Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Lia Hampir Setahun Belajar Jarak Jauh karena Pandemi, Mengaku Sedih, Kesepian, dan Putus Asa

Kompas.com - 19/02/2021, 06:56 WIB
Rachmawati

Editor

Sementara, di Kabupaten Sinjai, Kamal, ayah seorang anak laki-laki berusia 13 tahun mengatakan anaknya sering mengeluh dan bertanya kapan sekolah akan dibuka.

Baca juga: Berawal dari Belajar Tatap Muka, 1 Santri Hilang Indra Penciuman, Akhirnya 375 Santri Tasikmalaya Positif Covid-19

"Pernah dia menyampaikan ke kami selaku orang tua, kapan sih sekolahnya itu dibuka karena [dia bilang] kalau pembelajaran internet seperti ini susah, apalagi jaringan susah," ujar Kamal pada wartawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pasalnya untuk belajar, puteranya itu harus mendaki ke puncak sekitar 200 meter dari rumah untuk mencari jaringan internet yang bagus.

Kamal mengaku prihatin dengan kondisi ini karena ia melihat semangat belajar anaknya yang menurun.

"Kondisi sekarang memang agak memprihatinkan, mempengaruhi mental anak," tambah Kemal.

Baca juga: Pemkot Bengkulu Izinkan Sekolah Tatap Muka, Begini Aturannya

Kasus kematian anak selama PJJ

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sejumlah kasus kematian yang diduga terkait dengan depresi anak selama pembelajaran jarak jauh.

Pada November tahun 2020, KPAI mencatat ada seorang siswa kelas 12 di sebuah sekolah di Kabupaten Tangerang, yang dirawat di salah satu rumah sakit, lalu dirujuk ke RSJ Grogol, Jakarta Barat, karena diduga mengalami depresi.

Menurut pernyataan KPAI, keluarga menduga anak itu depresi karena banyaknya tugas belajar daring selama pandemi Covid-19.

KPAI juga mencatat seorang siswi di Gowa, Sulawesi Selatan, dan seorang siswa MTs di Tarakan, Kalimantan Utara, yang bunuh diri karena diduga depresi selama pembelajaran jarak jauh.

Baca juga: Mendikbud: Siswa Papua Barat Senang Sudah Belajar Tatap Muka

Terkait kasus siswa Mts Alkhairaat Tarakan yang bunuh diri pada bulan Oktober 2020, polisi mengatakan siswa yang disebut pendiam itu pernah mengeluh karena banyak tugas dari sekolah, sebagaimana diberitakan kantor berita Antara.

Namun, kemudian pihak sekolah membantah tugas menjadi alasan anak itu bunuh diri.

Kepala Mts Alkhairaat Tarakan, Mahmud Shaleh, mengatakan siswa itu bunuh diri karena "alasan keluarga", yakni ia sempat dimarahi ibunya karena terlalu sering bermain gim daring dan menonton animasi selama pembelajaran jarak jauh.

Ibunya pun sempat mengancam akan meninggalkannya, kata Mahmud.

Baca juga: Masuk Zona Kuning Covid-19, 8 Daerah di Kalbar Boleh Gelar Sekolah Tatap Muka

"Kalau sekolah fleksibel. Kalau tugas-tugas bebas saja [kapan dikumpulkan] selama pandemi," kata Mahmud.

Terkait kasus di Gowa, meski sebelumnya polisi menduga motif bunuh diri adalah terkait dengan pembelajaran daring, dinas pendidikan setempat kemudian membantah dan menduga adanya motif percintaan.

Meski dibantah, komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan bahwa faktor bunuh diri seorang anak "tidak pernah tunggal".

Baca juga: Guru Diimbau Tak Tolak Vaksinasi Covid-19 agar KBM Tatap Muka Bisa Digelar

Melihat masih tingginya jumlah kasus Covid-19, sejumlah daerah masih menerapkan pembelajaran jarak jauh.Antara Foto Melihat masih tingginya jumlah kasus Covid-19, sejumlah daerah masih menerapkan pembelajaran jarak jauh.
"Kasus bunuh diri ini memang dibantah-bantah. Walau dibantah, sebenarnya kan ada indikator PJJ menjadi penyebab," kata Retno.

Ia juga menyayangkan kasus bunuh diri anak seringkali dianggap hanya masalah anak bersangkutan.

"Ketika mengatasi masalah psikologis anak, perlu diingat tidak semua anak sama. Ada anak-anak yang bisa melewati, ada yang tak bisa memecahkan masalah yang ada.

"Saya menganggap jangan-jangan yang punya gangguan kesehatan mental itu silent (diam) dan nggak ketahuan, jangan-jangan ini masalah gunung es.

Baca juga: Pemkot Pontianak Bersiap Buka Belajar Tatap Muka, Tinggal Tunggu Izin Satgas Covid-19

Ia mengatakan ketika belajar di rumah, anak-anak dibatasi secara sosial, padahal sebagai anak mereka perlu untuk bermain dan belajar.

Kondisi itu, yang diperparah faktor lain, seperti ketidakmampuan anak mengikuti pelajaran, hingga kondisi ekonomi keluarga yang sulit karena pandemi Covid-19, membuat beberapa anak mencari pelarian.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com