Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Yason Pemuda Papua Ciptakan Kompor Oli Bekas, untuk Rumah Tangga hingga Ritual Adat

Kompas.com - 21/02/2021, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

"Kompor biasa lebih murah, tapi kompor ini apinya lebih besar, masak jadi lebih cepat. Bahan bakarnya kalau habis juga tinggal ambil di bengkel," kata Yason.

Pada tahun 2016, tiga mahasiswa Universitas Sriwijaya di Palembang menciptakan kompor multi bahan bakar. Bukan cuma oli bekas, kompor buatan mereka itu juga bisa menyala dengan memanfaatkan minyak jelantah.

Baca juga: Gelombang Tinggi Capai 6 Meter Berpotensi Terjadi dari Aceh hingga Papua Barat

Empat tahun sebelumnya, dua peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), juga pernah membuat kompor berbahan bakar minyak jelantah.

Bagaimanapun, Yason ragu inovasinya ini dapat memberikan jaminan masa depan baginya. Sejak lulus kuliah Oktober lalu, dia masih terus mencari lowongan pekerjaan.

"Penghasilan saya lumayan tapi sampai sekarang pemerintah belum memberikan perhatian," kata Yason.

"Saya berharap mereka bisa kasih bantuan dana atau tempat kerja supaya lebih banyak masyarakat yang menggunakan kompor saya," tuturnya.

Baca juga: Natalius Pigai Nilai Otsus Papua Gagal Menyejahterakan, Ini Alasannya

Selain kompor oli bekas, inovasi teknologi juga muncul dalam program pencarian 'sepuluh Ilmuwan Muda Papua' tahun 2020 yang diselenggarakan lembaga non-profit, Yayasan Eco Nusa.

Satu dari sepuluh proposal riset yang lolos seleksi program itu adalah pembuatan mesin pengekstraksi sagu model pengaduk berulir yang dilengkapi unit pemarut.

Inovasi ini diusulkan Ian Immanuel Homer, mahasiswa Teknik Pertanian Universitas Papua.

Rina Kusuma, manajer Yayasan Eco Nusa yang mengasuh program ini, berkata selama ini penelitian dan riset di Papua didominasi orang-orang yang tidak lahir dan tinggal di pulau itu.

Lewat proyek pencarian inovasi dan pembiayaan riset dari lembaganya, Rina berharap muncul peneliti asal Papua yang memberi dampak positif untuk komunitas lokal.

Baca juga: Fakta-fakta KKB Masuk Kota di Intan Jaya, Ribuan Warga Mengungsi hingga Ratusan Brimob Dikirim ke Papua

"Banyak peneliti di Papua adalah 'peneliti helikopter'. Mereka datang dari luar Papua, riset di sini lalu membawa pergi ilmu yang mereka dapat.

Kami ingin mendorong anak Papua untuk meneliti di kampung mereka sendiri," ujar Rina.

"Awalnya kami bertanya-tanya, apakah akan ada yang mendaftar karena program serupa yang diadakan lembaga lain sebelumnya kurang diminati.

"Kami pikir 40-50 proposal itu sudah bagus sekali, tapi akhirnya total ada 86 proposal yang kami seleksi," tuturnya.

Setelah proses penelitian yang dibiayai Eco Nusa, saat ini sepuluh ilmuwan dalam program ini masuk ke tahap penulisan akhir.

Baca juga: Pesan Ayah Prada Ginanjar: Selesaikan Konflik Papua, Jangan Ada Tentara Jadi Korban Lagi...

Berikutnya, para periset yang seluruhnya berstatus mahasiswa strata satu itu akan diminta menuliskan penelitian mereka secara populer di salah satu situs penerbitan riset ternama.

Rina berharap hasil seluruh riset itu dilanjutkan pemerintah daerah agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat lokal.

Pertanyaan selanjutnya, apakah iklim riset dan penelitian sudah memungkinkan banyak muda-mudi di Papua berinovasi?

Belum, kata George Saa, putra asal Papua pemegang titel strata dua ilmu teknik mekanik dari University of Birmingham, sekaligus pemenang First Step to Nobel Prize in Physics tahun 2004.

Baca juga: 1.000-an Warga Intan Jaya Mengungsi, Ini Tanggapan Pemprov Papua

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com