Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pandemi, Para Ibu Pun Takut Memeriksakan Anaknya ke Posyandu

Kompas.com - 24/02/2021, 13:13 WIB
Rachmawati

Editor

'Sempat turun, naik lagi'

Gangguan pada Posyandu, ditambah dampak ekonomi dari pandemi, diperkirakan menyebabkan lonjakan angka stunting yang sempat turun dalam beberapa tahun terakhir.

Setidaknya, hal itu terjadi di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Pada 2018, Takalar menjadi salah satu kabupaten dengan angka stunting tertinggi di provinsi, dikategorikan sebagai "zona hitam".

"Karena dengan persentase [stunting] 40,1 %, Takalar masuk ke dalam urutan ke 10 kabupaten yang tertinggi angka stunting-nya untuk provinsi," kata kepala Dinas Kesehatan Takalar, Rahmawati.

Baca juga: Balita Diculik Sehari oleh Pengendara Motor, Kini Ditemukan di Jalan, Ini Kisahnya

Dalam tiga tahun terakhir, pemerintah Kabupaten Takalar sukses menurunkan persentase tersebut hingga 13,6%. Namun di masa pandemi mereka kembali mengalami lonjakan kasus stunting, yakni sebanyak 4.306 anak balita yang tersebar di sembilan kecamatan.

Rahmawati menjelaskan, pada awal pandemi, pemerintah menerapkan pembatasan sosial ketat di Kabupaten Takalar yang dikategorikan sebagai zona merah.

Akibatnya, ada beberapa target Posyandu yang tidak tercapai, antara lain penimbangan bayi dan balita minimal satu bulan sekali.

Baca juga: Lempar Atap Pabrik Tembakau, 4 Perempuan Ditahan, 2 Balita Ikut Dibawa

Kader Posyandu mendatangi rumah warga untuk mengukur tinggi badan dan penimbangan berat badan kepada dua balita penderita stunting di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Kabupaten itu sukses menurunkan angka stunting dalam tiga tahun terakhir, namun kembali mencatat lonjakan di masa pandemi.Riza Salman Kader Posyandu mendatangi rumah warga untuk mengukur tinggi badan dan penimbangan berat badan kepada dua balita penderita stunting di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Kabupaten itu sukses menurunkan angka stunting dalam tiga tahun terakhir, namun kembali mencatat lonjakan di masa pandemi.
Di Desa Bentang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Posyandu buka setiap bulan selama pandemi.

Namun jumlah kunjungan berkurang drastis. Dari 50-60 orang tua yang biasa datang untuk menimbang anaknya, paling banyak 10 orang tua yang datang. Alasannya, para orang tua takut datang ke Posyandu.

"Itu karena adanya isu ketika ke Posyandu akan dilakukan tes rapid, tes swab…ini membuat ibu-ibu tidak mau ke Posyandu. Mereka takut di-Covid-kan," kata dr. Radiah, kepala Puskesmas Bontokassi yang menaungi pelayanan kesehatan di Desa Bentang.

Baca juga: 2 Balita Ditemukan Tenggelam di Tandon Pondok Aren, 1 Orang Tewas

Beberapa kader Posyandu, seperti Fitriani (24), rutin melakukan kunjungan ke rumah-rumah untuk memantau tumbuh-kembang balita penderita stunting.

Dalam setiap kunjungan, ia menanyakan sejumlah pertanyaan seputar pemberian asupan makanan dan perawatan balita kepada orang tua, dan menimbang berat badan serta mengukur tinggi badan anak-anak.

Jumat lalu ia berkunjung ke rumah seorang ibu yang kedua anak balitanya menderita stunting.

Anak pertamanya adalah laki-laki berumur 5 tahun, dengan berat badan 12 kilogram dan tinggi badan yang terbilang pendek dibandingkan anak-anak lain seusianya.

Sementara anak keduanya perempuan berumur 1,5 tahun, dengan berat badan sembilan kilogram dan tinggi badan 71 sentimeter.

Baca juga: Balita 3 Tahun Digigit Monyet di Bokong, Ibu: Monyetnya Tidak Takut Saya Kejar Pakai Batu

Posyandu menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan. Kegiatan ini sangat penting untuk mengidentifikasi masalah gizi yang dapat berakibat stunting.Riza Salman Posyandu menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan. Kegiatan ini sangat penting untuk mengidentifikasi masalah gizi yang dapat berakibat stunting.
Sekilas keduanya terlihat normal. Namun menurut standar Kementerian Kesehatan, si anak laki-laki dikategorikan berat badan sangat kurang (severely underweight), sementara si anak perempuan sangat pendek (severely stunted).

Fitriani menjelaskan bahwa anak penderita stunting rata-rata berasal dari keluarga miskin. "Biasa kendalanya kurang kasih makan buah-buahan... faktor makanan," ujarnya.

Faktor lain yang kerap ditemui ialah "kadang-kadang anaknya malas makan karena ibunya malas makan, juga faktor dari anak-anak yang rewel sering sakit naik turun timbangan badannya," kata Fitriani.

Baca juga: Mengintip Desa Literasi di Lebak Banten, Surga Buku di Setiap Sudut, dari Posyandu hingga di Kandang Kambing

Sang ibu, Kasmiati (27), mengaku jika anaknya sering menderita demam tinggi dengan gejala flu ringan, yang berakibat pada penurunan berat badan anak-anaknya.

"Iya sering bawa ke Posyandu kalau sakit demam. Biasa naik turun timbangan BB (Berat Badannya). Kalau lagi sehat banyak dia makan, sayur. Tapi kalau sakit begini susah makan…dan itu yang kasih turun badannya, timbangannya" katanya.

Baca juga: IDI: Kegiatan di Puskesmas dan Posyandu Menurun, Masyarakat Khawatir Tertular Covid-19

Peran Posyandu

Kader Posyandu melakukan kunjungan rutin ke rumah warga untuk memeriksa kesehatan ibu hamil dan janin, berhubung masih banyak warga yang takut mendatangi fasilitas kesehatan karena khawatir terpapar Covid-19.Riza Salman Kader Posyandu melakukan kunjungan rutin ke rumah warga untuk memeriksa kesehatan ibu hamil dan janin, berhubung masih banyak warga yang takut mendatangi fasilitas kesehatan karena khawatir terpapar Covid-19.
Menurut Profesor Endang Laksminingsih, pakar gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, posyandu berperan dalam identifikasi masalah gizi dan tindak lanjutnya.

Salah satu kegiatan terpenting di Posyandu adalah pemantauan berat badan anak setiap bulan.

Prof. Endang menjelaskan, salah satu indikasi stunting adalah berat badan anak tidak naik selama dua bulan.

Hal ini perlu dicari tahu penyebabnya - apakah karena sakit, kurang gizi, atau hal lain. Jika Posyandu dilaksanakan setiap bulan, bisa segera dilakukan tindakan.

Baca juga: Posyandu di Kabupaten Semarang Ini Gunakan Speaker Mushola untuk Panggil Pasiennya

"[Terganggunya] Posyandu itu menyebabkan identifikasi masalah tidak optimal, maka penanggulangan lebih lanjut terhadap pemantauan masalah gizi itu menjadi tidak optimal," ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com