurunan berat badan anak-anaknya.
"Iya sering bawa ke Posyandu kalau sakit demam. Biasa naik turun timbangan BB (Berat Badannya). Kalau lagi sehat banyak dia makan, sayur. Tapi kalau sakit begini susah makan…dan itu yang kasih turun badannya, timbangannya" katanya.
Baca juga: IDI: Kegiatan di Puskesmas dan Posyandu Menurun, Masyarakat Khawatir Tertular Covid-19
Salah satu kegiatan terpenting di Posyandu adalah pemantauan berat badan anak setiap bulan.
Prof. Endang menjelaskan, salah satu indikasi stunting adalah berat badan anak tidak naik selama dua bulan.
Hal ini perlu dicari tahu penyebabnya - apakah karena sakit, kurang gizi, atau hal lain. Jika Posyandu dilaksanakan setiap bulan, bisa segera dilakukan tindakan.
Baca juga: Posyandu di Kabupaten Semarang Ini Gunakan Speaker Mushola untuk Panggil Pasiennya
"[Terganggunya] Posyandu itu menyebabkan identifikasi masalah tidak optimal, maka penanggulangan lebih lanjut terhadap pemantauan masalah gizi itu menjadi tidak optimal," ujarnya.