Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Lia Hampir Setahun Belajar Jarak Jauh karena Pandemi, Mengaku Sedih, Kesepian, dan Putus Asa

Kompas.com - 19/02/2021, 06:56 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Bosan, kesepian, hingga stres dirasakan sejumlah pelajar selama proses pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pada kasus-kasus ekstrem, depresi anak selama pandemi diduga berujung pada kasus bunuh diri, menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Bagi Lia, 16, siswa kelas XI di sekolah swasta di Gowa, Sulawesi Selatan, tak banyak yang diingatnya dari hari terakhirnya bersekolah secara tatap muka pada Maret tahun lalu.

"Seingatku, terakhir sekolah nggak ada ji yang berkesan. Cuma ke sekolah, belajar sampai sore tanpa pegang handphone, terus pulang sekolah barengan sama teman," kata Lia.

Baca juga: Kisah Ibu Tunanetra Dampingi Anak Sekolah Daring Saat Pandemi: Ada Perasaan Waswas...

"Besoknya baru dapat notif WA (WhatsApp) dari guru kalau sekolah diliburkan dua minggu."

Sebagaimana anak seusianya, Lia sempat merasa senang bahwa sekolah diliburkan, meski juga merasa was-was.

"Lebih ke khawatir soalnya awal corona pada panik, tapi senang juga karena libur dua minggu nggak ada tugas-tugas. Eh… tau-taunya setahun liburnya."

Kini, hari-hari biasa di sekolah pun terasa begitu berharga baginya, yang hampir setahun ini harus belajar jarak jauh.

Baca juga: Siswi Bunuh Diri Diduga Depresi karena Tugas Sekolah Daring, KPAI Surati Kemendikbud

Sebanyak 814 siswa termasuk guru SMPN 10 Padang mengikuti tes usap massal setelah dua orang guru di sekolah tersebut terkonfirmasi positif COVID-19 (17/02).ANTARA FOTO Sebanyak 814 siswa termasuk guru SMPN 10 Padang mengikuti tes usap massal setelah dua orang guru di sekolah tersebut terkonfirmasi positif COVID-19 (17/02).
"Banyak yang dikangenin. Kangen masa-masa kerja kelompok di kelas, berorganisasi, kangen juga jam istirahat, ke kantin, nyanyi-nyanyi bareng."

Lia, yang bergabung dengan English Club di sekolah mengatakan sering merasa sedih, kesepian, dan putus asa karena harus belajar sendiri di rumah.

Menggunakan kata yang sering digunakan kaum Z, ia menggambarkan perasaannya "random banget".

Baca juga: Gerakan Seniman Masuk Sekolah Daring, Upaya Merawat Karakter Bangsa di Tengah Pandemi

Membangkitkan semangat belajar juga menjadi tantangan sendiri.

"Soal merasa stres kadang ada, sampai down, bahkan sampe pasrah, sudah nggak mau kerjain apa-apa. Nilai anjlok pun nggak peduli lagi. Padahal, sebelum pandemi, ada tugas dikit aja langsung kerjain.

"Jujur, tingkat kemalasanku meningkat. Kalau sudah stres, seharian nggak kerjain apa-apa. Walau begitu, alhamdulillah sampai sekarang nilaiku aman. Walau kebanyakan [tugas dikumpulkan] sudah lewat tenggat," ujarnya.

Baca juga: Anak-anak di Pengungsian Merapi Tetap Semangat Ikuti Sekolah Online

'Emosi naik turun'

Sebanyak 341 SMA/SMK dan sekolah luar biasa yang telah dinyatakan lulus verifikasi protokol kesehatan di Jambi mulai melakukan belajar tatap muka pada hari ini (17/02).ANTARA FOTO Sebanyak 341 SMA/SMK dan sekolah luar biasa yang telah dinyatakan lulus verifikasi protokol kesehatan di Jambi mulai melakukan belajar tatap muka pada hari ini (17/02).
Lia bukan satu-satunya pelajar yang terdampak akibat pandemi Covid-19.

Menurut survei yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) terhadap lebih dari 3.200 anak SD hingga SMA pada Juli 2020 lalu, sebanyak 13% responden mengalami gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi ringan hingga berat selama masa "kenormalan baru".

Data yang diambil dengan mensurvei anak-anak di 34 provinsi itu juga menunjukkan presentasi anak perempuan, dengan gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi, lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki.

Gejala emosi yang paling banyak dirasakan responden adalah sedih dan mudah marah.

Baca juga: Puluhan Anak Miskin Belajar di Kuburan karena Tak Bisa Sekolah Online, Ini Ceritanya

Hasil survei itu juga menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia responden, kemungkinan mengalami gejala depresi semakin tinggi.

Sebanyak 93% yang menunjukkan gejala depresi berada pada rentang 14-18 tahun, sementara 7% di rentang usia 10-13 tahun.

Desy Lekahena, seorang ibu dari putri yang berusia 12 tahun di Masohi, Maluku Tengah, memperhatikan perubahan pada anaknya sejak ia belajar daring di rumah.

Baca juga: Pemkot Pontianak Gelar Pembelajaran Tatap Muka Senin Depan, tapi…

Saung baca di kawasan Garut Selatan tersebut dimanfaatkan sejumlah anak, pelajar, hingga mahasiswa untuk meningkatkan literasi membaca dan mengerjakan tugas sekolah di masa pembelajaran jarak jauh (PJJ).Antara Foto Saung baca di kawasan Garut Selatan tersebut dimanfaatkan sejumlah anak, pelajar, hingga mahasiswa untuk meningkatkan literasi membaca dan mengerjakan tugas sekolah di masa pembelajaran jarak jauh (PJJ).
"Saya lihat dia sudah bosan, dia sampai bilang 'ayo ma, keluar jalan-jalan'. Saya cuma kasih pengertian kondisi kayak gini belum bisa bersosialisasi. Jadi sangat prihatin meliat kondisi anak saya," ujarnya.

"Mungkin karena kurang bersosialisasi, terkurung di rumah, kadang-kadang dia jadi temperamen karena ada tekanan belajar. Emosi naik turun, nggak seperti pas dia aktif di sekolah," kata Desy.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com